'2

707 61 7
                                    

“APA?!! LO MAU PINDAH?” Aku sudah tahu hal ini akan terjadi. Maksudku adalah, aku sudah tahu jika Kides pastinya akan menjerit histeris mendengar kabar yang aku sampaikan ini. Aku paham, sangat paham malah. Semester dua tidak akan lagi menjadi semester yang menyenangkan seperti semester dua yang lalu. Dan teman-temanku akan melalui semester dua tanpa aku, tanpa miss Feeseka mereka.

“Iya. Papa pindah tugas ke Cirebon. Jadi, mau gak mau gua sama nyokap juga ikut pindah. Karena ya, gak ada lagi yang bisa kita pertahanin di sini. Maksud gua dua tahun lagi kan gua bakal kuliah. Dan nyokap tau impian terbesar gua adalah kuliah di UI. So, bokap nyokap ambil keputusan untuk diboyong ke Cirebon semua.”

“Nanti gua duduk sama siapa? Gimana gua melalui hari-hari yang berat ini? Gua gak mampu melalui ini semua tanpa elo di samping gua Ka.” Kutoyor kepala Kides yang sudah bersandar di pundakku. Ini anak memang kadang-kadang ngeselin banget ya. Bisa gak sih dia gak selebay ini? Hih. Dia gak akan meninggal mendadak hanya gara-gara gak punya temen sebangku kan. “Kok lo noyor kepala gua sih? Ini kan lagi adegan sedih.”

“Lo itu lebay banget ya. Gua ini mau ngomong serius, tapi lo-nya kayak begitu.”

“Kayak begitu begimane?” Mulai deh pronouncation dan accent Betawi Kides di keluarkan. Kides adalah salah satu spesies Betawi asli yang terlempar jauh dari asalnya. Ya, sejak lahir dia telah terdampar di lampung yang terang-terangan masyarakat betawinya nyaris gak ada.

“Ya kayak begitu itu.” Jawabku kesal. “Gua mau ngomong serius nih. Lo tau gak sih…” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Kides telah terlebih dahulu meng-cut-nya.

“Mane aye tau. Lu pan belum cerite.” PLAK. Satu pukulan telak kulayangkan ke tangan Kides. Anak itu hanya bisa mengusap tangannya yang sudah terlanjur jadi sasaran pelampiasan.

“Gua lagi gak bercanda Kides! Dengerin dulu makanya. Gua serius. Gua ada kabar yang gua sendirir bingung harus sebut kabar ini kabar baik atau buruk.” Raut wajah Kides kembali menunjukkan keseriusan. “Gua akan pindah ke SMA 2 Cirebon, ya memang sih gua akan tes dulu dan belum bisa dipastiin gua masuk sekolah itu atau enggak. But, I’m sure that I will study there. Masalahnya adalah, itu tuh sekolahnya Rafa. Gua udah pernah bilang kan ke elo kalau Rafa itu sekolah di SMA 2 Cirebon.”

“Rafa Rafa Rafa. Rafa mulu ih. Bosen gua dengernya.”

“Gua juga bosen, tanggapan lo selalu kayak gitu.”

“Apa sih Ka yang lo harapin dari Rafa? Pacaran? Bukannya lo sendiri yang bilang kalo dia itu udah punya pacar? Lo mau di bantai pacarnya, gara-gara ngerebut pacar orang?” JLEB. Ngerebut pacar orang? Aku bukan perebut pacar orang.

“Ya gak gitu juga Des. Gua tuh gak suka loh sama Rafa, tapi entah kenapa hati gua……”

“Hati gua selalu deg-degan kalau gua terima chat dari dia. Lo mau ngomong gitu? Lo itu suka Ka sama Rafa. Dan lo itu suka sama orang yang semu, ngerti? Udah deh, mendingan lo hapus aplikasi chating lo sama Rafa itu. Kalo dibiarin terus-menerus, lo sama aja nyakitin diri lo sendiri Ka.” Apa iya aku harus menghapus Rafa dari ingatanku? Tapi, mana mungkin bisa.

“Lo denger ya kata-kata gua. Kalo jodoh pasti gak akan kemana. Jadi, lepasin aja si Rafa. Toh selama ini lo tau dia hanya lewat chatting kan? Belum tentu si Rafa itu baik, belum tentu si Rafa itu pinter, dan jangan-jangan foto-foto dia yang ada di dunia maya itu semuanya efek camera 360.”

“Gak mungkin lah Des. Lo gak liat apa ask.fm-nya kayak gimana? Lo lupa gimana pertanyaan-pertanyaan dari para anonymous-nya?” Aku yakin jika Kides gak lupa semua pertanyaan-pertanyaan yang dijawab Rafa di ask.fm-nya

Kak, kok gantengnya gak ada obat sih?

Raf, mau gak jadi cowok gua?

Lo pake pelet apa sih sampe Andiana lengket gitu sama lo?

Dan satu pertanyaan yang bikin aku dan Kides tercengang saat men-stalk ask.fm Rafa Asegaf.

Kak, hamilin gua dong. Biar nanti gua minta tanggung jawab sama lo. Gua nge-fans berat kak sama lo.

Itu adalah pertanyaan yang benar-benar vulgar dan gak bermutu. Dan Rafa benar-benar cool menjawabnya.

Aku sukanya sama perempuan yang mahal, maaf

Rafa Rafa. Sepertinya aku memang harus mencoba untuk lupain kamu. Setidaknya sampai aku lihat kamu yang sesungguhnya. Setidaknya aku bisa meyakinkan diri aku sendiri dengan rasa yang selalu menyelimuti. Kalau jodoh gak akan kemana. See you in the real, Rafa Asegaf.  

***

Dua bulan terberat dalam hidupku berhasil kulalui. Sebenarnya, dua bulan itu terasa berat karena aku berusaha mati-matian untuk menghilangkan kesemuan Rafa dalam hidupku. Aku berjuang untuk menahan egoku yang sangat ingin mengetahui apa yang sedang dilakukannya. Aku juga berusaha keras untuk tidak membalas kik Rafa. Ini berat. Sungguh berat teman-teman. Namun, aku berhasil melaluinya. Dengan bantuan Kides, aku berhasil menahan segalanya. Aku mensterilkan diriku dari segala sesuatu yang berbau Rafashadana Asegaf. Dan sekarang, aku kembali menghadapi kenyataan pahit jika sekarang aku harus berpisah dengan kehidupan nyamanku. Ini sudah waktunya aku pergi. Ini sudah waktuya aku pindah.

Hatiku sedih
Hatiku gundah
Tak ingin pergi berpisah

Hatiku bertanya
Hatiku curiga
Mungkinkah kutemui
kebahagiaan seperti di sini

Sahabat yang selalu ada
dalam suka dan duka
Sahabat yang selalu ada
dalam suka dan duka

Tempat yang nyaman
Kala ku terjaga
Dalam tidurku yang lelap

Pergilah sedih
Pergilah resah
Jauhkanlah aku dari salah prasangka

Pergilah gundah
Jauhkan resah
Lihat segalanya lebih dekat
Dan 'kubisa menilai lebih bijaksana

Mengapa bintang bersinar
Mengapa air mengalir
Mengapa dunia berputar
Lihat segalanya lebih dekat
Dan 'kau akan mengerti

Entah mengapa lagu yang dinyanyikan Sherina itu telah kudengarkan sejak aku  resmi berpamitan dengan Kides dan semua teman sekelasku.

“Lo jaga diri ya. Kalau ada waktu sempetin untuk skype-an sama kita-kita di sini.” Tanpa kusadari, bulir-bulir airmata telah mengalir begitu saja di pipiku.

“Pasti. Lo juga baik-baik. Semoga lo bisa melalui semester dua tanpa gua.” Aku merentangkan tanganku dan disambut oleh Kides. Kami bagaikan dua kakak beradik yang tak siap dipisahkan oleh Selat Sunda.

“Gua harap, lo dapet teman sebangku yang lebih baik dari gua.” Kides mengeratkan pelukannya padaku. Aku tak yakin. Walaupun Kides bisa dibilang sedikit sakit jiwa, setidaknya dia benar-benar sahabat terbaikku. Aku bangga punya dia. Dan aku gak tau, apakah aku akan temuin sahabat segila dia di sekolah baruku nanti. Tuhan, berilah aku sahabat yang lebih baik dari Kides, dan berilah Kides teman sebangku yang lebih jago Fisikanya daripada aku.

“Gua gak bisa lama-lama. Pesawatnya pergi jam sepuluh.”

“Sampai ketemu lagi Ka. You are the best friend that I've ever had. I love you more than you know.” Selamat tinggal Kides. Selamat tinggal Bandar Lampung. Cirebon, i’m coming.

***

CheesekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang