The Second Life

27 6 0
                                    

Djakarta, Mei 1947

Byulyi POV

Setelah satu tahun aku menetap di Yogyakarta, lebih tepatnya di kediaman Ki Agung. Aku mulai mencoba menata kembali hidupku. Politik dan keamanan Indonesia sudah semakin membaik. Walaupun ada bentrokan, namun tak sampai merugikan masyarakat biasa, hanya antara tentara Indonesia dan Belanda.

Batalion terakhir tentara Jepang sudah dievakuasi, dan tentara Inggris sudah keluar dari wilayah Indonesia dari akhir tahun lalu. Evakuasi orang-orang Eropa dan Indo-Eropa juga sudah berlangsung dengan aman. Yang tersisa hanyalah tentara Belanda, karena masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia.

Dengan suasana cukup kondusif itu, aku, Yiyun dan Soojung memutuskan untuk meneruskan pendidikan kami ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan bantuan koneksi yang masih dimiliki keluarga Yiyun, kami berhasil mendapatkan kesempatan masuk ke Universiteit van Indonesie oleh salah seorang pejabat tinggi Nederlandsch Indië Civil Administratie.

Aku, Yiyun dan Soojung lalu memutuskan pindah dari Yogyakarta ke Batavia, dengan terlebih dahulu berpamitan dengan Ki Agung, yang sangat mendukung keinginan kami untuk meneruskan pendidikan. Beliau juga memberikan kami pengawal tak kasat mata, agar kami selalu dijaga selama di Batavia.

Maka bulan Maret lalu, kami dikawal oleh Akira, Takashi dan beberapa militer Belanda yang merupakan suruhan dari teman baik ayah Yiyun yang seorang pejabat Nederlandsch Indië Civil Administratie, pergi ke Batavia untuk memulai awal tahun ajaran perkuliahan kami.

Di Batavia, kami diberikan rumah milik salah satu pejabat militer Belanda di sekitar Oranje Boulevard 72. Yang kebetulan tak jauh dari Faculteit der Rechtsgeleerdheid en van Sociale Wetenschap, tempat kami menempuh pendidikan tinggi. Suasana kampus menyenangkan dan cukup kondusif membuat aku bisa melupakan sejenak tentang masalah Yongsun.

"Byul! ... Byul! ... Hei Byul!", teriak Yiyun yang berlari dengan tergesa-gesa ke arahku yang saat ini sedang duduk santai dengan buku pelajaran di tangan, menikmati pemandangan dari kursi taman kampusku.

"Astaga, apa-apaan kau berteriak-teriak begitu. Ini kampus Yiyun, bukan lapangan olahraga.", kataku menegurnya yang ribut bukan main.

"Dengarkan aku, kau harus segera ikut aku ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.", jawab Yiyun lagi dengan nafas masih terengah-engah karena habis berlari.

"Ada apa? Soojung sakit?", kataku segera bertanya cemas dan mulai membereskan buku-buku pelajaranku ke dalam tas ranselku.

"Tidak! Soojung sehat-sehat saja, ini tentang Yongsun eonni!", sahutnya dengan bersemangat sambil mengoyang-goyang tubuhku.

"Apa hubungannya dengan Yongsun eonni?", kataku kini menatapnya heran.

"Ahhh ikut saja denganku. Nanti sambil jalan aku ceritakan.", sahutnya lagi dengan tak sabar menarik tanganku untuk mengikutinya segera menuju rumah sakit yang letaknya tak jauh dari fakultas kami.

Tak lama kami sampai juga di pelataran rumah sakit, Yiyun dengan cekatan memberikan arah menuju sebuah lorong menuju ruang persalinan yang saat itu bisa dibilang tidak terlalu ramai. Nampak beberapa keluarga sedang menunggu proses persalinan salah satu anggota keluarga mereka. Ada yang gugup, ada yang tenang mengobrol dan ada yang sambil berdoa. Macam-macam kuperhatikan perilaku mereka.

Sampai pada ujung lorong, nampak seorang pria paruh baya dengan busana khas Tionghoa dengan muka yang cukup tampan dan badan yang masih gagah terlihat cemas dan gugup, berjalan bolak balik di depan pintu ruang bersalin. Yiyun yang melihat bapak itu lalu berhenti dan tersenyum. Aku yang melihat Yiyun berhenti pun ikut berhenti.

"Lihatlah pria itu, Byul.", kata Yiyun pelan kepadaku.

"Ada apa dengan pria itu? Aku tak pernah mengenalnya sebelumnya.", kataku heran memandang Yiyun yang kini tersenyum lebar sambil memperhatikan pria itu.

"Pria itu yang akan menjadi ayah Yongsun di kehidupannya yang kedua ini." , jawab Yiyun yang kini menatapku dengan muka serius sambil tersenyum.

"Jadi, maksudmu sekarang Yongsun akan segera lahir kembali? Astaga! Terima kasih banyak Yiyun, terima kasih!", kataku sambil memeluk erat Yiyun dengan bahagia. Aku berterima kasih, karena lewat bantuan penglihatannya, aku kini bisa melihat Yongsun lahir kembali.

