"Siapa?" Tanya Indah, Amar, dan Aris.
"Kak Saif." Jawabku girang.
Jika saja aku tak bisa menahan diri, pasti sudah teriak saking bahagianya.
"Angkat, Sha. Cepat!" Indah menginstruksi. Cepat-cepat aku mengangguk.
"Assalamualaikum Dek Unyiiiiil......"
Allahu Robbi. Aku sampai kaget mendengar teriakan Kak Saif saat wajahnya terpampang jelas di layar ponsel.
"Waalaikumsalam Kak Bayuuuu..." Tak mau kalah kulambaikan tangan di depan layar.
"Haloo, Kak." Mbak Aira, Indah dan yang lain menyapa di sampingku. Kak Saif tertawa melihat anggota The Gokil sama girangnya bisa mengobrol lagi dengannya.
"Haloo... Apa kabar semua..."
"Alhamdulillah baik semua, Kak." Jawabku semangat. "Kakak sendiri?"
"Alhamdulillah baik juga. Kakak sangat merindumu yang imut kayak marmut." Ujarnya mengerling padaku "Kamu sendiri kangen nggak sama kakak?" Lanjutnya membuatku tertawa geli.
"Dia mah bukan kangen lagi, Kak. Tapi kangeeeeeenn banget." Lah kok malah Si Amar yang jawab sih?
"Iya, kak. Sering gallon dia sejak kakak pergi." Si Said pula. Ngapain nyeletuk ucapan si biang kerok.
"Dan satu lagi, Kak. Kakak tau kan ini apa?" Aris mengangkat mangkok bakso milikku tadi. Kulihat kak Saif mengangguk.
"Saingan kakak yang satu ini sudah kalah sejak kakak pergi." Lanjutnya diikuti tawa The Gokil yang lain. Tak lupa juga Kak Saif yang sampai memegang perut saking banyaknya tertawa.
"Jadi aku tidak perlu repot-repot menilang lagi kan, ya?"
Kembali tawa terdengar memenuhi udara di sekitarku.
"Ketawa aja terus. Biar aku yang pergi." Seperti biasa aku mengeluarkan jurus andalan.
"Cieee ngambek nih."
Ya elaaah. Pake acara menggoda lagi.
"Sabodo."
"Iya deh kakak minta maaf. Kakak cuma rindu liat wajah cemberut kamu Makin cemberut, cantiknya makin terpancar."
"Ngaco! Emang aku mercusuar apa!"
"Bisa jadi."
"Kakaaaaak!!" Aku sedikit esmosi.
"Ampuun, Dek. Kakak becanda."
Aku tau dia menahan tawa. Terlihat jelas dia menutup mulut dan bahunya terguncang pelan.
"Ohya, Dek. Kakak minta maaf karna nggak pernah menghubungi kamu sejak berangkat. Orang tuaku melarang menyentuh ponsel sebelum kakak membuktikan pada mereka kalau kakak bisa mendapat nilai terbaik di ujian semester pertama." Jelasnya panjang lebar.
"Iya, kak. Nggak papa. Aku ngerti. Jika itu yang terbaik untuk pendidikan kakak, aku dukung, kok. Jangan mikir macem-macem. Fokus aja sama kuliah kakak. Niatkan perjuangan kakak semata-mata karena mengharap ridho Allah."
"Insya Allah akan selalu kakak ingat, Dek. Satu hal lagi yang ingin kakak bicarakan denganmu."
Jeda."Abah meminta kakak untuk tidak memegang ponsel sampai lulus. Kakak boleh menggunakan telfon hanya ketika memerlukan sesuatu. Itupun terbatas menghubungi Abah, Ummi, dan keluarga saja. Maafkan Kakak yang selama masa kuliah ini tidak akan pernah mengabarimu. Dan semua orang yang kakak sayang. Sekali lagi maafkan kakak, Dek."
Lidahku kelu. Sampai obrolan berakhir aku hanya bungkam. Tak mampu mengucap sepatah kata. Terpisah jarak saja sudah membuatku kesulitan, apalagi bertahun-tahun hilang kabar? Ah membayangkan saja sudah terasa berat.
◇◇◇◇
"Hey.... Ngelamun aja Dedek cantikku ini." Kak Iam duduk di kursi sebelah. Seperti biasa mengusap kepalaku dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Suatu kebiasaan yang takkan pernah berubah.
"Gimana kuliah kakak? Lancar?" Tanyaku basa-basi membuka obrolan.
"Alhamdulillah lancar. Usaha kakak juga lancar."
"Siapa Juga yang nanya usaha kakak." Kak Iam mengacak rambutku yang terurai panjang.
"Dasar. Suka-suka kakak, lah."
Aku mencibir. Segera menghindar sebelum dia sempat mengacak rambutku lagi.
"Sebulan lagi kamu UN. Apa kamu sudah mempersiapkan semuanya?"
"Iya, Kak. Insya Allah sudah beres semua. Hanya saja ada yang Dedek khawatirin,"
"Apa?"
"Kesehatanku, Kak." Kak Iam mengangguk seakan baru sadar.
Penyakit itu sering kambuh setiap kali aku menghadapi ujian atau masalah-masalah yang memaksa otak berfikir keras. Kadang pula karna banyak pekerjaan berat yang kulakukan. Kata dokter sih penyakitku beragam. Ada yang inveksi otak, infeksi paru-paru, dan entahlah apa lagi. Inveksi otak terjadi karna kepalaku pernah terbentur saat jatuh terlalu keras di kamar mandi. Dan itu berakibat buruk pada otakku hingga saat ini.
Setiap kali aku menghadapi banyak masalah atau harus menghafal banyak pelajaran sekolah, otakku langsung bereaksi. Di bagian belakang terasa berdenyut keras. Kepala pening hingga penglihatanku mengabur. Dan tak jarang pula tergeletak pingsan jika sakit itu terasa sangat menyiksa.
"Ohya, Dek. Setelah lulus kamu mau kuliah dimana?"
Mendengar pertanyaan Kak Iam aku hanya terdiam. Menghela nafas berat. "Dedeg nggak ingin kuliah, Kak."
"Loh... Sayang banget kalau Dedek nggak kuliah."
"Maksud Dedek bukan gitu. Ada hal lain yang lebih penting daripada kuliah."
"Apa?"
Kak Iam yang sedari tadi memainkan ponselnya menatapku. Serius. Sejenak aku terdiam. Baru setelah meneguhkan hati aku mengatakan apa keinginan terbesarku selama ini pada Kak Iam.
Kutatap Kak Iam dengan penuh pengharapan. "Aku ingin nyantri, Kak." Ucapku mantap.
◇◇◇◇◇☆☆☆◇◇◇◇◇
☆☆☆◇◇☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Uhibbuka Fisabilillah [Terbit di AE Publishing]
Spirituelles#1 In Kejutan : Selasa, 24072018 #1 In Lora : Rabu, 22061440 #1 In NovelBaper : Sabtu, 01071440 #1 In Sahabatfillah : Ahad, 03101442 #1 In Shakila : Rabu, 080145-260723 Novel ini diikutsertakan dalam event Writing Project AE 4 #WPAE4 #RomanceReligi...