Ada begitu banyak kupu-kupu yang terbang melintasi tubuhku. Kupu-kupu yang sangat indah dan tidak pernah kubayangkan ada di dunia ini. Lalu, aku tersadar jika ini hanyalah mimpi.
Suara lengkingan kuda mengalihkanku dan meski aku mencoba untuk bangun, alam bawah sadarku seakan tidak mengizinkanku untuk membuka mata. Aku tahu ini sangat konyol, ketika melihat pria yang beberapa hari lalu menghancurkan tembok pertahananku di atas kuda berbulu putih layaknya seorang pangeran di negeri dongeng pengantar tidur.
Dia tersenyum, seperti senyum Marcus yang kuingat dan hatiku mengembang. Apa aku benar-benar telah jatuh padanya, hingga alam bawah sadarku selalu menariknya ke dalam mimpiku?
"Kita harus pergi, Lu." Satu tangannya terulur di wajahku, menanti untuk kuraih. "Beberapa orang akan segera datang dan ini akan sangat rumit."
"Apa ada yang salah?" Aku mengerutkan kening dan meraih telapak tangannya, lalu dengan gerakan cepat tubuhku terangkat ke atas kuda miliknya.
Aku mengangkat wajah, mencari tahu jawaban atas pertannyaanku yang tidak kunjung dia jawab. Tapi, wajah suram yang kulihat mengalihkan kegilaanku pada aroma tubuhnya. Aroma parfum yang tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata sekalipun.
Apa ada yang menggangu pikirannya?
"Siapa sebenarnya dirimu?" Alih-alih bertanya hal yang mengganggu pikiranku, bibirku melontarkan pertanyaan lain.
"Pelindungmu."
***
Aku tersentak, terbangun dari mimpiku dan sadar langit sudah berubah gelap dari balik kaca jendela. Aroma kopi dan bacon yang di goreng di atas pan menyadarkanku, jika ini bukanlah rumahku. Tidak.
Tentu saja, ini penthouse yang berada di lantai gedung tertinggi apartment mewah milik pria yang memaksaku untuk datang ke rumahnya karena beberapa alasan pekerjaan. Dan, meskipun ini sudah satu bulan aku mengenalnya selain di kampus karena kegiatan sosial kami, aku masih saja merasa sulit untuk dekat dengannya.
Pria itu mengangkat wajahnya, ketika aku mencoba mendekat ke arah bar kecil tepat di samping living room. Ruangan di mana aku tertidur di atas sofa besar miliknya karena cuaca yang sangat mendukung dan aroma dari lilin trapi di dekat perapin yang entah sejak kapan dia hidupkan.
"Kau suka sandwich?"
"Untuk makan malam?" Bibirku berkedut dan mangangkat bahu. "Anything."
"Apa kau punya pilihan lain, Lu?"
Aku terdiam, lagi-lagi merasa konyol karena hatiku mengembang hanya karena dia memanggil namaku seakan-akan kami sangat dekat.
Marc berdehem, mengetuk-ngetuk meja marmer yang mengelilingi bar kecil miliknya. "Kau terlalu banyak melamun."
"Apa aku bisa meminjam dapurmu?"
"Tentu saja," Marc menggerakan tangannya seolah-olah mempersilahkanku untuk bergabung dengannya.
"Apa yang kau punya disini?" Aku mencoba untuk bersikap natural saat membuka kulkas miliknya, meski harum parfum miliknya mengganggu pikiranku karena dia begitu dekat denganku.
"Kau bisa menggunakan sebanyak apapun yang kau mau." Marc berada tepat di balik punggungku dan aku tahu jika apa yang akan kulakukan ini sungguh sangat gila bila diriku tidak bisa menahan diri lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Witch
FantasyUntuk kesekian kalinya aku berkata pada diri sendiri, jika ini hanyalah mimpi yang tidak punya arti khusus bagiku. Tapi, mimpi itu terus berlanjut... Dia di sana, menatapku diam dan memelukku di dalam mimpi yang berlanjut. Lalu, semua berjalan deng...