Cat 6

92 15 0
                                    

Setelah hampir tiga jam aku mengelilingi rumah Aud akhirnya aku menyerah. Tidak ada satu petunjuk pun yang bisa menjelaskan kenapa aku bisa berada dalam tubuh Mith.

Aku hanya menemukan foto Aud dan Mith di atas nakas tempat tidur. Selebihnya hanya perabotan biasa. Masalahnya aku tidak bisa menggeledah laci ataupun almari dengan tangan kucing berkuku. Lagipula apa yang kuharapkan. Penjelasan? Rasanya sangat mustahil.

Tatapanku tertumbuk pada mangkuk makanan kucing yang masih terisi penuh. Ingatkan aku untuk menyuruh Tebi menghabiskan seluruhnya nanti.

Hal yang tidak pernah kusangka adalah pertemuanku dengan kucing anggora arogan berbulu kuning keemasan. Musuh bebuyutan Mith.

"Heii.. hei.. lihat." Shila berjalan mendekat ke arahku." Siapa ini yang tidak sengaja berpapasan dengan kita, teman." Kedua kucing lain di belakang Shila mengeong senang. Ekor mereka mengibas kesana kemari membuatku pusing.

"Si kucing hitam buruk rupa tak tahu diri!" Hardiknya. "Beraninya kau mengganggu Tebi."

Aku sengaja tidak membalas kata- kata makian yang ditujukan padaku. Satu hal yang kupikirkan hanyalah menemui Tebi sesegera mungkin dan menyelesaikan segala urusanku. Yah.. kalau saja semuanya memang bisa diakhiri. Meskipun aku diam bukan berarti aku mengalah dengan kucing jahat yang satu ini.

Aku mendorong Shila dengan sekuat tenaga ke arah samping, yang ternyata ada genangan lumpur yang luput dari perhatianku. Sorak kemenangan meluncur dari mulutku dengan cepat dan tidak bertahan lama. Detik selanjutnya suasana berubah memanas.

Buluku berdiri tegak, ekorku terangkat keatas, aku menggeram dengan suara rendah. Kucing betina dihadapanku pun berlaku sama. Tentu saja dia lebih marah daripada diriku. Bayangkan saja aku mendorongnya jatuh ke dalam genangan lumpur, merubah warna bulu keemasannya menjadi cokelat pekat.

Aku tahu seharusnya tidak mencari gara-gara dengan kucing selain Tebi. Hanya saja aku tidak bisa menahan diri saat kucing sok cantik itu menghina diriku. Dibilangnya kucing hitam buruk rupa tak tahu diri. Aishh.. meskipun aku membujuk diri agar tidak marah tetap saja. Hal itu sungguh menjengkelkan.

"Ayo.. kau maju duluan sini." Teriakku. Aku sudah siap bertarung.

Cakarnya yang sudah terangkat mendadak diturunkan kembali. Kucing betina itu jatuh bergelung sambil mengerang. Heii.. apa yang sebenarnya terjadi sih?

"Sejak kapan kau punya urusan dengan Shila, Mith?" Tanpa menoleh pun aku tahu suara itu milik Tebi. Pantas saja. Rupanya di dunia manusia dengan kucing, kalau sama-sama perempuan, cara berkelahinya pun mirip. Aku mendecih pelan sebelum berbalik ke arah Tebi.

"Aku tidak pernah berurusan dengan kucing betina sialan ini Teb." Ujarku sambil melirik Shila sekilas. Mulut mungilnya ternganga. Sepertinya dia tidak menyangka Mith akan berucap kasar. Sayangnya aku bukan Mith dan untung saja Tebi tidak salah ucap memanggilku.

"Urusan kita lebih penting dan.. tentu saja belum selesai."

Tebi menjawab kalimatku dengan senyum miringnya yang khas sebelum akhirnya berbalik pergi. Kali ini gantian aku yang terheran. Serius! Aku pikir Tebi akan membela kucing betina sok itu dan mendampratku habis - habisan.

Aku menoleh menatap Shila sejenak."Kau sebaiknya membersihkan dirimu tujuh kali bola bulu cokelat tua!" Ejekku. Aku berjalan pergi sambil menggoyangkan bokongku. Ahh.. rasanya ini sangat menyenangkan juga.

Saat berjalan mengikuti tebi aku terpikirkan satu hal. Sepertinya di dunia nyata aku bisa menghadapi sherri - siapa lagi kalau bukan majikan kucing betina sok cantik itu - dengan sempurna. Aku tidak ingin terus menerus terlihat lemah dan mudah ditindas seenaknya. Yah.. semoga saja keberanianku saat ini tidak lenyap saat aku kembali nanti.

***

Cat Is (Not) MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang