Bandung, Oktober 1945
Byulyi POV
Sejak peristiwa proklamasi kemerdekaan terjadi, Liu Yiyun berubah menjadi lebih pendiam dari biasanya, mukanya nampak lelah dan muram. Kami tentu saja bertanya mengenai kesehatannya, dan dia mengatakan kalau dia sedang tidak sehat saja. Butuh banyak istirahat.
Namun setelah seminggu kemudian, Akira kembali dari Yogyakarta. Ternyata ia ditugaskan oleh Soojung untuk membawa seseorang bernama Ki Agung. Perawakannya tinggi besar, nampak berumur kira-kira 50an, dengan jenggot putih dan memakai jubah putih. Mukanya nampak bercahaya, kharismatik dan tenang.
Sejak beliau datang, Yiyun jauh nampak lebih cerah dan bersemangat, ia bahkan memperkenalkannya kepada kami dengan muka berseri-seri, kalau beliau adalah guru spiritualnya selama berada di Yogyakarta untuk menimba ilmu kebatinan.
Dan setelah itu sampai sekarang Ki Agung tinggal bersama kami. Yiyun nampak sering berdiskusi serius dan menghabiskan cukup banyak waktu dengannya. Bahkan Soojung tak mau mengganggu mereka bila sedang bersama.
Keadaan negara sejak proklamasi tidak berjalan dengan damai, kami banyak menerima laporan dari banyak tempat mengenai penyiksaan sadis dan pembunuhan serta boikot bahan pangan pada prajurit Jepang yang masih bersisa, serta orang Eropa, Indo-Eropa dan orang Indonesia yang dituduh sebagai pro-Jepang serta pro-Belanda.
Laporan-laporan itu membuat kami makin resah dan khawatir. Dengan kedudukan kami yang sekarang, ini bisa memicu kesalahpahaman dan membuat keselamatan kami terancam. Namun appa – appa kami masih menenangkan kami bahwa situasi ini akan segera berlalu. Jaminan dari beberapa petinggi negara saat itu.
Sampai pada suatu malam yang gaduh, pintu kamarku digedor dengan keras. Dengan perasaan yang cemas aku membuka kamarku. Tak biasanya ada yang mengganggu waktu istirahatku malam-malam seperti ini, kecuali sangat darurat. Dengan cepat aku turun dari ranjangku, mengambil jaketku dan membuka pintu kamarku.
"Maaf mengganggu istirahatmu Byul, namun aku di tugaskan untuk mempersiapkan kalian. Kita akan segera ke Camp Kareës setelah militer Inggris tiba kesini.", jawab Satoshi sambil berjalan masuk ke kamarku dan dengan tergesa-gesa mengambil koper-koper berisi pakaianku. Karena situasi keamanan akhir-akhir ini tak menentu. jaga-jaga bila kami harus segera mengungsi seperti saat ini, maka pakaian kami harus siap berada didalam koper.
"Apa yang terjadi sebetulnya? Siapa yang memerintahkan kita ke Camp Kareës? Bukankan disana Kamp untuk orang Eropa yang menjadi tawanan Jepang?", tanyaku dengan bingung sambil mengikuti Satoshi membawa koperku menuju keluar kamar.
"Akira, Takashi, Nona Muda Liu dan Nona Muda Jung serta Ki Agung sedang mencari bantuan militer Inggris untuk menjemput kita menuju Camp Kareës. Para pemuda pribumi melakukan sweeping untuk orang-orang yang diduga pro-Jepang ataupun pro-Belanda.", kata Satoshi singkat dengan raut muka nampak gusar berjalan menuju ruang tengah, tempat Yoondo oppa, Yongsun oppa dan Joowon oppa berkumpul. Orang tua kami semua sedang berada di Surabaya untuk menemui para petinggi membantu menetralisir situasi yang sejak bulan-bulan ini memanas karena isu-isu sikap nasionalisme sempit yang didengungkan.
"Tapi bukan kah kita sudah dijamin para petinggi di Batavia, bahwa kita akan selamat jika ada kekacauan seperti ini. Kita bukan pengkhianat Satoshi. Kau kan melihat bagaimana peran kami semua selama ini. Tak ada satupun langkah yang kami lakukan untuk merugikan negara ini. Kita mempertaruhkan semuanya termasuk nyawa kita sendiri dengan tetap membantu para pejuang dari belakang lewat jalur-jalur koneksi yang legal. Kita membantu negara ini hingga merdeka!", kataku setengah berteriak karena kesal dengan jawaban Satoshi yang berkesan bahwa kami termasuk para pengkhianat yang bekerja sama dengan penjajah, hanya untuk menyelamatkan atau memperkaya diri sendiri.
YOU ARE READING
Beyond Love
Fanfiction"Love has no limitations. It cannot be measured. It has no boundaries. Although many have tried, love is indefinable." ― Steve Maraboli, Life, the Truth, and Being Free