2. Manis Asin

45 9 6
                                        













Terdengar suara keributan dari luar yang membuatnya terbangun dari tidur nyenyaknya.

Devon mengucek matanya. Suara itu masih terdengar. Suara benda-benda berjatuhan, suara tangis sendu perempuan dan suara petir yang seakan menjadi instrumen pelengkapnya.

Cowok itu menghela napas pelan, lalu ia menatap jam digital berbentuk gitar di atas nakas samping tempat tidurnya. Jam itu menunjukan pukul 18.30. Dan Devon sudah tertidur selama 3 jam lamanya.

Lalu, Devon beranjak dari kasur empuknya dan berjalan menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamarnya. Ia ingin mandi dan menjauhkan suara keributan itu sejenak dari indra pendengarannya.

Beberapa menit berlalu. Dan suara keributan yang berasal dari ruang keluarga itu belum juga selesai. Gerimis masih turun. Suara petir dan kilat-kilatnya juga masih tedengar dan terlihat dari kaca jendela kamar Devon-meskipun tertutup dengan hordeng.

Cowok itu mengacak-acak rambutnya yang basah mengenakan handuk kecil. Setidaknya otalnya sudah sedikit mendingin. Walau suara dari ruang keluarga itu begitu menyakitkan hati Devon.

Devon mengambil pakaian yang akan ia kenakan. Lalu ia memakainya. Entah, mengapa ia ingin sekali melihat keadaan di luar. Sungguh Devon tidak pernah menyukai hujan ataupun hal-hal yang berbau dengan hujan.

Kemudian, ia berjalan menuju jendela besar yang terdapat di kamarnya dan membukanya sedikit. Ia melihat sesosok perempuan yang sering ia lihat, bahkan setiap hari. Dia adalah Aletta. Devon tersenyum kecil. Mengingat kejadian sore tadi di sekolah. Melihat gadis loli itu salah tingkah hanya karena dirinya.

Terkadang terbesit di pikirannya, "Apa gue seganteng itu. Sampai hampir semua cewek suka sama gue?"

Tapi memang kenyataannya seperti itu. Tidak ada seorang perempuan yang meragukan ketampanan milik seorang Devon Natawijaya.

Suara petir yang cukup keras membuyarkan Devon dari lamunanya. Setelah itu, suara barang berjatuhan dari bawah semakin terdengar jelas. Seakan ia tidak akan sanggup lagi mendengarnya. Devon memakai sweater berwarna krim kesayangnnya dan beranjak keluar.

Benar saja. Rumahnya sekarang seperti kapal pecah. Bahkan mirip. Semua barang berserakan di lantai. Beberapa barang yang terbuat kaca dan keramik juga sudah pecah tidak berbentuk.

Mamanya terlihat sedang menangis. Sedangkan papanya terlihat sedang marah dengan wajah yang menakutkan. Devon tidak pernah tahan dengan ini semua. Dan Devon juga tidak akan ikut campur urusan kedua orangtuanya. Karena, toh akan sama saja endingnya jika Devon ikut campur.

Devon berjalan cepat menuruni tangga. Ia berpura-pura seolah tidak mendengar dan melihat semua itu. Ia juga tidak melirik sedikitpun ke arah kedua orang tuanya. Devon benci dengan semua orang di rumahnya. Termasuk dirinya sendiri.

Tempat tujuannya kali ini adalah rumah Reno, alias rumah Aletta. Devon sudah menganggap Reno sebagai kakanya karena sifat Reno yang begitu humble, respect dan penuh keceriaan. Sifat itu membuat Devon merasa di hargai dan merasa bahwa ia masih di anggap.

Sayangnya, ia tidak mempunyai saudara kandung. Ia hanyalah anak tunggal yang terbuang. Sudah lama ia tidak pernah mendapat kasih sayang kedua orang tuanya. Miris.

Begitu sampai Devon langsung masuk ke dalam rumah Reno. Sudah biasa jika Devon seperti itu. Karena setiap hari Devon pasti akan ke sini. Walaupun hanya sekadar untuk menemani Reno membuat tugas kuliahnya. Setidaknya Devon mempunyai teman untuk mengeluarkan segala penat di hatinya. Dan Reno tidak pernah ambil pusing mengenai itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You're AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang