Kisah si Perawan Tua

8.4K 582 17
                                    


"Mbakyu, sudah mbakyu... sakit.." teriak Tedjo disepanjang perjalanan kami pulang kerumah. Ya tentu saja dia berteriak demikian keras, aku mencengkram erat lengan adik laki-lakiku satu-satunya ini. Hari ini aku menemukan Tedjo dan kawan-kawannya malak anak-anak dipasar. Gemas aku pada adikku yang tidak ada kapoknya itu. Padahal sudah beberapa kali ketahuan rama. Kurang makmur apa dia selama ini sampai harus malak orang seperti itu. Lihat saja penampilan harian yang perlente itu, Baju surjan dengan kualitas terbaik dengan hiasan emas-emasan yang tak pernah absen dari baju yang dikenakannya. Sungguh, benar-benar buat malu keluarga.

"IBUUUU..!!!" teriaknya semakin keras saat kupelintir telinganya keras begitu sampai di teras pringgitan. Sontak membuat penghuni rumah keluar untuk mengetahui asal suara teriakan itu.

"Arum! Ada apa ini?" seru ibuku memecah barisan para pelayan yang sudah berkumpul mengelilingiku.

"Tedjo bu, dia malakin anak dipasar lagi." Aduku pada ibu tentang ulah adikku.

"Benar Tedjo? Apa Benar kata mbakyu-mu kalau kamu malakin anak-anak lagi?!" tanya ibuku pada tedjo dengan tatapan sadis.

Tedjo diam tidak menjawab pertanyaan ibu.

"Mbok Karsi, tolong ambilkan tongkat itu, anak ini sepertinya memang harus dipukul dulu biar mau bicara." Ucap Ibuku yang sontak membuat Tedjo mengangkat wajahnya.

"Tidakkkk.. ibu, Tedjo tidak malak lagi. Tadi Mbakyu Arum salah faham."

"Salah faham bagaimana Tedjo, Aku lihat dengan mataku sendiri. Kamu mengambil paksa barang milik anak-anak itu!" seruku.

"Iya Mbakyu, mereka mencuri perhiasanku tadi dipasar, aku cuma mengambil milikku. Aku tidak memalak mereka." Jawab tedjo membuat pembelaan.

"Coba saja geledah. Pasti tidak akan ketemu." Lanjut adikku menantang.

Aku segera mengeledah baju adikku, dan benar saja aku tidak menemukan apapun. "Kan apa kukata, mbakyu tidak bertanya dulu malah langsung menyeretku kemari. Sekarang perhiasanku yang hilang." Sungutnya.

Aku melirik adikku dengan kesal. Aku tahu ini pasti rencananya agar tidak dimarahi ibu. Lihat saja sekarang ibu yang menatapku dengan bengis.

"Sudah! Sekarang semuanya bubar. Arum, kamu ikuti ibu." Kata ibu lemah lembut namun tegas. Para pelayan dan beberapa santri yang menyaksikan keributan itu segera meninggalkan kami. Pun dengan Tedjo yang meninggalkan kami dengan kurang ajar malah menjulurkan lidah tanda kemenangan. Dasar adik yang tidak punya sopan santun! Aku tahu semuanya adalah karangannya agar terbebas dari murka ibu.

Ibu menggiringku ke Dalem duduk dikursi kesayangannya diujung ruangan. Akupun segera duduk timpuh disamping beliau. Menundukkan kepalaku dalam-dalam memohon ampunan darinya. Aku tahu, kini aku yang pasti akan mendapatkan murkanya.

"Arum," kata ibuku lemah lembut sembari mengelus pucuk rambutku perlahan.

"Nduk, sekarang ibu mau bertanya. Apa yang kamu lakukan dipasar? Bukankah Ibu sudah melarangmu pergi ke pasar. Kamu sudah dewasa nduk, kamu tidak boleh keluar rumah sembarangan. Ndak baik."

"Nggih (Iya) bu, Maafkan Arum." Ucapku dengan nada penuh penyesalan.

