Rere yang pertama kali melihat aku membuka mata. "Kakak.." bisiknya penuh haru. Lantas berlari melongok ke arah pintu.
Aku tidak memperhatikan apa yang dilakukan Rene. Benakku sibuk mencerna banyak hal. Bukankah tadi aku terkapar di jalan, sebuah mobil menerjangku tanpa ampun. Jadi bagaimana bisa aku terbaring diranjang kamarku berselimut hangat. Wajahku tersiram cahaya lampu yang berpijar. Aku tidak tahu ini pagi, atau siang? Segalanya terlihat jelas dan terang benderang. Apakah semua yang terjadi selama ini hanyalah mimpi?
"Mama.. dokter.. kakak sudah sadar." Teriaknya.
Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Adikku tadi memanggil dokter? Tidak salah? Aku masih belum fokus saat mama mendekati ranjang diikuti seorang lelaki tampan. Wajah yang familiar. Rasanya aku pernah melihat lelaki itu. Entah dimana.
"Kakak kenapa tidak bilang kalau punya alergi kucing. Kalau aku tahu.. aku pasti tidak akan membiarkan Tebi dekat-dekat sama kakak." Adikku langsung nyerocos tanpa kendali.
" Untung saja saat itu Tebi berontak di dalam mobil, baru bisa diam sewaktu mama putar balik pulang ke rumah. Ternyata Tebi kembali lagi ke kamar kakak. Coba kalau enggak. Pasti kami nggak akan tahu kalau kakak jatuh pingsan." kalimat adikku terputus. Mama menepuk bahunya pelan mencoba menenangkan adikku sekaligus menggeser posisinya.
"Kakakmu nggak apa-apa Re. Kan sudah diperiksa sama dokter Rey." Rene hanya mengangguk pelan dan melanjutkan celotehannya. "Kakak juga belum tahu kan kalau tetangga baru di depan rumah kita itu dokter hewan. Dia hebat banget loh kak. Tebi langsung sembuh begitu ditangani sama dokter Rey?" Astaga.. apa memang biasanya adikku secerewet ini ya?
"Rene.. gantian ya ngomongnya. Mama kan mau ngenalin dokter Rey sama kakakmu. " Nada suara mama yang tegas membuat Rene bungkam.
"Nah Cat." Kata mama penuh kasih." Kenalin ini dokter Rey, yang mengatasi alergimu. Sebenarnya dia dokter yang merawat Tebi, tapi dokter tahu juga kok soal alergi, ya kan dok?"
"Aud?" Bisikanku meluncur lebih dulu sebelum jawaban dokter. Ya. Aku ingat sekarang siapa lelaki yang berdiri di sebelah mama.
Dokter muda itu tersenyum."Namaku Audrey. Biasa dipanggil Rey. Tidak pernah ada yang memanggil begitu. Tapi kalau kamu mau ya tidak masalah juga sih." Astaga! Gaya bicaranya pun sama persis.
"Ah.. maaf.." aku tersenyum canggung." Anggap saja itu panggilan spesial." Aku ganti menoleh menatap mama, mengabaikan raut wajah Aud yang berubah. "Aku tidak apa-apa ma." Aku berusaha menenangkan mama meskipun kalimatku tidak begitu meyakinkan.
Rasanya ada sesuatu yang berbeda. Entahlah. Untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku merasa hatiku sangat lega. Seperti ruangan yang penuh lantas dikosongkan. Hatiku pun begitu.
"Beneran kakak nggak apa-apa? Yakin? Serius?" Tanya Rene yang sekarang dia ikut berbaring di sebelahku. Entah kenapa aku tidak marah dengan sikap Rene. Sepertinya mimpi panjang itu benar-benar mengubahku.
"Iya Re kakak serius. Mm.. Mama, bisakah aku bicara berdua dengan dokter Rey?"
Mama hendak bertanya tapi tak kuasa melawan tatapan memohonku.
"Ayo Re sebaiknya jangan ganggu kakakmu. Mama beranjak pergi keluar, diikuti Rene malas-malasan.
"Kakak.. mama setuju loh kalau kakak sama dokter Rey." Teriak Rene sebelum akhirnya dia menghilang dari pandanganku.
Suasana canggung beberapa detik. Aku tahu kesempatanku tidak banyak. Ku pikir sekaranglah saat yang tepat.
"Bagaimana kabar kucingmu, Mith?" Tanyaku pelan, basa -basi. Audrey tercengang mendengar pertanyaanku. Dia pasti tidak menduga darimana aku tahu nama kucingnya.
"Kucingku? Mitha?" Aud bertanya memastikan. Ah, jadi namanya Mitha, nama yang sangat cantik. Aku mengangguk.
Aud tersenyum sendu sebelum akhirnya menjawab. "Aku yakin dia sudah bahagia di atas sana."Sesaat jantungku seperti berhenti berdetak. Rupanya kenyataan lebih buruk dari dugaanku. Apapun yang terjadi aku harus mengungkapkannya.
" Sebenarnya aku lah penabrak Mith." Lidahku kelu namun aku tetap memaksakan diri untuk bicara." Maaf karena waktu itu aku melarikan diri. Ah, aku tahu tidak ada maaf bagiku kan? Tapi aku merasa.." Ternyata memang sangat sulit ya meminta maaf.
"Tenang saja. Aku sudah maafkan kok." Aud memotong kalimatku cepat.
"Awalnya memang berat karena aku sangat menyayangi Mith. Tapi setelah kupikirkan kembali berulang kali rasa marah hanya akan menyakiti diriku. Maka kuputuskan untuk memerima dengan lapang dada. Jadi aku bisa mengenang Mitha dengan senyuman." Mataku mulai berair. Aku tahu Aud lelaki yang baik. Terlepas dari perasaannya terhadapku itu entah kenyataan atau hanya dalam mimpiku saja.
"Kalau begitu bisakah dokter mulai menyayangiku mulai saat ini." Detak jantungku meningkat tanpa kusadari. Sepertinya memang ada yang salah dengan diriku yang sekarang.
Aud menatapku beberapa detik untuk memastikan apakah aku serius atau hanya bercanda. Sebelum akhirnya mengangguk dengan wajah memerah. Kalau dalam situasi normal aku pasti langsung menepuk dahiku. Lagi-lagi suasana diantara kami berdua menjadi aneh.
"Tebi berhenti! Jangan masuk ke kamar kakak!" Teriakan Rene memecah keheningan. Aku menoleh ke arah pintu kamarku yang sejak tadi terbuka lebar. Tebi duduk santai mengulas senyum miring khas miliknya. Sebelum akhirnya berlalu pergi ke arah Rene. Astaga.. semua kejadian itu hanya mimpi kan? Bukan sungguhan? Iya kan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cat Is (Not) Me
FantasiaCatherine sangat membenci kucing. Apapun jenisnya. Apalagi kucing persia sombong milik adiknya. Lantas bagaimana bisa dia berubah menjadi kucing hanya dalam satu malam?