(Death Without Reason)

249 20 10
                                    

Chapter 1

Pada saat jarum jam mengambil alih keheningan di sekitar. Peluh terus berjatuhan dari keningnya. Menetes perlahan melewati garis wajah, terjatuh menyapa borgol besi yang terpaut di sepasang pergelangan tangan. Dia terpaku, mencoba menghentikan waktu. Namun termangu di tempat. Hanya mampu terdiam menunduk, merafalkan sebaris lantunan doa. Mengharap belas kasih Tuhan akan nasib yang akan dia terima sesaat lagi.

Barisan pria paruh baya berbalutkan jubah hitam dengan garis melingkar di kerah leher berwarna merah yang berjajar rapi di depan. Seolah bagaikan barisan malaikat pencabut nyawa yang sedang menunggu jarum jam menyentak posisi mereka. Sorot mata yang teralih kepadanya, menghentikan aliran darahnya. Dia semakin tergugu, bergetar hebat di kursinya. Jari jemari yang saling bertaut, meremas, saling menyapa jari satu ke yang lain.

Mencoba menghantarkan kesadarannya melalui jari yang saling terpaut erat. Dia menahan gemuruh hatinya, menahan semua umpatan marah atas ketidakadilan yang merajam nasib buruknya. Dia sudah cukup terpuruk pada takdir yang enggan memihak keluarganya. Sepanjang usianya yang ke 35 tahun. Dia terus hidup berlindungkan rumah sederhana di pinggir kota. Dihimpit krisis ekonomi, sementara kebutuhan hidup terus berteriak minta dipenuhi. Dia yang hanya seorang tukang angkat barang berbekalkan kekuatan fisik serta ketahanan tubuh dari sinar matahari.

Bersusah payah membanting tulang demi menghidupi ibu, istri dan dua anaknya. Namun, sebaris gerutuan tidak pernah dia lontarkan. Lekuk indah yang setiap pagi membayangi wajahnya, cukup memberitahukan dunia bila dirinya mampu menjalani hidupnya. Mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya serta membahagiakan mereka.

Tentu saja. Sebelum sebuah tragedi naas melenyapkan lekuk indahnya. Bermula dari ajakan seorang teman yang berniat melepaskan dirinya dari kepenatan duniawi sejenak. Si teman mengajak dirinya ke sebuah kedai minuman. Meneguk beberapa gelas sampai pada akhirnya melayang tak sadarkan diri kemudian sempoyongan di pinggir jalan. Kesadarannya teralihkan. Tetapi, dia masih dapat mengendalikan dirinya. Benar, malam itu ponselnya berdering. Seorang majikan yang merangkap menjadi sahabatnya menghubungi dirinya. Berkata melalui telepon, jika wanita itu meminta bantuannya.

Bagaimana kepalanya tidak mengangguk? Saat bayangan beberapa lembar won langsung merayapi otaknya, mengingat anak keduanya tidak dapat lagi menikmati nikmatnya segelas susu sejak dua hari silam. Tentu saja dia tidak akan menyiakan kesempatan itu. Salah satu tangan menumpu tiang listrik, menggelengkan kepala sejenak. Berupaya mengembalikan kesadaran.

Sampai pada pintu rumah si majikan. Bibirnya terbungkam, kepalanya mendadak pening, dan sepasang mata terbuka lebar. Seketika kesadarannya kembali. Malam itu, dia melihatnya. Sebuah kejadian mengerikan yang pernah dirinya temui beberapa kali di layar televisi.

Rasa takut menggerogoti tubuhnya, kakinya melemas hanya mampu terpaku di tempat. Hingga disaat dua polisi menemukan dirinya beserta si majikan yang tergolek lemah di depan pintu rumah si korban. Dia tidak sanggup berucap, setiap lontar kata yang terhembus terdengar gagap. Mengukuhkan prasangka si polisi dan di mulailah ketidakadilan ini.

“Saudara Choi Baek sil.” Seruan di depan mengembalikan dirinya dari asal muasal semua kejadian tersebut.

Choi Baek sil menengadahkan kepala, sorot matanya berbayang berusaha melunturkan setiap bukti yang hakim terima. Mencoba menggerakkan hati sang penegak hukum. Dia tidak bersalah, dia bukan seorang pembunuh. Berulangkali berteriak menyerukan semua pembelaannya.

Tetapi, mereka bergeming. Apa yang mereka pandang di tempat kejadian? Menjadi bukti utama yang meleburkan setiap bait pembelaan yang terkecap di lidah. Beginikah nasib seorang rakyat miskin, hanya karena tidak mempunyai uang dan pengacara hebat. Mereka meremehkannya, merendahkannya, mengacuhkannya tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu semua kesaksiannya.

BLOODTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang