Pikiran Manusia

2K 345 22
                                    

Bab ini mengandung kata-kata kasar, bagi yang merasa tidak nyaman dengan hal itu, dipersilakan untuk tidak membaca bab ini.

***

Apa kamu pernah bermimpi memiliki kekuatan supranatural?

Seperti telekinesis--menggerakan benda dengan pikiran--, menghentikan waktu, atau bahkan terbang di angkasa?

Aku memiliki satu dari kemampuan yang disebut-sebut mustahil itu, pembaca pikiran. Aku dapat membaca pikiran orang lain hanya dengan berkonsentrasi seraya menatap orang tersebut.

Tapi, aku menganggap 'bakat' ini sebagai kutukan.

Kalau orang lain sangat ingin mengetahui apa yang orang-orang pikirkan tentang mereka, maka aku sebaliknya.

Karena, isi pikiran manusia sangatlah busuk dan menyeramkan.

Contohnya manusia satu ini.

'Ah, rasanya aku ingin menelanjanginya saja! Dasar jalang! Bisa-bisanya dia berpakaian seperti--'

Aku sangat ingin meneriaki pria mesum dengan tindikan di telinga itu dengan kalimat,'kau yang brengsek, bodoh!'

Tapi urung kulakukan. Yang ada, aku malah akan menjadi mangsa dia dan sekumpulan laki-laki bertato lainnya yang tengah merokok di salah satu sisi halte.

Aku melirik wanita yang sedari tadi pria itu pelototi seperti kesetanan. Yah, busana off-shoulder, rok mini plus high heels memang tidak cocok dikenakan saat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam di sebuah halte yang penuh orang-orang mesum, bukan?

'Bukan urusanku,' pikirku berusaha menghiraukan kata-kata pria mesum tadi pada wanita berbusana minim itu.

Pikiran manusia memang menjijikkan.

***

'Ugh! Menyebalkan! Aku juga bisa memaksa Ayah untuk membelikan itu kalau aku mau, sialan!'

Aku menatap datar pada Layla, teman sekelasku yang tengah bercengkrama dengan salah satu ratu lebah di sekolah kami, Fidya.

Layla boleh jadi terlihat tersenyum dan sesekali tertawa menanggapi ucapan Fidya yang menunjukkan MePhone 8 barunya. Namun Fidya tidak tahu saja, kalau Layla tengah menghujatnya habis-habisan di dalam pikirannya.

Perilaku Layla membuatku mual. Kalau dia tidak suka, mengapa dia masih tetap menanggapi Fidya? Benar-benar muka dua.

"Sheren, ada yang mencarimu di depan kelas." Ucapan salah satu teman sekelasku membuat fokusku buyar.

Aku mengangguk sekilas dan beranjak menuju pintu kelas. Ternyata benar, di sana ada seorang laki-laki dengan emblem khas anak kelas tiga tengah bersandar pada pintu kelas.

"Ah! Sheren Raysa?" tanyanya saat menatapku. Aku melirik ke arah lain, tidak tertarik untuk membaca pikirannya. Paling-paling hanya pikiran laki-laki iseng yang terkena permainan Dare or Dare dan dipaksa untuk mencoba mengobrol dengan salah satu gadis anti-sosial sepertiku.

"Oh, oke, see ya later, ya!"

Aku menoleh cepat dan menatap bingung pada punggung laki-laki itu yang menjauh dan membaur cepat dengan kerumunan siswa-siswi di koridor. Sehingga aku tidak sempat membaca pikirannya.

Apa-apaan itu? Jadi dia hanya datang untuk mengatakan itu? Aku bahkan tidak tahu siapa dia!

Namun, aku menyadari sesuatu yang sedikit berbeda saat dia pergi. Seperti ... suara detakan jarum jam yang kian mengeras?

Tetapi hal itu langsung menghilang secepat kedipan mata. Pasti hanya perasaanku saja. Sehingga aku pun mengabaikan hal itu dan masuk kembali ke dalam kelas.

***

"Ini Ma, hasil ulanganku bulan ini."

Aku menyerahkan setumpuk kertas pada Ibuku yang tengah sibuk dengan laptopnya. Lima menit berlalu, namun dia tetap mengabaikanku.

Karena merasa kesal, aku menggerutu kesal dan membalikkan tubuh dengan cepat. Ingin segera pergi dari orang yang selalu mengabaikanku.

Namun sialnya, tanganku menyenggol segelas kopi yang berada di sebelah laptopnya. Kontan saja, tumpahan kopi mengotori keyboard laptopnya dan suara gelas beradu dengan lantai memenuhi kamar yang sunyi ini.

PRANG!

"SHEREN!" Mama membentakku seraya menatap marah padaku yang menunduk dalam.

PLAK!

"Keluar dari kamar Mama!" Aku menatap Ibuku. Kami sangat jarang berinteraksi dan mengapa di saat kami berinteraksi dia malah memarahiku?

'Anak sialan! ARGH! Ini semua gara-gara Ayahnya yang sama sialannya itu!' Aku terhenyak saat tidak sengaja membaca pikiran Mama.

Ah, bahkan sekarang, Ibuku pun membenciku. Tidak-tidak, sejak Ayah pergi dan tak pernah kembali ke rumah, Ibu sudah membenciku.

Aku tertunduk lunglai dan berjalan cepat keluar dari kamarnya.

'Bakat' ini benar-benar membuatku menderita!

***

Kira-kira, apa sumber dari 'bakat'-ku ini?

Ah, tunggu sebentar. Otak, bukan?

Ya, pasti itu sumbernya. Pikiran berasal dari otak. Otakku adalah sumber semua masalah ini.

Aku sudah muak dengan pikiran-pikiran manusia yang selalu negatif dan meracuniku tanpa mereka sadari.

Maka, aku memutuskan untuk menghancurkan sumber dari semua masalah ini. Sehingga aku dapat hidup bahagia.

Pembaca Pikiran Manusia,

Fin.

Tawa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang