Apa yang harus kulakukan?
Berpikir sekeras apapun tidak akan membuahkan hasil, karena aku benar-benar tidak mengerti mengapa diriku melakukan ini atau mengikuti permainannya. Seakan-akan dia adalah seseorang yang sangat kukenal.
Jadi, haruskah aku berlari darinya?
_Lucy
Lima belas menit. Aku bahkan tidak bisa percaya dengan apa yang kulakukan kini. Tidak, ini benar-benar gila. Aku rasa, sesuatu sudah merusak otakku saat menyetujui permintaannya ketika kami di ruangannya saat itu.
Lagi, aku melirik ke arah jarum jam di pergelangan tanganku untuk kesekian kalinya sambil menatap jalan beraspal di depan rumahku. Sebenarnya apa yang sedang kulakukan? Menunggunya bodoh!
Ya Tuhan, pikiranku sendiri bahkan menertawakanku. Dan, aku benar-benar menunggu prof. Jo karena beberap jam lalu suara seorang pria mengejutkanku dari telepon yang berbunyi. Dia berkata akan menjemputku dua puluh menit lagi, tanpa ada kata-kata pengantar seperti makalah yang sering kami buat untuk keperluan tugas kuliah kami. Lalu, bodohnya diriku hanya bisa menyetujuinya meskipun aku bisa saja menolak.
Oh, ayolah. Siapa yang akan menyangka dia benar-benar akan ke rumahku? Dan, lihat... aku bahkan berdandan dan menggunakan rok karena akan pergi dengannya.
Bagaimana ji-
Tin tin tin
Aku sepenuhnya terkejut, tersadar akan lamunan gila tentang pria yang kini menyandarkan dirinya di pintu mobil suv berwarna hitam yang selaras dengan jas di tubuhnya. Bibirku terkatup, ketika pikiranku lagi-lagi berimajinasi tentang dirinya sebagai model.
Sadar Lucy! Aku mencubit lenganku dan meringis. Ini gila... tidak, kau gila Lu. Lihat bagaimana pria yang selalu memberikan segudang tugas itu bisa membuatmu melongo.
Aku menggelengkan kepala, ini sepenuhnya bukan salahku. Prof. Jo terlihat berbeda dari biasanya karena menggunakan pakaian casual dan dia menungguku disana dengan tatapan ke arahku.
"Apa kau akan terus diam di sana?"
Ya Tuhan! Kau benar-benar dalam masalah Lu!
Aku berjalan cepat, mencoba untuk tidak menyembunyikan rasa malu yang tiba-tiba membuat pipiku terasa panas. Prof. Jo menatapku seakan-akan bisa membaca pikiranku dan demi mengalihkan kontak mata padanya aku mencoba untuk melihat langit yang celakanya membuatku hampir mencium aspal jika tangannya tidak menahanku.
Mocha. Aku bisa menciumnya dengan jelas, aroma yang membuatku berpikir tengah berada di sebuah cafe yang menyediakan kopi dengan aroma kuat.
"Hati-hati."
"Trima kasih prof." Jawaban kikuk dariku membuatnya tersenyum. Ya, gerakan di bibir saat sesorang merasa senang atau terhibur. Shit!
"Jangan memanggilku prof saat kita berada di luar kampus," suara beratnya menggangguku saat dia membantuku untuk berdiri tegak. "Kau bisa memanggilku Marc atau Jo."
Aku berkedip, menyerap kata-katanya. "Bolehkah?"
"Ya."
Prof. Jo... tidak, tidak... Marc, membuka pintu mobil dan menatap ke arahku yang hanya diam terpaku di samping mobilnya.
"Kau tidak sedang memintaku untuk membukakan pintu mobil untukmu bukan?"
Aku mendengus, berjalan ke arah sisi mobil yang lain tanpa melihat ekspresi apa lagi yang diperlihatkan padaku. Tembok berlapis, ya. Aku harus mempertahankan diri saat berhadapan dengan pria seperti dirinya.
***
Daun-daun yang berguguran menyambut kedatangan kami disebuah tempat terpencil di pinggiran kota Seoul. Hampir setengah jam lebih kami membelah kemacetan kota Seoul tanpa pembicaraan berarti dan aku masih tidak tahu kemana dia akan membawaku.
Aku meliriknya, sedikit mengerutkan kening saat pikiran aneh muncul tiba-tiba dalam kepalaku. Apa dia akan menyekapku? Menculik atau menjualku di tempat terpencil ini... atau dia pisikopat gila seperti cerita di dalam film-film yang kutonton.
"Kita akan segera sampai."
"Hm... sebenarnya kau akan membawaku kemana?" Suaraku menciut karena pikiran gila mulai berbisik di kepalaku.
