Kilas Balik

1.7K 455 37
                                    

"Pokoknya, saya mau jadi dokter!"

Ibu menggelengkan kepala melihat anaknya ini masih sangat keras kepala sejak dua minggu silam. Tulisan merah dari pengumuman SNMPTN lalu sama sekali tidak membuatku jera. Pun dengan hasil SBMPTN.

Aku tetap kekeuh mau masuk Fakultas Kedokteran. PTN manapun tak masalah, yang penting bukan PTS, karena aku bukan berasal dari keluarga yang berlebih.

"Kalau besok hasil Ujian Mandiri kamu masih merah, nurut sama Ibu, ya?" tanya Ibuku seraya meletakkan secangkir teh hangat. Aku menghela napas perlahan dan mengangguk dengan enggan.

Namun, aku sudah membuat perjanjian dengan kedua orangtuaku kalau-kalau aku gagal lagi--di tes yang kedelapan kalinya--aku akan menuruti apapun pilihan Fakultas dari orangtuaku.

Dan sepertinya, menjadi dokter memang bukan jalan nin--hidupku.

"Kimia murni, sepakat?"

Setahun berlalu, diam-diam aku mengikuti SBMPTN kembali untuk mendapat Fakultas Kedokteran. Tetapi, ternyata benar kata orang-orang, kalau restu orangtua adalah segalanya.

Dengan lunglai, aku pergi meninggalkan warnet yang kusinggahi dan mengubur rapat-rapat impian untuk menjadi dokter.

***

Tiga tahun berlalu, aku berusaha untuk tidak menggigit lidahku sendiri saat wawancara kerja di salah satu perusahaan kimia.

Pasalnya, sedari beberapa menit yang lalu, pewawancaraku bolak-balik menatap berkas berisi data diri dan wajahku. Kemudian, dia menarik napas panjang.

"Anda ini ... sepertinya tidak cocok bekerja bersama benda mati, karena dari hasil pengamatan saya, anda lebih cocok bekerja dengan manusia."

Aku menaikkan alis. Sekilas, aku teringat keinginanku untuk menjadi dokter. Namun aku memilih mengangguk-angguk takzim dan segera undur diri setelah dipersilakan.

Bukan akhir dari wawancara kerja yang baik, kurasa.

***

Sesuai perkataan pewawancaraku beberapa minggu yang lalu, saat ini aku malah berada di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri sebagai salah satu guru honorer.

Dalam hati, aku menyetujui ucapan pewawancara itu, bekerja di laboratorium kimia pasti membosankan. Jauh lebih asyik kalau dapat berinteraksi dengan anak-anak yang punya antusiasme dibandingkan dengan benda-benda mati yang tentunya tetap diam meskipun kuajak berbicara.

Aku memulai hari pertamaku mengajar sembari membayangkan, seperti apa ya wajah calon-calon muridku nanti?

***

Rasanya aku ingin tertawa melihat ekspresi-ekspresi lucu yang ditampilkan murid-muridku ketika aku selesai bercerita tentang keinginan menggebu-gebuku menjadi dokter.

Aku tahu kalau sebagian besar dari mereka pasti ingin mendapat profesi itu, wajar saja, karena aku tengah berada di salah satu sekolah bergengsi di negara ini.

Seusai puas menikmati ekspresi mereka, aku kembali menerangkan tentang Elektrokimia. Samar-samar dapat kudengar murid-muridku melenguh malas. Yah, mendapat pelajaran Kimia di jam terakhir bukan hal yang menyenangkan, namun tetap saja, aku terkagum-kagum dengan kemauan mereka untuk belajar karena setelah melihat-lihat sekilas catatan mereka, rasanya seperti melihat pelangi.

Pulpen warna-warni, stabilo, sampai spidol. Aku jadi merindukan masa-masa SMA dulu.

***

"Jadi kamu lebih memilih diajarin beliau daripada saya?" Entah efek dari hamil di usia yang sudah menginjak kepala empat atau apa, aku hampir tidak dapat mengontrol nada bicaraku.

Salah satu muridku menanyakan soal yang katanya adalah soal dari guru lain, membuatku merasa diduakan. Hey, muridku sampai menyebutkan nama guru itu! Padahal, di awal kelas, aku selalu membuat perjanjian untuk tidak menyebutkan nama guru lain saat menanyakan soal padaku dengan maksud untuk menjaga perasaanku.

Aku berhak kesal, bukan?

Namun sepulang sekolah, aku menghampiri muridku dan meminta maaf padanya. Dan dia juga meminta maaf padaku. Toh, manusia tempatnya salah, kan?

***

"Pulang dulu, Bu."

Aku menggenggam tangan salah seorang murid perempuanku yang berjilbab. Kemudian tersenyum. Mood-ku benar-benar fluktuatif efek dari janin perempuan yang kukandung. Perempuan itu labil, kan?

"Kamu kok panas?" tanyaku berusaha bercanda padanya yang terlihat bingung. Di sebelahku, seorang murid perempuanku yang lain menyeletuk.

"Nervous kali Bu, haha!"

"Haha, yah wajar kan baru satu bulan ngajar ya? Tapi kamu imut banget loh, kayak anak SMP nyasar."

Setelah tertawa sopan, murid perempuanku yang berjilbab mengangguk singkat dan berlalu.

Bekerja dengan manusia memang menyenangkan, ya?

***

"Sudah siap?"

Sosok besar itu membuatku tersenyum. Padahal di bawah kami, puluhan orang menangis dan berwajah murung.

Dapat kulihat di salah satu sisi tubuhku yang terbaring kaku, murid laki-laki yang beberapa minggu lalu sempat adu cekcok karena kelepasan menyebut nama guru lain di depanku, tengah sesenggukan seraya bergumam, "Aku masih punya salah pada Ibu."

Aku menggelengkan kepala. Andai saja aku dapat membalas perkataannya, "Tidak, Nak, kamu udah Ibu maafkan sejak dulu."

Di sisi lain, ada murid perempuanku yang berjilbab tengah menundukan kepala sembari melafalkan doa untukku. Aku jadi teringat akan tangannya yang terasa panas saat itu, apa dia masih nervous saat melihat jasadku sekarang, ya?

Aku menatap terakhir kalinya pada semua orang yang menyayangiku. Kemudian, aku berbalik dan mengangguk mantap pada sosok besar yang sedari tadi menungguku.

"Ya, saya sudah siap."

File 005: Sebuah Perjalanan,

Fin.









Catatan Anis:

Teruntuk Ibu Guru Kimia saya yang telah berpulang ke sisi-Nya pada pukul 07.00 WIB tanggal 21 Agustus 2017. Semoga amal dan ibadah Ibu diterima di sisi-Nya. Terimakasih untuk semua ilmu yang telah Ibu ajarkan selama satu setengah bulan terakhir ini. Meski cuma sebentar diajar Ibu, tapi Ibu tetap ngangenin, he he.

P.S: Oh ya, saya nggak nervous kok Bu, saat itu kayaknya emang saya lagi demam, haha.

P.S.S: 90% kejadian yang kamu baca dari cerita ini adalah berdasarkan kisah nyata. Saya dapat dari cerita-cerita beliau ketika melihat saya dan teman-teman pening belajar Kimia di jam terakhir.

Tawa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang