Zara kembali kerumah setelah menemani Helena jalan-jalan. Awalnya banyak tempat yg ingin Helena kunjungi, namun ternyata perpustakaan di London sanggup membuatnya terkagum-kagum hingga mereka lebih banyak menghabiskan waktu disana, koleksi buku di perpustakaan London katanya lebih lengkap daripada di Indonesia.
Zara melemparkan tubuhnya ke sofa ruang tamu dan memandangi jam. Sudah sore. Namun masih terlihat sangat terang. Orang tuanya bahkan belum pulang. Ayah menemani Ibu menjaga butik apabila ia sedang kosong bekerja.
Ayah adalah seorang Interior Designer dan Ibu adalah Fashion Designer, walau namanya tidak besar seperti Designer kebanyakan, karena mereka berdua masih manusia biasa. Buktinya saat berjalan dengan ayah atau Ibu, tidak semua orang menyapanya atau mengajaknya berfoto. Ayah bekerja di salah satu perusahaan di Inggris sedangkan Ibu memilih untuk membuka sebuah butik kecil, yang awalnya hanya dia kelola sendiri. Namun, saat ini butiknya telah memiliki dua pekerja part time. Walau sudah beberapa kali ganti pekerja.
Biasanya yang bekerja pada butik Ibu adalah mahasiswa asing dari Asia yang memang membutuhkan tambahan uang, jadi mereka tidak begitu menuntut gaji yang banyak. Sebelumnya ada mahasiswa Indonesia juga yang part time disana, Zara sempat mengenalnya walau sekarang ia sudah lulus dan sudah kembali ke negaranya.
Zara berjalan kedapur berniat mengambil susu dingin di kulkas hingga langkahnya terhenti pada sebuah foto yg terjatuh di lantai dekat meja makan. Ia sadar betul itu adalah wajah Ibunya, senyumnya sangat lebar dan terhilat muda. Disebelah kanan ada seorang wanita dan disisi kiri seorang pria yg terlihat mirip sekali dengan Ibu.
Zara mengangkat satu alisnya. Ia tidak mengenal siapapun di foto ini. Kenapa ia bahkan tidak mengetahui keluarga Ibunya. Ibunya adalah wanita yang sangat tertutup, apalagi bila ditanya perihal tentang keluarganya, hanya jawaban menggantung yang akan kau terima. Karena Ibu selalu menjawab begitu, oleh karena itu Zara bahkan tidak pernah menanyakannya lagi.
"Apa mereka masih hidup?" Tanya Zara pada diri sendiri sambil masih memandangi foto tersebut.
Ia kemudian membuka kulkas dan menuangkan susu ke gelas, kemudian meminumnya.
Zara mencuci gelas susunya kemudian menaiki tangga, dan masuk ke kamar orang tuanya. Seakan rasa penasaran pada dirinya muncul ketika melihat foto tersebut. Ia membuka pintu kamar orang tuanya yang memang tidak pernah terkunci, sekalipun terkunci Zara tahu dimana kunci tersebut berada. Rasa penasaran sejak bertahun-tahun lamanya muncul kembali.
Zara menengok kesekaliling kamar. Kamar Ayah dan Ibu sangat rapi bahkan matanya sedikit mengantuk berada disini.
Ia membuka lemari pakaian ibunya dengan pelan dan hati-hati, agar tidak berantakan. Kemudian, ia membuka laci dan segala sudut ruangan di bukanya dan tidak menemukan apa-apa.
Ia menemukan album foto dan isinya hanyalah foto-foto masa kecil Zara. Bahkan kedua orang tuanya saja tidak memliki foto pre-wedding. Bagaimana mereka ini, decak Zara dalam hati. Di bagian terkahir album tersebut.
Zara menemukan foto pernikahan mereka saling memamerkan cinci kawin ke kamera. Pernikahan yg sangat sederhana di Islamic Center London. Zara mendecak, "Bahkan pernikahnnya saja sangat sederhana, mereka niat nikah ga sih".
Zara menatapi foto-foto di album tersebut sambil tengkurap di karpet tepat sebelah ranjang ayah ibunya. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah kotak yang ada dibawah ranjang tersebut. Kotaknya sangat jauh ada di ujung.
Dia memasukkan kakinya agat dpt mendekatkan kotak tersebut ke arahnya, kemudian mengambil kotak tersebut keluar. Ia membuka isi kotak tersebut, dan tertegun ketika melihat isinya. Banyak kertas kertas yang sudah bertuliskan seperti sebuah surat yang tidak jadi dikirim.
