Bandung, Maret 1946
Byulyi POV
Aku duduk dipelataran kamp, memperhatikan api unggun yang menyala dan bintang-bintang dilangit yang menyala terang malam ini. Nampaknya cuaca sedang dingin di Camp Kareës. Banyak pengungsi dan beberapa prajurit Inggris menggunakan jaket berlalu lalang. Namun aku disini hanya menggunakan kaos dan celana panjang menatap mereka dalam diam.
Sudah beberapa bulan sejak malam mengerikan itu terjadi. Kata Yiyun, aku sempat tak sadarkan diri selama 3 hari. Aku masih ingat terbangun dengan sangat lemas tak bertenaga, merasa heran aku masih bisa hidup, dan sudah dalam perawatan di Camp Kareës. Luka-luka yang seharusnya ada di leherku sudah hilang tak berbekas dan tak berasa sakit. Hanya ada goresan kecil tanda leherku pernah terluka. Dan kulitku semakin putih pucat.
"Hei Byul, kau disini. Kau sudah meminumnya?", sapa Yiyun yang datang mengganggu perenunganku.
"Sudah. Aku juga sudah gosok gigi juga. Supaya mulutku tak berbau amis.", sahutku sambil tersenyum kepadanya.
"Kau sudah menyesuaikan diri dengan dirimu yang sekarang sepertinya ya." , kata Yiyun memecahkan keheningan yang terasa nyaman diantara kami.
"Sepertinyaa...", sahutku pelan sambil menatap langit malam.
"Setiap bulan kau harus meminumnya, mau tidak mau. Kau tinggal mencari seorang gadis. Supaya kau tidak jatuh lemas dan sakit. Itu sudah syarat. Dengan wajahmu yang tak jelek-jelek amat dan warisan yang kau terima sebagai satu-satunya pewaris Keluarga Moon, tentu tidak akan sulit meminta darah bulanan mereka. Syukur-syukur kau bisa meminumnya langsung dari sumbernya. Hahahaha.", ledek Yiyun sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haish... dasar mesum!", kataku sambil tersenyum memukul lengannya dengan cukup kencang.
Setelah tawa kami pudar, suasana kembali hening. Tak hanya Joowon oppa, Yongsun eonni dan Yoondo oppa yang meninggal karena sweeping itu. Tapi orang tua kami semua juga tertangkap, meninggal disiksa, dilecehkan, dan dibunuh di Surabaya karena mereka tak berhasil mengungsi ke kamp terdekat, Fort van den Bosch.
Selama beberapa bulan setelah menerima kabar itu, aku, Soojung dan Yiyun sangat sedih dan benar-benar kehilangan harapan. Kami tak menyangka akan kehilangan orang tua kami juga. Beruntung Ki Agung terus menjaga kami. Membuat kami merasa tak kehilangan sosok pendamping dan panutan. Ki Agung lama kelamaan menjadi seperti orang tua kami sendiri. Beliau tak meninggalkan kami dan tetap berada di sisi kami selalu, selama masa-masa sulit dan merupakan titik terendah dalam hidup kami semua.
"Hei Byul, kau masih merindukan Yongsun dan lainnya?", Tanya Yiyun dengan lembut kepadaku, memecahkan keheningan yang tercipta karena kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
"Tentu. Setiap hari. Kadang aku terus bertanya, kenapa aku saja yang bisa bertahan. Kenapa mereka tidak?", sahutku dengan mata nanar menatap Yiyun yang kini melihatku dengan muka bersalah.
"Aku juga merindukan mereka. Setiap hari aku menyalahkan diriku. Kenapa aku tak bisa lebih cepat datang saat itu. Kenapa aku tak bisa menyelamatkan kalian segera. Jika aku bisa datang lebih cepat, Yoondo oppa dan Joowon oppa tidak akan meninggal ditusuk bambu runcing. Jika aku bisa datang lebih cepat, Yongsun eonni tidak akan bunuh diri karena tidak mau disentuh oleh manusia-manusia biadab itu. Jika aku bisa datang lebih cepat, Satoshi ... ", kata-kata Yiyun terputus saat aku menggenggam erat tangannya. Ia yang tadinya berbicara sambil matanya menerawang jauh kearah langit kini memandang kearahku. Aku menggenggam erat tangannya.
"Sudah. Sudah cukup, Yiyun. Aku tidak menyalahkan dirimu. Aku sungguh sangat berterima kasih kau datang. Menyelamatkanku. Kita juga bisa menguburkan mereka dengan layak diperkebunan. Kau juga sudah menjagaku disini. Kau membuatku bisa merasakan kesempatan hidup kedua kalinya. Aku mohon, jangan salahkan dirimu lagi ya.", sahutku dengan lembut sambil meremas lengannya. Dia lalu mengangguk pelan mendengar kata-kataku.
YOU ARE READING
Beyond Love
Fanfiction"Love has no limitations. It cannot be measured. It has no boundaries. Although many have tried, love is indefinable." ― Steve Maraboli, Life, the Truth, and Being Free