PROLOG

230 21 11
                                    

"Hah.."

Aku terbangun.

Sudah kuduga ini mimpi yang sama lagi.

Those bloody roses..

"..."

Ruang kamarku terasa senyap. Hanya terdengar dengan jelas detak jam dinding tua itu. Aku perlahan duduk dan mengusap mataku. Pandanganku masih terasa kabur.

Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Masih gelap untuk melihat ke luar jendela.

Aku beranjak turun dari ranjang dan menghidupkan lampu. Aku keluar dari kamar dan berjalan di lorong kamar. Sorot mataku menyapu sekitar, mencari seseorang.

Tidak ada adik kecil untuk menjahiliku, atau mengajakku bermain. Dan tidak ada kakak yang akan menyuruh-nyuruhku, ataupun membangunkanku.

Hanya ayah dan ibu.

Aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Langkah kaki yang kucari.

"Ayo Shanon. Cepat berkemas. Kau tidak mau terlambat kan?" Ayah memecah keheningan.

Ayah.. Dia yang selalu ada disaat aku terbangun. Yang selalu ada saat aku sendirian. Seorang yang selalu menjagaku.

Aku tersenyum padanya. Namun lekas padam.

"Ibu mana?" Aku menatap matanya.

Mata yang sangat kelam dan dalam. Malam hari dipenuhi bintang selalu tergambar di matanya saat kumelihatnya.

"Ia sedang bekerja." Ayah menjawab.

Ayah adalah seorang penulis dan juga peneliti, sementara ibu seorang pekerja kantoran.

"Nah, Shanon. Cepat berkemas-kemas. Aku akan ke laboratorium dulu. Kalau kau selesai ketuk saja pintunya. Aku akan segera mengantarmu ke sekolah."

"iya, ayah." Aku tersenyum lebar.

Ayah memang punya ruang laboratorium besar di rumah yang digunakan olehnya sebagai tempat melakukan berbagai eksperimen.
Sewaktu-waktu aku akan diperbolehkan untuk melihatnya melakukan percobaan. Tapi tak jarang pula aku dilarang masuk.

Aku tidak tahu percobaan apa yang selalu ayah lakukan di dalam sana.

Ayah berjalan meninggalkanku.

Ruangan ini masih remang oleh cahaya lampu-lampu dinding.

Aku menutup mata kiriku dengan sebelah tangan.

"Ayah... Kenapa ayah tak pernah menjelaskan apapun padaku..?"

Red EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang