Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
IG @Benitobonita
Terdengar suara orang bercakap-cakap pada ruang makan yang terletak di lantai satu bangunan itu. Manik biru Virginia menyapu seisi ruangan. Sebuah meja panjang berada di tengah dengan kursi sepuluh buah. Di atasnya tergantung lampu kristal cantik yang memancarkan kerlipan cahaya. Sebuah lemari besar berisi berbagai jenis hiasan porselen dekat dengan jendela besar yang juga berfungsi sebagai pintu menuju balkon.Terlihat ayah dan kakaknya sedang berbincang-bincang dengan Duke dan Duchess of Bolton.Baron Arvie terlihat gagah dalam usia tuanya. Rambut dan janggutnya masih berwarna kuning jagung dan hobinya untuk pergi berjalan-jalan menunggang kuda, membuat tubuh pria itu tetap kuat dan prima.
Hal senada tidak berbeda dengan Rafael, putra sulung pria itu. Memiliki mata sejernih langit, ayah dan anak bagai seperti keluar dari cetakan yang sama, tetapi berbeda umur.
"Virginia," sapa Duchess of Bolton tersenyum, bangkit dari kursi di sisi kiri suaminya lalu melangkah mendekat. "Kemarilah."
Penampilan wanita itu sangat elegan, menggunakan gaun makan malam terbaiknya dan rambut cokelatnya yang tersasak rapi. Membuat Duchess of Bolton terlihat sangat menawan.
Sama seperti yang sudah-sudah, wanita itu selalu memposisikan para tamu bersilangan antara pria dan perempuan.
Kakaknya dan ayahnya telah memperoleh teman berbincang-bincang, tamu lain milik sang Duchess. Menuruti perintah nyonya rumah, Virginia melangkah menuju tempat kosong yang berjarak dua kursi dari tempat teman makan kakaknya duduk.
Virginia mulai merasa tidak nyaman saat dia tidak menemukan pria bermulut kasar itu belum hadir. Menggigit bibir, dia berdoa agar kursi kosong di sebelahnya bukan diperuntukan untuk Mister Wellington.
Namun, doa Virginia sama sekali tidak terkabul. Beberapa menit kemudian, tepat saat hidangan pembuka akan diedarkan oleh para pelayan, pria yang menyebalkan itu masuk ke dalam ruangan sambil berkata, "Maafkan saya terlambat."
Duke of Bolton tersenyum lebar menyambut kedatangan pria itu. "Duduklah, kita akan mulai makan."
Menoleh ke arah kursi kosong di antara Virginia dan teman makan malam Rafael, pria itu menyeringai. Dia telah dengan spesifik meminta kursi duduk di sebelah gadis yang saat ini tengah cemberut.
Menarik dan menghempaskan tubuh pada kursi, Daniel menoleh ke arah Virginia lalu berkata, "Selamat malam, Miss Virginia."
Mata Baron Arvie melebar, melihat pria asing itu telah mengenal nama putrinya. "Apa kalian pernah bertemu sebelumnya?"
Daniel mengalihkan pandangan ke arah pria tua yang berada di seberang meja lalu menjawab, "Hari ini kami dua kali berselisih jalan, terakhir saya bertemu dengan putri Anda saat mengunjungi para angsa milik Sir Charles."
"Oh, seperti itu," jawab Baron Arvie, memberikan perhatian lebih kepada tamu asing yang terlihat percaya diri. "Sir Charles berkata bahwa kau memiliki penawaran bisnis yang menarik untuk saya simak."
Senyum Daniel semakin lebar, dia selalu menyukai saat-saat membicarakan bisnis dan investasi. "Saya memiliki jalur perdagangan melewati Makau dan pihak Portugis membutuhkan amunisi untuk menghadapi para pemberontak. Apabila Anda bersedia melakukan investasi, saya jamin hasil yang diperoleh akan sangat memuaskan."
Virginia menarik napas cepat. "Kau menjual senjata untuk membunuh?"
Daniel menoleh ke arah gadis yang kini menatapnya dengan pandangan mencela. Tersenyum, pria itu menjawab, "Apa kau mengharapkan mereka dapat mengendalikan para pemberontak dengan tongkat kayu?"
Duke of Bolton tertawa terbahak-bahak. "Daniel jangan ditanggapi, perempuan memang tidak memiliki kemampuan berpikir maju ke depan, tugas mereka hanya melahirkan dan mengurus anak."
Daniel tersenyum kecil saat Virginia mengertakkan gigi, merasa jengkel dengan arogansi para pria yang ada di tempat itu.
"Virginia suka sekali membaca cerita-cerita mengenai daerah Asia," timpal Rafael tiba-tiba, "dia sering menitip buku-buku tentang mereka."
Manik hitam Daniel menunjukkan rasa tertarik. "Apakah itu benar, Miss? Saya memiliki beberapa buku yang pasti menarik diri Anda."
