Part 3.

7 1 0
                                    

Jeremy Atlantis.

Aku tersenyum memperhatikan wajah polos Naina ketika tertidur, seperti bayi tanpa dosa dan juga mempesona. Aku tidak tau jika kemarin aku berhasil membawanya bersamaku dengan alasan yang cukup tidak masuk akal memang.

Tapi aku tidak perduli, apapun itu. Yang aku pedulikan sekarang dia bersamaku dan aku terus bersamaku, karena mulai hari ini aku berjanji bahwa aku tidak akan melepaskan Naina.

Ya namanya Naina Iskandar, seorang gadis yang telah membuatku selalu memikirkannya. Aku tidak tau bagaimana aku bisa menyukai Naina yang hanya seorang gadis biasa yang bekerja di perusahaan kakakku sebagai OG itu. Mungkin bagi Naina ini adalah pertemuan pertama kami, tapi tidak untukku, karena aku sudah sering melihatnya atau lebih tepatnya aku sering memperhatikan Naina tanpa sepengetahuannya.

Aku merasa sangat beruntung karena kemarin aku bisa tidak sengaja bertemu dengannya. Kami tidak sengaja bertabrakan dan itu membuatnya terjatuh hingga kakinya terkilir.

Aku menjauhkan wajahku saat melihatnya mulai membuka mata dengan perlahan. "Sekarang jam berapa?" gumamnya.

"Sebelas siang." balasku, sepertinya dia belum menyadari jika dia bukan di apartemennya tapi di tempatku.

"Oh."

Aku mengerutkan dahiku saat mendengarnya hanya bergumam oh, lalu kembali mengambil posisi tidur miring sambil memeluk guling. Sepertinya dia benar benar tidak sadar dengan keberadaanku.

Spontan aku mundur beberapa langkah dari ranjang saat tiba tiba saja aku melihat Naina yang berteriak dan langsung duduk, seperti baru menyadari sesuatu.

"What! Jam sebelas! Oh no, aku terlambat bekerja." ucapnya segera bangkit dari ranjang dan hendak berlari kekamar mandi, namun karena kecerobohannya sendiri yang membuat dirinya terjatuh di lantai.

"Aduh, ada apa dengan kakiku?" ucapnya seraya melihat kakinya yang memang masih terbungkus perban.

"Hati-hati jangan ceroboh... Kakimu kan kemarin terkilir." ucapku seraya membantunya berdiri.

"Eh, kau siapa?" tanya Naina.

"Aku Jeremy." balasku.

"Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Naina, pipinya merona merah karena efek marah.

Aku menatapnya dengan senyuman miring. "Kau yakin ini kamarmu?"

Naina memperhatikan ke sekeliling kamar lalu matanya melotot, "aku harus pulang, Morena pasti panik mencariku dari kemarin.... Lagi pula kakiku sudah lebih baik."

Aku kembali menatapnya dengan datar, "tidak... Kau tidak boleh pulang, aku sudah bilangkan jika kau hanya boleh pulang bila kakimu sudah benar-benar sembuh."

Oke, ini hanya alasanku supaya bisa berlama-lama dengannya.

"Tapi kakiku sudah tidak apa-apa!"

"Sebaiknya kau sarapan dulu." ucapku mengabaikan perkataannya dan menunjuk meja samping tempat tidur.

"Aku tidak ingin makan, aku ingin pulang!" ucapnya geram.

"Ku pikir kau lapar karena dari semalam kau tidak makan, tapi kalau kau tidak mau makan ya sudah biar aku saja yang makan." ucapku.

Naina mendengus kesal, lalu dengan jalan tertatih ia masuk kedalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian ia kembali keluar dari kamar mandi, rambutnya basah, sepertinya dia telah mandi walau masih menggunakan kemeja kotak-kotak milikku.

Naina Afraid...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang