"Ayo, Dek." Ajak Mbak Dhea menggandeng tanganku menuju parkiran mobil.
Baru beberapa langkah berjalan kakiku terasa kesemutan. Aku berhenti. Memastikan sebentar kalau kakiku baik-baik saja. Tapi saat kembali diayunkan baru kusadari seluruh tubuhku seakan kram. Bahkan untuk bergerak sedikit saja rasanya nyeri. Aku meringis kecil merasakan kesakitan yang tiba-tiba datang.
"Sha... Kamu kenapa?"
"Nggak papa, Mbak." Kucoba kembali melangkah. Namun usahaku sia-sia. Seluruh tubuhku terasa kaku. Kepalaku tiba-tiba berdenyut hebat. Pandanganku mulai mengabur.
"Dek..." Itu suara Kak Iam. "Dedek kenapa? Ada yang sakit?" Samar-samar masih kudengar suara Kak Iam yang mulai berubah. Bisa kupastikan dia sangat panik melihat keadaanku yang entah sudah bagaimana. Aku hanya menggeleng. Suaraku seakan tertahan. Tak mampu berkata-kata lagi.
"Dek..." panggilnya lagi. "Dedeg..." Suara-suara itu mulai menghilang dari pendengaranku. Dan pada saat itu kurasakan tubuhku sudah ambruk. Semuanya terlihat gelap.
◇◇◇◇◇
Kurasakan kepalaku kembali berdenyut. Sayup-sayup terdengar suara seseorang mengaji. Suaranya sangat merdu. Apalagi dengan bacaan tilawah yang sangat fasih. Siapa kiranya yang membaca Yasin dengan penuh penghayatan? Aku ingin sekali melihat sosoknya. Namun aku baru menyadari bahwa semuanya terlihat gelap. Dimana aku? Kenapa semuanya gelap? Kenapa aku tak bisa mendapati siapapun disini? Ketakutan mulai menyerangku.
"Ummi, Ayah, Kak Iam. Kalian dimana? Shakila takut."
"Shakila.... Bangun sayang. Ummi disini, Nak." Itu suara Ummi. Ummi dimana?
"Shakila takut Ummi."
Aku mulai menangis. Bingung dengan keadaan ini.
"Shakila.... Bangun, Nak."
Sayup-sayup masih dapat kudengar suara isak tangis Ummi.
◇◇◇◇◇
"Alhamdulillah... Akhirnya Shakila sadar juga, Yah."
"Iya, Ummi."
"Shakila... Ini Ayah, Nak."
Pertama kali melihat sekeliling. Semuanya terasa asing. Ini bukan kamarku. Kenapa tempat ini semuanya berwarna putih? Apa jangan-jangan...
Aku mencoba bangun. Tapi lagi-lagi kurasakan tubuhku sakit semua. Kepalaku kembali berdenyut. Dan pada saat itu kulihat tanganku terbungkus selang infus. Aku...
"Apa yang terjadi, Ummi?"
"Kamu pingsan setelah selesai pertandingan basket tiga hari yang lalu." Jawab Ummi.
Ingatanku melayang pada kejadian di arena parkir. Tapi tunggu dulu. Ummi bilang 3 hari lalu? Apa aku tak sadarkan diri selama itu? Ya Allah... Pasti mereka sangat cemas dengan keadaanku.
Pintu terbuka.
Kak Iam masuk dengan membawa bingkisan plastik yang entah apa isinya.
"Alhamdulillah akhirnya kamu sadar juga, Dek. Kami sangat mengkhawatirkanmu." Kak Iam memelukku. Tak lupa sebuah ciuman mampir di keningku.
"Shakila baik-baik aja, Kak." Ucapku tersenyum.
"Baik dari Hongkong! Setelah kritis selama 3 hari, kamu bilang baik-baik saja?" Ekspresi wajah Kak Iam terlihat lucu saat melampiaskan kemarahan sekaligus khawatir. Aku terkikik geli. "Kamu ya... Orang khawatir malah diketawain. Dasar aneh!"
"Kak Iam lucu pas lagi ngomel."
"Dedek...!" Wajahnya dibuat garang. "Tapi baiklah. Kakak maafin tawa menyebalkanmu itu. Setidaknya Kakak bisa bernafas lega melihat keadaanmu sekarang."
Aku baru menyadari kalau ada orang lain di ruangan ini. Ternyata orang itu kak Saif. Sejak kapan dia disini. Sekedar menjenguk apa ikut menjagaku?
"Bagaimana keadaanmu, Dek?" Tanyanya lembut. Kulihat wajahnya nampak lelah. Senyumnya tersungging tulus padaku.
"Alhamdulillah udah baikan." Jawabku balas tersenyum.
"Alhamdulillah kalau begitu."
Kak Iam menghampiri kami setelah meletakkan beberapa benda di atas meja kecil di ujung lemari. "Shakila kan udah siuman. Sebaiknya kamu pulang dulu. Istirahat." Kulihat Kak Saif hanya tersenyum. "Nggak usah khawatir. Shakila baik-baik saja. Aku yang akan jagain dia." Kak Iam menepuk pundak Kak Saif. Pelan. "Sana." Lanjutnya.
Kak Iam kok nyuruh Kak Saif pulang sih? Aku kan mau Kak Saif disini menemaniku lebih lama. Baru juga siuman. Aku cemberut tanpa berani protes. Kulihat Kak Saif mengangguk. Ia kembali mendekatiku.
"Kakak pulang dulu, ya. Syafakillah, Dek Unyil."
"Amin. Makasih, Kak." Hanya itu kata yang mampu kukatakan.
Setelah pamit pada Ummi dan Ayah, sekali lagi Kak Saif menatapku dengan senyuman lembut. Terlihat seakan tak rela meninggalkanku namun wajahnya terlihat sangat lelah. Akhirnya dia menghilang di balik pintu ditemani Kak Iam.
Tak lama Kak Iam kembali. Menceritakan kalau selama aku pingsan dan di rawat di rumah sakit, Kak Saif tidak beranjak sedikitpun dari sisiku. Dia sangat khawatir terjadi sesuatu padaku. Selama itu pula dia tidak pernah berhenti membaca Yasin dan Al-Mulk sampai keadaanku kembali stabil.
Aku terharu mendengarnya. Apa mungkin suara merdu yang kudengar dari alam bawah sadar adalah suaranya?
◇◇◇◇◇☆☆☆◇◇◇◇◇
☆☆☆◇◇☆☆☆Alhamdulillah....
Yang masih nangkring disini makasih yaaaa.
Nemenin Shakila yang tiba-tiba Drop pas abis lomba...Kaciaaaaan...
Tapi siapa sih yang nggak baper pas berjuang antara hidup dan mati malah di bacain Surah Yasin dan Surah Tabarok???
Alvie juga mauuuuuu...
Eeh bukan mau mati yaaa...
Tapi di bacain tilawah kayak gitu...Subhanallah...
Sok Swiiit deh.. 😍
Cieee udah bisa tersenyum, padahal masih keliatan pucat gegara sakit.
Kelelahan abis jagain Shakila. Tapi kadar kegantengannya masih merona. Duh si Kakak Bayuu 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Uhibbuka Fisabilillah [Terbit di AE Publishing]
Spiritual#1 In Kejutan : Selasa, 24072018 #1 In Lora : Rabu, 22061440 #1 In NovelBaper : Sabtu, 01071440 #1 In Sahabatfillah : Ahad, 03101442 #1 In Shakila : Rabu, 080145-260723 Novel ini diikutsertakan dalam event Writing Project AE 4 #WPAE4 #RomanceReligi...