Zara sadar sepertinya ini privasi ibunya dan mengundurkan niatnya untuk membaca, namun rasa penasarannya mengalahkan hal tersebut. Zara mengambil salah satu surat tersebut secara acak dan membacanya.
London, 23 Juni
Hai Ayah, maaf tidak pernah mengabarkan. Apa ayah kangen Hanni? Hanni kangen banget sama Ayah. Sekarang usia kandunganku sudah 6 bulan. Maaf tidak pernah mengabarkan sama sekali. Sepertinya Ayah juga tidak menunggu kabar kami.
Well, it's okay. Semoga ayah makan dengan baik dan cukup, sesekali ingin rasanya hati ini pulang.
Namun, aku tak yakin Ayah akan menerima kami kembali.. Semoga Ayah baik-baik saja, maafkan anakmu yg payah ini.
London, 5 Agustus
Raihan sekarang sudah diterima di kantor baru, pendapatannya sekarang juga sudah lebih baik daripada perusahaan sebelumnya.
Akhirnya sekarang kita bisa membeli rumah sendiri. Aku juga bru saja membuka sebuah butik kecil di Orchard street. Datanglah kesini bila kalian rindu.
London, 9 September
She's born. Her name is Zara. She has a rosey cheeks and a really sweets smile. Here's the photo. Isn't she cute? Now, I have a daughter.
London, 6 Januari
Sekarang pukul 3 pagi di London dan Raihan masih tertidur. Entah kenapa air mataku rasanya ingin jatuh. Rindu tidak pernah bisa mengerti keadaanku. Aku benci rindu.
London, 2 September
Aku terlalu banyak menulis surat. Namun tidak ada satupun yang terkirim. Surat-surat ini mungkin hanya akan berkahir sebagai kertas usang yang harus dibakar ketika ku menua nanti. Seketika semua kenangan rasanya hilang.
Masa kecil di Jakarta. Hari pertama masuk SMA, sweet seventeen, bahkan bau hujan turun yang paling kusuka. Semuanya perlahan terhapus bersama rintikan hujan. Sudah lama kepergian ini.
Andai dulu kami memiliki kekuatan lebih untuk meyakinkan kalian, pasti sekarang kita masih bersama. Mungkin ini surat terakhir Hanni, yang juga tidak akan Hanni kirim.
Mungkin sudah waktunya untuk melangkah maju dan mulai berdamai dengan masa lalu, aku di London, tapi anggap saja tidak pernah ada London jadi kalian tidak teringat aku bila sesekali kalian main kesini.
Hanni loves you,
***
Tanpa Zara sadari, air matanya telah tumpah membasahi pipinya. Bagaimana bisa ia bahkan tidak menyadari kesedihan ibunya selama 16 tahun kehidupannya. Kenapa ibu memendam luka ini sendirian. Kenapa bahkan ia tidak pernah berkata atau membahas tentang keluarganya sendiri. Berbagai pertanyaan terlintas di otak Zara.
Ia menaruh surat-surat itu kembali ke dalam kotak, dan menaruh kotak tersebut ke tempatnya semula agar orang tuanya tidak menyadari bila ada seseorang telah membuka kotak tersebut. Ia keluar kamar orang tuanya dan memasuki kamarnya sendiri. Menatapi langit yg mulai berwarna oranye dari jendela kamarnya.
Ia mengocek kantong jeansnya dan menatapi foto yang tadi terjatuh di depan kulkas. I'll find you, soon.
"I forget Jakarta. All the friendly faces in disguise. This time, I'm closing down this fairytale. And I put all my heart to get to where you are. Maybe, it's time to move away."
–Forget Jakarta, Adhitia Sofyan
****
Write this while listening Adhitia Sofyan songs and it's raining here. Sorry for a very late update, I was thoughts to give up on writing this, but, no. I want to finish what I've started. So enjoy this story, with a glass a hot milk/coffe while listening a sounds of a rain falls.

KAMU SEDANG MEMBACA
From London To Jakarta
RandomCerita ini berkisah tentang seorang anak yang ingin mengungkap masa lalu ibunya. Keinginan kuat membawanya berkelana dari London hingga Jakarta. Perjalanan yang akan mengungkap semua kebelengguan hati mengenai masa lalu yang sempat menghilang. Serta...