Marc memberhentikan mobil mewahnya tepat di bawah pohon ek tua rimbun yang berguguran. Dia memiringkan kepalanya, menatapku-lagi, dengan cara yang tidak kumengerti-tanpa berkata apa-apa dalam beberapa menit yang sunyi hingga akhirnya bersuara. "Kau bisa memainkan piano, bukan?"
"Dari mana anda tahu?"
Marc mengangkat bahu dan mengambil sesuatu di kantong celana hitamnya. "Aku pernah melihatmu bermain piano...," perkataannya terputus saat dia mengeluarkan kotak hitam dari celanya. Jangan katakan dia akan memberiku cincin. Apa selama ini dia menyukaiku?
"Permainanmu indah." Seketika pikiranku hilang, melihat dia membuka kotak hitam berisi sebuah pin berwarna emas dengan ukiran 'Shine House' di bagian tengahnya. "Aku mencari seorang pianis untuk sebuah acara amal."
"Ya?"
"Kau mau membantuku?"
Aku tersenyum, senyum yang sangat lebar karena menertawakan pikiran liarku tentangnya. Oh sungguh, ini sangat manis. Dia mempunyai sisi yang manis dan mungkin saja keterdiamannya sejak tadi ada alasannya.
"Tentu saja!"
"Kau mau...," Dia mengangkat pin itu ke arahku seakan bertanya apa aku mau menggunakannya dan kujawab dengan anggukan. Bibir merahnya tersenyum dan di detik selanjutnya dia mendekat ke arahku. Tangan lebarnya mengambil kerah bajuku dan memasangkan pin itu di sana, sehingga membuat jarak di antara kami begitu dekat. Ya Tuhan, mengapa dia begitu beraroma nikmat. Stop lu! Pikiranmu benar-benar harus di hilangkan.
"Aku memiliki satu yang sama." Marc mengambil sesuatu di balik jasnya, sebuah pin yang mirip dengan milikku.
"Prof... maksudku...."
"Marc, panggil saja dengan namaku."
Aku terdiam, menautkan kedua tangaku. "Kenapa anda memintaku untuk melakukan ini, bukankah ada banyak mahasiswa atau seseorang yang lebih profesional dari diriku untuk melakukannya."
Marc menghidupkan mesin mobil dan aku masih menunggu jawabannya saat mobilnya kembali melaju di atas aspal. Lalu, di antara suara hujan yang tiba-tiba turun. Aku mendengar suaranya, kata-kata yang membuatku kembali terdiam tanpa bisa berkata apapun.
"Karena itu kau, Luciana Shin." Untuk beberapa detik, dia melihat ke arahku. Mata sehitam langit malam itu terlihat benar-benar serius dan aku benci harus mengkui jika dirinya membuat sebagian dari diriku bergetar.
Aku mencoba mengatur ekspresi wajahku ketika akhirnya dia berhenti tepat di sebuah bangunan tua yang terlihat hangat. Ada beberapa anak yang terlihat begitu antusias meski hujan ringan masih jatuh dari atas langit saat dua buah kontainer besar mengeluarkan makanan, mainan dan buku-buku. Pemandangan ini membuatku berpikir, sebenarnya apa yang pernah kulakukan dalam hidupku saat begitu banyak hal yang bisa kulakukan untuk bisa melihat wajah ceria di sana.
"Lucy." Marc mengetuk kaca mobil dari arah luar, aku bahkan tidak tahu sejak kapan dia sudah berada di sana. Dan, tanpa ragu aku membuka pintu mobil ini. Pintu yang mungkin saja akan membuka hal lain dalam hidupku.
Sebuah daun ek jatuh tepat di atas kepalaku ketika aku membuka pintu dan suara anak-anak yang berlari ke arah Marc membuat hati kecilku menghangat. Lalu, untuk kesekian kalinya kedua mata hitam itu kembali menatapku yang disertai dengan tawa di bibirnya karena gerombolan anak-anak tadi berkumpul di sekelilinya.
Kau terjatuh padanya, Luciana.Kali ini aku tahu, pikiranku tidaklah salah dan aku tahu ini bukanlah hal bagus. Tidak, aku harus menahan diri darinya. Ya, dari pria yang berdiri di sana. Pria yang kini mengubah pandanganku tentang dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Witch
FantastikUntuk kesekian kalinya aku berkata pada diri sendiri, jika ini hanyalah mimpi yang tidak punya arti khusus bagiku. Tapi, mimpi itu terus berlanjut... Dia di sana, menatapku diam dan memelukku di dalam mimpi yang berlanjut. Lalu, semua berjalan deng...