"Nah, sekarang beritahu ibu, apa yang kamu lakukan dipasar tadi?"

"Ngg.. nganu bu, tadi itu nganu.."

"Nganu..nganu.. gimana to Rum. Ngomongnya yang jelas. Ibu ndak ngerti kamu ngomong apa."

 Sekarang ibu menatapku intens. Hilang sudah lemah lembut yang ditunjukannya tadi. Duh.

"Ngg..." 

Aku mencoba memutar otak untuk mencari alasan. Sayangnya tidak ada satu alasan logis yang muncul dikepala ini. Alasan satu-satunya aku pergi kepasar katanya hari ini ada iring-iringan keluarga pakualaman yang mau ziarah ke Makam Astana Girigondo yang rute perjalanannya tidak jauh dari pasar. Tentu sayang sekali kalau dilewatkan.

"Ndoro." suara Mbok Karsi memecah konsentrasi ibuku yang kuyakin masih intens menatapku.

"Ndoro dipadosi kaliyan Ndoro Kakung (Nyonya dicari Tuan)." Kata perempuan paruh baya itu yang terdengar bagiku seperti guyuran hujan setelah kemarau setahun.

Ayo bu lihat dulu, siapa tahu penting lho.

Sejenak ibu menatapku tidak rela untuk menemui ramaku. Ibu benar-benar menginginkan penjelasan dariku. Aku harus mendesak beliau agar segera memenuhi panggilan rama.

"ibu, sepertinya Rama (ayah) penting. Jadi ibu pergi saja dulu, nanti saya menunggu disini." Ucapku dengan wajah penuh penyesalan.

Ibu menghela nafas panjang. Akhirnya meninggalkanku disudut ruangan favoritnya. Hore. Akhirnya terbebas. Aku harus segera memutar otak untuk mencari alasan yang tepat.

***

"Wah ndoro keretanya bagus banget ya!Seru Minul anaknya mbok Karsi yang sibuk mengintip tamu penting dari balik jendela dalem yang membuat ayahku harus memanggil ibu untuk menemui mereka. Seruan itu langsung disambut kedua adik perempuanku yang kemudian ikut-ikutan mengintip dari balik jendela. Rupanya mereka tadi tengah mengitip aku dimarahi sama ibu sekarang perhatiannya teralih dengan kedatangan tamu ayah.

"Wah iya, gedi banget yo (amat sangat besar sekali ya). Mesti tamu ageng kui. Wong Kendaraane wae gedi ngono (tamu itu pasti orang besar, orang kendaraannya sebesar itu)." Sahut larasati percaya diri. Ketiga orang anak kecil itu masih saja terpesona dengan kereta kuda yang diparkir didekat pringgitan.

Dasar nggumunan (mudah takjub).

"Sing gedi ki opone uwong e opo apane e? (yang besar tu apanya? Orangnya atau apanya?)" seruku sambil ikut-ikutan mengintip keluar. Memang benar, ada kereta kuda mewah terparkir didepan pringgitan. Kalau dilihat dari bentuk keretanya mungkin pemiliknya keluarga bangsawan atau mungkin malah keluarga kraton.

"Woalah. Mbakyu jangan keras-keras. Nanti ketahuan. Kan malu." Teriak adik perempuanku si Kirana.

"Heleh. Anak kecil tahu malu. Kalau malu ndak usah ngintip."

"Pantes mbakyu jadi perawan tua. Mbakyu arum tu ngeseli banget." Ucap adikku yang paling kecil si larasati yang entah kenapa sangat menohok hatiku yang terdalam. Diusiaku yang sudah terbilang matang ini. Belum ada satupun lamaran yang singgah untukku. Kurang baik apa reputasi keluarga kami sehingga tidak ada satupun keluarga yang ingin meminangku? Benarkah karena aku ngeseli seperti yang diucapkan adikku larasati?

TBC


Garwa Kinasih (Istri Kesayangan). End-Where stories live. Discover now