Prolog

887 27 11
                                    

Home. But why it doesn't feel like home?

"APA? DIJODOHIN?!" Hanni tersentak. Perasaannya bercampur aduk, apa-apaan keluarganya ini tiba-tiba mengambil keputusan seperti ini karena kekasihnya tak kunjung melamarnya. Usianya memang sudah dua puluh lima tahun, tapi dia sudah memiliki kekasih dan tidak berniat sedikit pun untuk mengakhiri hubungannya.

"Apa kamu yakin mau menunggu Raihan yang pergi? Tidak ada kepastian darinya, ya bagus kalau dia lulus tepat waktu dan langsung melamarmu. Kalau tidak?"

Jantung Hanni rasanya sakit. Bagaimana bisa mereka memandang Raihan begitu. Sebelum Raihan pergi mereka seakan benar-benar menyetujui hubungannya dengan Raihan. Namun sekarang? Keadaan berbalik semuanya menaruh keraguan pada Raihan. Biasanya kalau Ibu ada disini dia akan membujuk semuanya dan akan memberikan Hanni keyakinan. Namun, Ibu telah meninggalkan mereka enam bulan yang lalu dan tiga bulan setelahnya Raihan meninggalkan Hanni ke Inggris. Lengkap sudah semua rasa kehilangannya. Hanni hanya diam tidak mampu berkata. Ia menggigit bibir bawahnya dengan matanya yang mulai berkaca-kaca dan tertunduk.

Keadaan mulai menenang. Ayah menarik napas panjang dan berdiri, berpindah dari tempat duduk yang sekarang duduk di sofa kosong tepat sebelah Hanni. Membelai lembut rambut panjang anak perempuan terkecilnya tersebut. "Kami tau apa yang terbaik untukmu, dek Han."

Hanni menatap mata Ayahnya tajam dan miris. Tidakkah mereka tahu ini bukan yang terbaik? Tidakkah mereka tahu ini amat menyakiti perasaanya. Sudah sepantasnya Hanni untuk memilih sendiri, menikah atau tidak itu adalah hidupnya.

"Ngga. Kalian ngga tau dan ngga akan penah tau!" Ucap Hanni dengan muka merah dan mata yang sudah basah walau air mata belum turun ke pipinya. Ia meninggalkan ruang tamu dan berlari ke tangga. Memasuki kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat.

Ia mengunci pintu kamarnya rapat. Menjatuhkan kakinya yang kesulitan untuk berdiri di sebelah kasur. Tidak hatinya tidak tersakiti. Berkali-kali ia meyakinkan hal itu pada dirinya. Tapi hari ini ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Sungguh, ia tersakiti. Pikirannya langsung menuju ke Kota London dimana ada Raihan disana yang mungkin sedang tersenyum memikirkan Hanni, memikirkan senyumnya saja mampu membuat Hanni merasa lebih baik. Raihan disana yang sedang melanjutkan pendidikannya demi mencapai mimpinya, dan berjanji akan kembali kesini dengan membawa semua mimpi yang telah dicapainya.

Namun hari ini, entah kenapa semua terasa begitu menyedihkan. Air mata terjatuh dari pipinya. Ia membelai lembut kucing kesayangannya yang sekarang duduk dipangkuannya. Menatapi kamar yang penuh perabot dan polaroid berisi fotonya dengan Raihan, yang sekarang rasanya sangat kosong, terang namun terasa amat gelap. Dan tak lama hujan pun ikut turun dari langit, seakan langitpun juga ikut bersatu dengan perasaannya.

"I love no one but you. I have discovered, but you are far away and I am here alone. Then this is my life maybe, however unlikely, I'll find my way back there. Or maybe, one day, I'll settle for second best. And on that same day, hell will freeze over, the sun will burn out and the star will fall from the sky."

–Lemony Snicket, A Series of Unfortunate Moment.

From London To JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang