Bandung, Agustus 1943
Byulyi POV
Sejak Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942, Hindia Belanda secara resmi dijajah oleh Jepang. Beberapa orang Belanda, Indo-Belanda dan orang Eropa yang tak bisa keluar dari Hindia Belanda ditangkap oleh para prajurit Jepang dan dikirim ke kamp internir untuk bekerja paksa. Bahkan orang-orang Jawa, Ambon, Manado dan Timor juga ikut dikirim ke kamp-kamp internir tersebut. Orang-orang pribumi itu terpaksa masuk ke kamp-kamp internir karena dicurigai sebagai kaki tangan Belanda. Para prajurit Belanda ditangkap, dilucuti senjatanya dan dibunuh secara kejam oleh militer Jepang.
Arthur van Hoff, salah satu prajurit Belanda berpangkat rendah yang dikirim untuk menjaga kami juga ikut tewas terbunuh di tengah jalan menuju Batavia. Dia salah satu teman diskusiku selama 1 bulan pertama di Bandung. Aku masih ingat pada tengah malam itu, hujan deras tak berhenti turun dari sore hingga malam. Setelah perjanjian Kalijati, para prajurit Belanda diminta segera keluar dari Hindia Belanda demi keselamatannya. Arthur tahu untuk kembali ke Belanda dengan selamat bukan perkara mudah, karena militer Jepang sudah banyak menguasai wilayah-wilayah di Pulau Jawa saat itu. Maka sebelum pergi dari kediaman keluarga Liu, ia menemuiku di ruang baca.
"Nona, jaga diri baik-baik. Tetap bersama Nona Yiyun apa pun yang terjadi. Selama Nona bersama dengan Keluarga Liu, maka Nona akan selamat. Keluarga Liu akan dilindungi oleh militer Jepang setelah ini. Belanda sudah menyerah kalah terhadap Jepang. Tugas saya di Hindia Belanda sudah selesai, saya harus berkumpul dengan teman-teman lainnya di Pelabuhan Sunda Kelapa untuk kembali ke negara asal saya. Tapi saya tahu, perjalanan tak akan semulus itu menuju Batavia. Jika terjadi apa-apa terhadap saya, saya mohon kirimkan ini kepada keluarga saya di Belanda. Nona bisa mengirimkannya saat suasana aman. Saya tidak mau membahayakan nyawa Nona.", katanya lirih sambil menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dia memberikan sebuah jam poket berlapis emas. Di dalam jam tersebut terdapat fotonya bersama kedua orang tuanya. Terdapat ukiran nama Van Hoff di belakang jam tersebut.
"Baiklah Arthur. Saya akan berusaha melakukan itu. Tapi saya mohon, tetaplah bertahan. Saya harap kamu bisa kembali ke negaramu dengan selamat.", jawabku sambil memegang tangannya lalu memeluknya untuk yang terakhir kali. Tubuhnya bergetar, ia hampir terisak. Aku rasa Arthur kini sangat dilanda rasa takut yang amat besar. Tapi sebagai prajurit harus tetap menjalani apapun yang ditugaskan untuknya. Aku memeluknya untuk sekadar membuatnya lebih kuat menghadapi situasi ini.
Aku mengantarkannya keluar, di beranda aku melihatnya naik ke truk militer, duduk bersama dengan para prajurit Belanda lainnya yang akan diantar ke Batavia. Dia menatapku sendu, namun tetap berusaha tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku. Aku melambaikan tangan kepadanya, lalu mengepalkan tanganku kuat dan tersenyum, gestur untuk memberikan semangat kepadanya. Dan truk itu perlahan-lahan keluar dari pekarangan. Semakin lama terlihat kecil, menjauh dari berandaku.
Tak selang beberapa hari setelah itu, Baba Liu mendapat kabar bahwa truk yang ditumpangi Arthur saat itu ditangkap oleh prajurit Jepang. Semua yang berada disana tewas dibunuh. Senjata-senjata mereka diambil paksa. Dan mayat-mayatnya dibuang di tengah jalan.
Aku mendengar kabar itu tak berhenti murung dan menangis selama 3 hari, Yongsun eonni dan Yoondo oppa berusaha menemaniku. Aku sangat sedih, salah satu sahabatku pergi dengan tidak menyenangkan.
Ingatan lebih dari 1 tahun yang lalu itu masih berbekas kuat di memoriku. Jam poket itu masih aku simpan di laci ruang bacaku. Kata appa, belum waktunya untuk mengirim itu ke Belanda. Jepang masih sangat menjaga wilayah-wilayah perbatasan. Sangat berbahaya bila misalnya mereka mencurigai kami sebagai mata-mata Belanda dan sekutu. Appa berjanji akan memberi tahuku segera bila ada waktu yang tepat untuk mengirim peninggalan Arthur itu ke Belanda. Sebelum waktu itu tiba, aku harus menjaganya dengan baik.
Kini aku dilindungi oleh perwira menengah Jepang bernama Satoshi Kanazawa. Awalnya ia kaku, tak sehangat Arthur dan kami mengalami kendala perbedaan bahasa. Namun ia tetap sangat loyal dan selalu berusaha melindungiku. Sudah setahun lebih ini sering bersama. Kami sudah sangat akrab, bahasa Jepangku dan bahasa Belanda Satoshi sudah banyak berkembang. Dia banyak membantuku untuk memahami berita-berita yang beredar lewat surat kabar atau lewat surat-surat penting rahasia mengenai rencana Jepang yang dikirimkan kepada Baba Liu dan appaku, sehingga kami bisa mengantisipasi situasi yang akan terjadi selanjutnya.
Aku sedang duduk di taman belakang rumah, bersantai menikmati teh dan membaca surat kabar ditemani Satoshi. Yongsun eonni dan Yoondo oppa sedang ada pelajaran dengan guru privat mereka, sehingga mereka tidak bisa menemaniku. Sedangkan pelajaranku sudah selesai dari siang tadi.
"Byul, pemerintah Jepang akan memulai merekrut banyak orang dari seluruh wilayah kekuasaan Jepang.", kata Satoshi tiba-tiba padaku. Mukanya serius.
"Untuk apa? Bukankah Jepang sudah mendapatkan banyak sumber daya alam dari semua wilayah kekuasaannya?", tanyaku heran. Satoshi memberikan info, berarti keputusan ini punya banyak maksud. Bukan sekedar motif ekonomi.
"Ya, memang kami sudah menguasai banyak sumber daya alam. Namun untuk bertahan selama peperangan ini, dan bisa berjaya dengan waktu yang lama, kami butuh sumber daya manusia pula untuk menggerakkan perekonomian.", sahut Satoshi lagi.
"Bukankah kalian juga sudah mempekerjakan pribumi-pribumi untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan infrastruktur dan juga menggerakkan para pedagang dari Asia Timur untuk menggerakkan perekonomian juga?", jawabku kali ini mulai gelisah. Aku berharap apa yang aku pikirkan tak menjadi kenyataan.
"Ya, namun konferensi kekaisaran mengalihkan strategi ofensif menjadi defensif. Jepang sedang banyak berperang di Pasifik. Maka sangat diperlukan proyek-proyek pertahanan besar untuk kelangsungan perang ini. Kami akan mempekerjakan para pekerja itu dalam bidang infrastruktur, pertahanan dan pengadaan pangan. Serta wilayah-wilayah yang kelebihan pekerja akan dikirim ke wilayah yang kekurangan pekerja.", jawab Satoshi menerangkan.
"Maksudmu kalian akan mengirim para pekerja di Jawa ke proyek-proyek di luar Jawa?", tanyaku lagi memastikan.
"Benar. Para pekerja di Jawa akan dikirimkan ke Sumatera, Kalimantan dan Malaka. Pengawas Jepang juga sudah bekerja sama dengan pribumi. Membentuk Badan Pembantu Prajurit Pekerja diketuai oleh Hatta untuk melindungi kepentingan hak pekerja dan mengawasi persyaratan kerja. Dan dalam pengerahan tenaga kerja tersebut, Jepang juga mendapat bantuan dari anggota Barisan Pelopor Soekarno. Orang-orang yang berhasil mengumpulkan para pekerja sesuai kuota yang ditentukan Jepang, akan mendapat hadiah. ", jawabnya lagi. Mukanya agak kecewa, entah apa yang ia pikirkan.
"Berarti itu sesuatu yang baik. Sudah direstui oleh pejabat-pejabat pribumi pula. Orang-orang ini bisa mendapat pekerjaan. Tidak menganggur dan mengurangi kriminalitas di sini. Tapi kenapa kau tampak kecewa, Satoshi?", tanyaku akhirnya, tak tahan melihat mimik mukanya yang membuatku bertanya-tanya.
"Dalam peperangan, tak akan ada yang bisa memastikan bahwa hidupnya akan bisa sesuai rencana, Byul. Hak manusia tidak akan selalu dipenuhi. Apalagi Jepang juga sedang mengalami kerugian dan kesulitan besar selama perang berlangsung. Jadi, apakah pejabat-pejabat itu tidak berpikir, bahwa apa yang mereka lakukan sama saja menjual orang-orang mereka sendiri untuk kepentingan pribadi?", tanyanya kini padaku sambil menatap kedua mataku lekat-lekat.
Aku tersenyum. Tak menyangka Satoshi akan berpikir seperti itu. Aku pikir semua orang Jepang kejam dan tak peduli terhadap manusia lain. Yang dipikirkan hanya keuntungan pribadi. Tapi ia berbeda. Respekku terhadap Satoshi kini makin meningkat.
"Satoshi, aku yakin, para pejabat itu tidak semuanya egois seperti itu. Aku yakin ada beberapa yang pasti akan berjuang, merancang strategi demi menjaga hak-hak para pekerja itu. Mereka akan menjaga warganya dari ketidakadilan. Aku yakin itu." Jawabku sambil tersenyum meyakinkan Satoshi.
Satoshi nampak berpikir sejenak, dan lalu mengangguk. Matanya kini tak hanya kekecewaan yang terpancar seperti tadi. Tapi kini sudah berganti harapan. Harapan bahwa mungkin saja kata-kataku benar adanya. Bahwa di dalam dunia ini masih ada yang peduli sesama. Bukan hanya peduli memperkaya diri.
YOU ARE READING
Beyond Love
Fanfiction"Love has no limitations. It cannot be measured. It has no boundaries. Although many have tried, love is indefinable." ― Steve Maraboli, Life, the Truth, and Being Free