"Ya... ya... ya, sekarang sana, kau temani calon mertuamu yang gugup menunggu kelahiran putri pertamanya. Aku harus kembali. Soojung sudah menungguku di rumah.", Jawab Yiyun sambil meremas bahuku, mendorongku kearah calon ayah Yongsun setelah pelukanku terlepas.

Aku berjalan beberapa langkah dengan agak ragu, lalu memalingkan pandanganku kearah Yiyun lagi. Dia masih berdiri dan tersenyum kepadaku memberikan dua jempol tangannya, menyemangati aku. Aku yang merasa didukung kini mulai berjalan menuju calon ayah Yongsun dengan tenang.

Calon ayah Yongsun kini duduk di kursi tunggu depan ruang persalinan, aku segera duduk disampingnya. Berusaha santai dan tak gugup. Mencoba setidaknya membuat dia merasa ditemani dengan kehadiranku.

"Nak, kau sedang menunggu persalinan ibumu juga?", Tanya ayah Yongsun kepadaku setelah memperhatikan aku yang duduk disampingnya.

"Iya, tuan. Ibuku baru saja masuk ke ruang persalinan di lorong sebelah sana. Karena sudah tidak ada bangku kosong disana, aku jadi duduk disini.", kataku mencari alasan yang tepat mengapa aku bisa disini.

"Ohhh... Aku juga sedang menunggu istriku melahirkan putri pertama kami.", kata ayah Yongsun kini mulai agak tenang.

"Tenang tuan. Semua akan bisa ditangani oleh dokter-dokter dan perawat ahli disini.", jawabku berusaha menenangkan beliau.

"Ya.. yaa... aku percaya itu.", sahutnya kembali lalu mulai duduk menyender di bangku. Tanda dia sudah mulai cukup rileks.

"Kau bersekolah dimana nak?", tanyanya kembali memecahkan keheningan singkat diantara kami.

"Saya sedang melanjutkan pendidikan tinggi di Universiteit van Indonesie.", jawabku kini sambil tersenyum simpul

"Wahhh, bagus sekali. Ambil fakultas apa?", Tanya ayah Yongsun lagi sambil menatapku dengan tersenyum.

"Faculteit der Rechtsgeleerdheid en van Sociale Wetenschap.", jawabku dengan rasa agak bangga. Karena tak semua orang bisa masuk fakultas itu. Apalagi tempatku melanjutkan pendidikan juga merupakan salah satu universitas yang bergengsi di Indonesia.

"Wah, kau orang pintar rupanya. Calon ahli hukum. Hebat!", katanya kini sambil mengacungkan jempolnya sambil tertawa.

"Ahh tidak, tuan. Saya hanya pelajar biasa.", jawabku tersenyum, berusaha merendah.

Lalu tiba-tiba suara tangis bayi terdengar dari dalam ruang persalinan. Ayah Yongsun lalu langsung berdiri menarikku menuju pintu sambil berkata : "Nak, anakku akhirnya lahir! Aku sangat senang sekali! Kau tahu? Tuhan sungguh baik padaku. Di umurku yang tak lagi muda, Ia akhirnya memberikanku anak. Aku sungguh bahagia sekali!"

Dia kini tertawa dengan gembira, tak sabar menunggu perawat keluar memperlihatkan anak dan ibunya. Aku juga tidak sabar melihat Yongsun eonni lagi dalam sosok seorang bayi.

Lalu pintu ruang bersalin terbuka lebar, perawat mempersilahkan ayah Yongsun masuk ke dalam untuk melihat kondisi ibu dan anaknya pertama kalinya. Ayah Yongsun dengan gembira tertawa berlari seperti anak kecil menemui ibu Yongsun yang walaupun mukanya lelah habis melahirkan namun nampak gembira. Lalu perawat yang telah membersihkan tubuh Yongsun dari sisa darah dan lain-lain kini membawa bayi Yongsun ke pelukan sang ibu.

Aku melihatnya dengan gembira, tak terasa air mataku menetes. Aku melihat bayi Yongsun yang cantik kini nampak tidur tenang dan nyaman dipelukan ibunya. Ayahnya nampak bahagia dan ikut menangis terharu sambil memeluk keluarga kecilnya itu. Aku yang berdiri di dekat pintu, bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi didalam dengan jelas.

Beberapa perawat disitu tersenyum gembira melihat kebahagiaan yang terpancar dari orang tua baru itu, salah satu dari mereka lalu bertanya : "Tuan, siapa nama bayi cantik ini?"

Lalu ayah Yongsun tersenyum dan berkata dengan penuh semangat : "Jin Rong Xian. Namanya Jin Rong Xian. Karena dia akan selamanya menjadi sumber kebahagiaan dan kebanggaanku."

Aku yang masih terpaku berdiri menatap semua peristiwa itu dengan hati gembira tak terkira dan air mata bahagia masih mengalir dari kedua mataku hanya bisa berkata pelan :

"Selamat datang kembali ke dunia, cintaku, Jin Rong Xian."

Beyond LoveWhere stories live. Discover now