Hari ini langit terlihat begitu cerah. Burung-burung terbang bebas. Ada pula yang hinggap di dahan pohon. Berkicau riang sembari bercengkrama satu sama lain.
"Hayoooo lagi ngapain? Pagi-pagi udah senyum nggak jelas."
Aku yang tengah duduk di beranda melonjat kaget. Spontan menoleh ke arah samping. Mendapati Kak Iam sudah tertawa ngakak.
"Dasar Kuntil Om Om! Bisa nggak sih sehari aja Kak Iam nggak ngusilin Dedek?" Kucubit lengannya dengan gemas.
"Sakit, Dek!" Serunya meringis.
"Sabodo!"
Jeda.
"Dedeknya kakak yang paling manis kayak gula merah, mau nggak bantuin kakak?"
Heleeeeh....
Gini nih. Kalo lagi butuh bantuan. Sok manis, tuh. Muji-muji segala. Coba lagi kesel? "Apa?" Sahutku cuek.
"Bantuin kakak deket sama Dhea, dong, Dek. Kamu akrab kan sama dia. Plisss bantuin kakak, ya." Wajah Kak Iam sok imut gitu pas lagi merayu. Tak ketinggalan netranya mengerling padaku. Dasar kakak super aneh.
Sebenarnya nggak ada salahnya juga sih kakakku ini taarufan sama Mbak Dhea--gadis ayu teman sekelas Kak Iam. Aku akrab dengan Mbak Dhea karna kami satu komunitas di ruang baca. Orangnya baik, cantik, dan sifatnya islami banget.
Pada dasarnya aku setuju-setuju aja. Tapi yang jadi masalah kakak tuh orangnya kayak bunglon. Sekarang baik, besok belum tentu. Sekarang perhatian, besok berubah cuek bebek. Kan ngeselin.
"Gimana Dek, mau nggak? Mau ya?" Ya elaaah. Nih orang maksa banget.
"Bantuanku nggak gratis loh, Kak."
"Iya kakak tau. Udah hapal betul kakak. Kamu mau apa? Dibeliin ice cream? Jalan-jalan? Apa gimana?"
Aku terdiam. Mikir. Enaknya minta apa ya sama Kak Iam? Sekiranya dia kapok jailin aku. Otakku lagi buntu nih. Kali-kali ada yang bisa bantu kasih saran?
"Dedek sih mau aja bantuin kakak, tapi kakak harus janji nggak usil lagi. Apapun yang Dedek minta harus kakak turuti. Dan satu lagi. Kalo ingkar, Dedek aduin ke Ummi. Gimana? Setuju nggak?"
"Okelah. Tapi jangan minta yang aneh-aneh, ya."
Aku berdecak sebal mendengar responnya yang setengah hati. "Oh satu lagi. Nggak ada istilah pacaran loh, ya, Kak. Cukup Ta-a-ruf." Aku menekankan kata Taaruf padanya.
"Tapi, Dek?"
"Gak ada tawar menawar. Emang ini pasar ikan apa!"
Kak Iam garuk- garuk kening yang tak gatal. Takut nggak bisa memenuhi janji kali. Hehee...
◇◇◇◇◇
Bel waktu istirahat bergema di seluruh gedung sekolah. Semua anggota The Gokil sibuk dengan urusan masing-masing meninggalkan aku yang malas bergerak dari bangku. Bosan sendirian di kelas, aku berniat pergi ruang perpustakaan. Berencana meminjam novel. Bukan pelajaran sekolah. Hahaha. Sesampainya di lantai bawah ingatanku melayang pada insiden beberapa hari lalu. Haduuuh perasaan malu itu masih membayang. Tanpa sadar kakiku sudah melangkah begitu jauh. Hingga saat sadar sudah sampai di depan pintu perpustakaan.
Kulihat beberapa siswa kelas XII bergerombol di depan perpustakaan. Tumben banget? Tanpa sengaja mataku melihat sosok itu. Aduh. Kenapa bisa ketemu dia lagi sih. Aku harus segera pergi sebelum dia menyadari kedatanganku. Segera berbalik arah. Semoga cowok ganteng itu tidak melihat.
"Shakila, tunggu." Panggil seseorang.
Ampun deh.
Kenapa jantungku jadi nggak karuan gini sih. Berasa sedang lari marathon. Masa cuma ada orang asing memanggil namaku saja sampai kayak orang jantungan. Parah banget. Dia mendekat. Semakin dekat dan berdiri tepat di depanku.
"Benar kan nama kamu Shakila?"
Aku mengangguk. Dia tersenyum. Ya Allah. Senyumnya itu lho manis banget. Astaghfirullah Shakila. Kau ini. Otaknya mulai eror lagi. "Hey, kok bengong?" Waduuuh. Lagi-lagi kau mempermalukan dirimu sendiri di depannya.
"Iseng." Jawabku sekenanya. Jawaban macam apa itu? Tak Ber-peri-kebahasa-indonesiaan.
"Iseng?" Tanyanya mengerutkan kening. Bingung.
"Bisa jadi." sahutku lagi. Canggung menanggapinya.
"Maaf aku harus pergi. Ada sesuatu yang harus kukerjakan." Sok berkepentingan banget sih. Dan untuk kedua kalinya aku pergi tanpa menunggu jawaban darinya.
"Hei Shakila, tunggu!" Kulambaikan tanganku tanpa berucap apa-apa. Aku tau dia pasti tidak suka dengan sikapku ini. Tapi mau gimana lagi. Grogi banget kalau ketemu dia.
Hampir setiap hari dia datang menemuiku. Mengajakku untuk mengobrol. Namun, gara-gara grogi aku selalu menghindar dengan alasan ini-itu asal tidak bertemu dengannya. Aku bingung harus ngapain lagi kalau ketemu. Ya Allah hari-hariku mulai tak tenang. Bantu hambamu ini Ya Robb...
◇◇◇◇◇
Hari ini The Gokil ngajakin nangkring di taman. Tumben banget. Biasanya juga nangkring di kantin. Sambil menikmati Bakso Sedaaap nya Mang Udin. Si Aris tuh yang paling doyan makan bakso. Baginya kalau sehari aja tidak ke kantin berasa punya hajat wajib di qhodho' gitu. Dasar cowok aneh! Emang Solat Rowatib pake di qhodo' segala?
Ngomong-ngomong soal tempat nangkring hari ini bagus juga pilihan mereka. Yah setidaknya aku bisa terbebas sejenak dari bayangan ketakutanku bertemu lagi dan lagi dengan cowok ganteng itu.
Kalau dipikir-pikir aneh juga sih. Masa cuma mau ngobrol aja aku sampai lari-lari menghindar dengan alasan ini-itu. Gimana ya caranya menetralkan hati biar nggak grogi pas ketemu dia lagi? Nggak mungkin kan aku menghindar terus?
Aduuuh Ummi. Anak perempuan kesayanganmu otaknya butuh di servis nih. Tuluuuung Shakila, Ummi. Shakila bingung. Pusing 7 keajaiban dunia. Emang ada, ya? Ah elaaah... Ada tidaknya terserah deh. Kenapa malah menjurus kesana topiknya?
Kembali ke Laptop! Lagi!
Mulai lagi nih paniknya. Cari cara. Cari cara. Tuh kan otakku mulai kehilangan ide. Biasanya otakku yang paling encer kalau nyelesain masalah temen-temen. Masa iya masalah sendiri harus nanya pagar? Nggak necis banget kan. Lagian aku nggak mau sampai The Gokil tau. Bisa mati kutu digojlok abis-abisan sama mereka. Apalagi Amar. Dia pasti punya kesempatan emas buat balas dendam tuh. Dia kan sasaran utamaku kalau perkara gojlokan.
Kali ini aku sibuk sendiri berdialog dengan pikiran. Padahal di sekitarku sedang ribut. Seperti biasa, Amar si biang kerok lagi dijailin. Keseruan itu terhenti saat kulihat dua sosok cowok mendekat. Aku terlalu sibuk berdialog sendiri dengan Mr. Otak hingga tak menyadari siapa keduanya.
"Assalamualaikum, Ai. Boleh ganggu bentar?" Ucap seseorang.
"Waalaikumsalam. Eh mantan Presiden Sekolah." Mendengar kata presiden sekolah aku menoleh.
"Ada yang bisa kami bantu?" Tanya Mbak Aira ramah.
"Mau bagi-bagi sembako kali." celetuk Si biang kerok.
"Apa coba kau ini, Mar. Emang kamu korban Lapindo apa?" Sahut Aris diikuti tawa yang lain.
"Iya, Ris. Dia mah asal ceplos aja kalo ngomong." Sambung Indah.
Mantan Presiden Sekolah yang dimaksud Mbak Aira adalah Kak Iam. Dia mantan ketua Osis. Tapi murid-murid akrab memanggilnya presiden sekolah. Padahal jabatannya sudah tidak lagi berlaku sejak masa aktifnya berakhir.
Netraku beralih pada cowok di samping Kak Iam. Tanpa sadar mataku membelalak. Sulit menelan ludah alias panik dadakan. Sekarang aku harus bagaimana? Kabur? Diam? Atau .... Aaaaah entahlah. Bingung kembali mendera jiwaku.
Ya Allah, Ya Robby, Ya Ilahy!
Dia itu, kan.......
◇◇◇◇◇☆☆☆◇◇◇◇◇
☆☆☆◇◇☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Uhibbuka Fisabilillah [Terbit di AE Publishing]
Spiritual#1 In Kejutan : Selasa, 24072018 #1 In Lora : Rabu, 22061440 #1 In NovelBaper : Sabtu, 01071440 #1 In Sahabatfillah : Ahad, 03101442 #1 In Shakila : Rabu, 080145-260723 Novel ini diikutsertakan dalam event Writing Project AE 4 #WPAE4 #RomanceReligi...