"Luar biasa," jawab Baron Arvie, tersenyum lebar. "Tentu Virginia merasa sangat beruntung dapat memperoleh buku-buku itu. Kami tinggal di daerah Newbury, datanglah berkunjung. Kita dapat membicarakan hubungan bisnis ini lebih lanjut."
"Saya merasa beruntung mendapatkan undangan dari Anda, Lord Arvie," balas Daniel ceria, tanpa memedulikan aura permusuhan yang terpancar dari gadis yang berada di sebelahnya.
Menusuk dalam-dalam dengan garpu lalu memotong daging steak miliknya, Virginia menarik sedikit ujung bibir, membayangkan bahwa dia tengah menggergaji leher seseorang.
"Miss, Anda terlihat mengerikan apabila memasang ekspresi seperti itu." Bisikan Daniel membuat Virginia tersentak.
Menarik napas cepat, Virginia menoleh ke arah Daniel. Menunjukkan ekspresi kesal, dia mendesis, "Bisakah Anda berhenti mengganggu saya?"
"Tetapi kita memang dipasangkan malam ini," jawab Daniel menyeringai lebar, "dan sangat tidak sopan apabila kita tidak bercakap-cakap."
Tanpa mereka sadari, Duchess of Bolton tengah memerhatikan dari seberang meja. Tersenyum kecil, wanita itu menggigit irisan daging yang berada di garpunya.
*****
Acara makan malam sangat menyenangkan kecuali untuk Virginia. Menahan keinginan melarikan diri, gadis itu harus bersedia menerima gandengan tangan dari Daniel dan melangkah keluar ruangan.
Menikmati rasa jengkel Virginia, pria itu berjalan sangat lambat untuk mencapai ruang kartu, tempat para tamu akan melanjutkan percakapan.
"Dapatkah Anda berjalan lebih cepat?" protes Virginia setelah berulang kali harus menyeret kaki akibat teman seperjalanannya berjalan bagaikan seekor siput.
Sedikit membungkuk Daniel berbisik, "Mungkin saya dapat berjalan lebih cepat apabila Anda berhenti bersikap formal dan mulai memanggil nama saya dengan benar."
Mendelik ke arah pria itu, Virginia balas berbisik, "Anda boleh berharap di dalam mimpi Anda."
Daniel mengerjapkan mata, bayangan Virginia menjerit penuh kepuasan menyerukan namanya terpampang jelas pada otaknya. "Itu ide yang sangat bagus," balas pria itu cepat.
Tidak menyadari bahwa dia baru saja dilecehkan, Virginia membuang muka lalu kembali berjalan terseok-seok bersama pasangannya yang menjengkelkan.
*****
Meja-meja telah di susun oleh para pelayan, para tamu sudah menempati posisi untuk bermain. Rafael mendongak, tersenyum ke arah adiknya lalu berkata, "Kalian lama sekali."
"Maafkan saya, tadi kami berbicara topik yang sangat menarik, sehingga perjalanan ke tempat ini terhambat," jawab Daniel, saat Virginia melepaskan gandengan dan berjalan mendekati kakaknya.
Pasangan Rafael yang merupakan seorang gadis muda sepantaran dengan Virginia, tertawa kecil. "Virginia, duduklah di sana, kita tidak bisa memulai permainan bila kau malah mengintip kartu kami."
Pipi gadis itu merona, berjalan ke arah sofa panjang berwarna cokelat, Virginia duduk lalu meraih kartu. Namun, dia hampir berguling ke samping saat Daniel dengan semberono mengenyakkan tubuh di sisi sofa.
"Kau ringan sekali," ucap pria itu saat tubuh mereka beradu.
"Apa Anda tidak dapat duduk dengan lebih sopan?" Kembali gadis itu mendesis, menunjukkan ekspresi tidak suka.
Rafael mengerjapkan mata, adiknya jarang sekali memasang raut wajah marah terhadap seseorang. Dingin, iya, angkuh, selalu. Namun, marah …, itu suatu hal yang baru. Selain itu, dia baru pertama kali melihat seorang pria yang tahan bercakap-cakap lebih dari lima kalimat dengan adiknya.
Memulai permainan kartu, pria berusia 22 tahun itu, mengamati dalam diam, keributan yang dilakukan oleh adik dan pasangan mainnya.
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^
17 September 2017
Benitobonita
KAMU SEDANG MEMBACA
His Virginia : Mencairkan Hati yang Beku
RomanceDaniel Wellington mencintai Virginia, seorang gadis yang angkuh dan dingin. Namun, perempuan itu selalu menolak dirinya. Bahkan setelah pernikahan yang dipaksakan oleh Duke of Bolton, istrinya tetap tidak dapat menolerir sentuhan darinya. Bahkan han...