BAB 5

2.1K 113 15
                                    


"Ibu kira sekarang sudah waktunya, nak." Kata Ibu pelan selepas shalat jamaah Subuh yang diimami puteranya, Hilal.

Hilal terkejut. Ada beberapa PR yang harus ia kerjakan, salah satu terberatnya adalah menjadi pemimpin Assalam berikutnya. "Apa tidak terlalu cepat, bu?"

Ibu memandangi wajah Hilal seksama. Kepulangan Hilal setelah berkelana menuntut ilmu beberapa hari yang lalu membuat semua kekhawatiran, cemas, rindu terbayar dengan memuaskan. Hilalnya yang selalu menolak tidur siang dengan memilih bermain skuter dihalaman depan sudah tumbuh sebesar ini.

"Karena memang sudah waktunya, nak." Ulang ibu lagi. Senyum bersahajanya mengembang.

Alis tebal Hilal naik, menurutnya ilmu yang dimiliki olehnya belum cukup untuk jadi seorang kyai. Ia masih butuh untuk belajar dan memperdalam ilmu agama. Karena baginya, menjadi pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam merupakan tanggung jawab berat, baginya ia belum cukup mumpuni untuk menjadi panutan.

"Sudah waktunya kau menikahi gadis itu."  Ucap ibu pelan. "Membiarkan gadis berjuang seorang diri itu bukan sifat lelaki."

Hilal mengambil nafas berat. Yang ia pikirkan ternyata bukan yang dimaksudkan ibunya. "Hilal belum siap bu." Jawabnya segera menundukkan kepala.

"Bagaimana bisa kamu mencintai seseorang tapi kamu sendiri belum siap membuatnya merasa dihargai? Dengan kau menikahinya, dia akan merasa tenang dengan segala ketidak pastian yang selama ini menekan perasaannya.

Ibu kira kamu dengan pengetahuan agamamu lebih paham, bagaimana caranya kamu bisa menghargai seorang wanita. Hilal, segeralah kau putuskan." Tekan ibu lagi.

Hilal mengangguk disela nafasnya yang masih terasa berat. Kemudian tangan ibu yang telah melahirkannya dicium takdzim. Lalu ia memeluk ibu yang sudah lama tak ia rasakan kehangatannya sambil berbisik sangat pelan, "Doakan Hilal supaya jadi lelaki bertanggung jawab, bu."

"Aamiin ya rabb." Ucap ibu lirih mengelus pundak puteranya. Ia semakin yakin, kalau ini memang sudah waktu yang tepat.

***

Sejak pelantikkan UBM kemarin, aplikasi chat Humam penuh dengan nomor-nomor yang tidak dikenal. Banyak diantaranya hanya berucap salam atau yang terekstrem mengungkapkan perasaan cinta. Panggilan masuk nomor privat juga muncul tak berhenti-henti. Membuatnya menjadi tak nyaman. Privasi dan ketenangan yang selalu ia jaga ketat sirna dalam semalam. Hidupnya menjadi crowded. Setiapkali ia berjalan dikobong ataupun keluar menuju kelas, banyak santri putera yang menyampaikan titipan salam dari santri puteri. Sungguh ia sama sekali tidak bisa mentolelir semua ini.

"Saya ingin mengundurkan diri, Ya." Tutur Humam menghadap Hawwiya.

Mendapat penuturan itu ning Hawwiya tertawa, karena sejak bersama-sama kuliah dulu ia sangat paham dengan kekakuan Humam, "Kenapa, hidupnya keganggu?"

"Saya paling nggak suka ditertawakan saat sedang serius begini. Saya benar-benar ingin mengundurkan diri." Kekeh Humam serius.

Hawwiya mencoba menahan tawa, dengan cara apapun Humam mengungkapkan keseriusannya sama sekali tidak mempan. Karena ia sangat paham betul dengan watak sahabatnya ini. Humam memang kaku dan serius, tapi labil. Pemikirannya gampang berubah-ubah dan tidak pernah konstan pada hal semacam ini.

"Kalau kamu merasa di teror, kenapa nggak ganti nomor aja? Nggak usah di bikin pusing lah." Saran Hawwiya.

Humam nampak berpikir sejenak, "Ah iya, kok saya bodoh sekali?" gumamnya agak sedikit keras.

Tawa Hawwiya makin kencang. "Jadi ngundurin diri nggak nih?"

"Nggak. Saya tarik semua ucapan saya barusan. Anggap saja sedang mengigau." responnya cepat.

GUS HILALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang