'14

429 29 3
                                    

Entah sejak kapan, tanganku kini sudah berada di dalam genggaman Ore. Mulutku sibuk komat kamit berdoa untuk menguatkan mentalku sebab hujaman tatapan membunuh dari kakak kakak kelas yang berdiri di pinggir pinggir lorong. Aku benar-benar serasa narapidana yang benar-benar sampah masyarakat.

"Berani beraninya tikus kecil ini ke sarang kucing garong." Perempuan dengan bando Hello Kitty super besar yang terpajang di kepalanya keluar dari kelas Kak Diana dan menodongku dan Ore begitu saja. Kami bahkan belum sepenuhnya sampai di depan pintu kelas Kak Diana.

"Oh, ini biangnya?"

"Boleh juga."

"Tampangnya sih gak ada tampang PHO. Tapi.... PHO handal ternyata."

"Si Rafa jitu juga."

Lontaran kata-kata dari orang-orang yang kuyakini teman-teman Kak Diana itu bagaikan palu godam yang memuluk telak hatiku. Sebegitu hinanyakah?

"Kami mau ketemu dengan Kak Diana, Kak. Bisa tolong panggilin?" Dia memang benar-benar dewa penyelamat. Ore penyelamatku. Otakku bahkan tidak bisa membayangkan akan seperti apa aku akhirnya kalau saja tadi Ore tidak memaksa ikut menemani.

"Siapa, nih? Gebetan lo?" Si Bando Hello Kitty bertanya dengan tatapan mencemooh.

"Dia Si Ore Cin. Masak gak kenal lo?" sahut seorang perempuan dengan hidung mancung yang tiba-tiba nongol dan langsung menjatuhkan dirinya di kursi kayu panjang yang tepat berada di sebelahku dan Ore.

"Siapa? Eksis tah?" tanya Si Bando Hello Kitty yang dipanggil Cin tadi.

"Lo liat aja tampangnya. Lumayan, kan? Sayang aja mainnya sama cewek PHO. Hati-hati dek. Nama lo bisa di cap jelek sama kakak kelas." Ia memeringatkan. Wajahnya kakak ini memang nyaris sempurna. Tapi, aku tidak membayangkan jika mulutnya sepedas itu. Dan wajah cantiknya bisa menampilkan ekspresi se-sinis itu.

" Gak bisa disalahin sih Bels. Kemungkinan besarnya sih, Si PHO ini yang ngegodain Ore. Heran banget jaman sekarang, orang-orang sukanya main tikung. Udah abis kali ya stok cowok di dunia ini?" Ore melirikku yang hanya bisa tertunduk lesu sembari tersenyum. Genggamannya seolah mentransfer kekuatan agar aku tetap di sampingnya dan tidak lari dari sana karena aku sudah tidak punya muka lagi di hadapan mereka semua.

"Mulut lo kayak gak pernah makan bangku sekolah Chin!" Semua pandangan kini ganti menatap seseorang yang berada di ujung lorong yang berhadapan dengan kami. Kak Rafa! Kenapa semuanya jadi terlihat sesulit ini, sih?

"Mendingan punya mulut pedes dibanding muka dua kayak lo! Dan jadi perusak kebahagiaan orang lain kayak.." ia diam dan maju mendekatiku. "Perempuan ini!" Jari telunjuknya menunjuk tepat di depan hidungku. Suara Si Chin terdengar penuh amarah. Kali ini Ore hanya diam memerhatikan. Tapi genggamannya di telapak tanganku tak mengendur sedikitpun. Chin dan temannya tadi langsung masuk ke dalam kelas meninggalkan kehebohan di luar.

"Lo pada ngapain masih di sini?" bentak Kak Rafa pada orang-orang yang dari tadi asik menonton pertengkaran kami. "Bubar lo pada! SEKARANG!" Suaranya Kak Rafa terdengar mencekik saat berteriak. Belum lagi suara debuman kursi yang ada di sebelahnya karena ditendang kakinya. Orang-orang yang dari tadi tidak bergerak dan diam di pinggir kanan dan kiri lorong kini mulai bergerak menuju ujung lorong untuk menuruni anak tangga di yang tepat berada di sana. Aku hanya bisa diam dan merapatkan tubuhku ke lengan ore.

"Kenapa nekat dan gak nunggu kakak?" tanya Kak Rafa saat berada di depan aku dan Ore. Aku kesal. Iya, aku kesal pada Kak Rafa. Kenapa dia datang terlambat? Apa dia baru akan menolongku saat aku sudah hampir mati kelabakan?

"Aku mau bicara dengan Kak Diana. Cepat panggil!" Kak Rafa mendengus kesal mendengar titahku, namun ia juga tak membantah. Ore menarikku untuk duduk di bangku yang ada di sebelah kami.

"Selsaikan apa yang harus kamu selsaikan, Cheese." Ia tersenyum. Senyum yang akhir-akhir ini benar-benar aku sukai dan senyum yang sangat menguatkanku. Aku mengangguk mengiyakan.

Tak lama, Kak Rafa muncul dari dalam kelas sembari menggandeng tangan Kak Diana. Tanpa menoleh lagi ke arahku, Kak Diana terus berjalan ke ujung lorong. Kak Rafa seolah memberi isyarat pada aku dan Ore untuk mengikuti mereka berdua. Kami, aku dan Ore hanya mengikuti mereka dari belakang.

  Tak lama, kami sampai di taman belakang sekolah. Kebetulan di sana ada kursi panjang berhadapan yang biasanya dipakai anak laki-laki kelas atas untuk nongkrong sambil menggenjreng gitar ria.

"Kamu mau jelasin apa?" Tanya Kak Diana datar. Ia sudah duduk di kursi, sementara aku dan yang lainnya masih berdiri. Perlahan, Ore menarikku untuk duduk di kursi di hadapan Kak Diana. Sementara itu, Kak Rafa duduk tepat di sebelah Kak Diana.

"Jelasin apapun yang mau kamu jelasin. Ngomong sejujur-jujurnya agar gak ada beban lagi di hati kamu." Bisik Ore lembut.

"Kak Diana" diam. "Aku tahu kakak marah ke aku. Tapi, semuanya gak seperti yang kakak bayangkan. Aku.." Kalimatku terputus. Ragu. Itulah yang aku rasakan. Tapi, aku gak mau punya beban hidup dan merasa dihantui perasaan bersalah. "Aku tau kakak benci aku. Tapi, semuanya gak seperti yang kakak bayangkan. Mungkin di sini aku bersalah. Aku bersalah karena mendekati Kak Rafa walaupun hanya sebatas teman. Karena, aku tahu lama kelamaan ada rasa yang tak biasa yang muncul entah dari mana untuk Kak Rafa. Tapi, aku tahu batasan kak, aku masih waras untuk merusak hubungan orang lain." Aku menarik nafas dalam-dalam. "Aku......mungkin menyukai Kak Rafa. Tapi, aku sama sekali gak pernah punya pikiran untuk merusak kebahagiaan kakak. Kakak yang lebih berhak atas Kak Rafa. Dan aku rasa, aku menyukai Kak Rafa hanya sebagai obsesi, Kak. Dia.. terlalu berbeda denganku."

"Neng.."

"Aku cuma gak mau hubungan Kak Rafa sama Kak Diana rusak hanya karena aku. Aku, si manusia antah berantah yang tiba-tiba datang ke kehidupan kalian. Sekali lagi aku minta maaf kak. Aku minta maaf ke Kak Diana sebesar-besarnya. Aku janji aku akan jauhi Kak Rafa." Setegar mungkin aku sunggingkan senyum persahabatan. Reaksi yang benar-benar tidak pernah aku bayangkan datang dari Kak Diana. Ia tersenyum.

"Kamu gak perlu jauhi Rafa. Aku yang akan pergi." Katanya. Dan aku sukses tercengang. "Ini bukan yang pertama ataupun yang kedua kan, Raf?" tanya Kak Diana. "Cinta kamu gak bertepuk sebalah tangan sepertinya. Karena, kemungkinan besar Rafa menyukai kamu."

"Di.."

"Aku tau, Raf. Ngeliat kamu chat dengan perempuan lain udah biasa bagiku. Aku minta putus bukan karena itu. Aku minta putus karena aku tahu ada rasa lain yang terselip di hati kamu untuk Cheese." Udah biasa? Kak Rafa udah biasa chat dengan perempuan lain dan Kak Diana setegar itu menerima semuanya? "Maafin temen-temenku. Mereka terlalu sayang sama aku sampai-sampai berlaku kasar ke kamu. Aslinya mereka baik, kok." Jelas Kak Diana. "Kamu gak perlu takut Cheese, aku gak marah sama kamu, aku gak benci juga. Hanya saja, aku masih butuh waktu untuk sendiri dan untuk berdamai dengan semuanya."

"Diana! Kamu jangan sok tahu dan..."

"Aku gak sok tahu, Raf. Aku sayang ke kamu. Aku cuma mau kamu bahagia." Tangan putih mulus Kak Diana terulur mengusap rambut Kak Rafa. "Kalau memang kamu bisa bahagia sama Cheese, aku ikhlas. Meskipun aku bingung bagaimana aku harus melalui hari-hari tanpa kamu. Tapi, aku juga gak mau saat kamu bersamaku, hati kamu ada di perempuan lain. Kita sama-sama bukan sehari dua hari. Aku kenal kamu." Dengan sekali sentak, tubuh Kak Diana kini telah berada di pelukkan Kak Rafa.

"Neng. Jangan bikin Rafa sedih."

"Aku cuma mau kamu bahagia, Fa. Dan aku cuma mau bahagia dengan seseorang yang sayang sama aku. Apa sesulit ini jalan yang harus aku tempuh hanya untuk bahagia, Fa? Apa harus dengan merelakan kamu dan menunggu pangeran lain?" Punggung Kak Diana bergetar. Aku tahu jika dia tengah menangis. Dia tengah menangis di pelukan orang yang sangat ia sayangi. Mungkin, pelukan terakhirnya? Semua terasa sulit. Cinta memang sulit, kawan.

***

CheesekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang