Sebuah Keputusan

334 28 2
                                    

Langit terlihat lebih gelap dari seharusnya. Ini sudah hari kedua di musim panas dan jampun masih menunjukan pukul delapan pagi. Mataku berusaha menyesuaikan cahaya yang ada di ruangan ini, perlahan aku bangun dari tempat tidur kami. Saat kepalaku menengok ke samping tempat tidur, wajah terlelap Archie membuatku kesal. Tanganku terulur ke arah rambutnya untuk membangunkannya, tapi sebuah suara berat mengganggu.

“Hentikan, sampai disitu. Kalau kau membangunkan saudaramu sekarang, kau tidak akan mengetahui tentang cerita itu. Sebuah cerita turun temurun tentang sebuah persaudaraan. Cerita yang mengharukan karena walaupun mereka tidak terikat oleh darah, takdir menuntun mereka untuk bersaudara sampai napas terakhir menghembus.”

Seseorang yang kukira adalah laki-laki tampak duduk tenang dengan kaki bersila di kursi meja rias kami. Sekarang aku ragu bahwa dia laki-laki, wajahnya terlihat cantik dengan beberapa bulu yang tampak menjuntai diatas rambutnya, seperti hiasan bulu yang ditancapkan di sebuah topi.  Kulitnya bahkan terlihat berkilau karena cahaya lampu yang menerpanya.

“Siapa kau!”

Banyak kalimat yang ingin aku lemparkan, lidah terasa berat untuk mengucapkannya. Tubuhku bergerak melindungi Archie dengan selimut yang berada di kakinya. Bahkan kini aku sudah ada di depan orang tersebut, berusaha menutupi pandangannya dari Archie.

“Aku bukan siapa-siapa, setidaknya untuk sekarang kau hanya perlu tahu itu. Bersiaplah, ada hal yang ingin aku perlihatkan kepadamu, Ratuku.”

Jemari orang itu terulur ke arahku. Kukunya tampak tajam namun cantik dengan warna hitam kelam, ada sebuah gambar yang menyerupai bentuk kelopak bunga di bagian punggung tangan yang dekat dengan ibu jari. Warna gambar itu senada dengan kukunya, terlihat indah tapi juga menyakitkan.
~ a ~

Suara berderak membuatku menggerakkan sedikit kelopak mata. Rasa kantuk itu membuat usahaku sia-sia karena kelopak itu menutup kembali. Hingga untuk kelima kalinya aku mencoba untuk menggerakannya kembali agar terbuka, dan sebuah sinar mentari menyoroti. Hangat, walaupun sinarnya terlihat sangat terang, seperti bukan di musim panas saja. Bunyi berderak itu semakin kuat terdengar ketika embusan angin menerpa kulitku. Mataku beralih menatap jendela kamar yang terlihat menggantung dengan engsel bagian atas yang hampir terlepas.

Serupa tapi tak sama. Awalnya ruangan ini terlihat seperti kamarku, tapi saat sebuah meja nakas dengan warna hitam serta lampu tidur berbentuk buku terbuka berada diatasnya. Aku yakin ini bukanlah tempat aku adan Archie biasa tidur. Pintu kamarku berwarna putih dengan hiasan untaian bunga-bunga yang berbentuk melingkar, tapi didepan sana hanya ada pintu kayu cokelat yang bagian bawahnya tampak koyak.

Sesaat aku merasa takut untuk beranjak dari tempat ini, hingga suara teriakan keras seorang wanita membuatku untuk berlari dan bersembunyi di sudut kamar. Ada dua orang, setidaknya perbedaan suara itu terdengar jelas. Mereka Saling berteriak satu sama lain dengan bahasa yang tidak aku mengerti.

Tanganku semakin erat memeluk kedua lutut karena dua orang wanita itu mulai melemparkan berbagai benda yang menimbulkan suara nyaring hingga bisa terdengar ke atas sini. Ada sebuah pot tanaman besar di hadapanku, dan pintu masih tertutup rapat, walau aku tidak tahu terkunci atau tidak. Kalau saja disini ada saudaraku, aku pasti tidak akan setakut ini.

Baru saat ini aku menyesali ketidakadaan Archie disini. Jika beberapa tahun lalu aku menyesal karena laki-laki yang disayangi mommy sudah memiliki anak, sekarang dirinya menyesal karena sudah mempercayai makhluk aneh itu sehingga membuatnya terdampar sendiri di tempat aneh ini.

Jantungku berdetak cepat saat suara teriakan itu berhenti. Berharap tidak ada hal menakutkan yang akan terjadi, tanganku bergerak menutup mulut. Dan saat doaku hampir mencapai akhir suara derap langkah terdengar cepat dan ada hentakan keras sesekali terdengar. Dia tidak bisa berada disini terus, siapa yang bisa menjanjikan bahwa mereka adalah orang baik. Mengingat teriakan dan hentakan kaki yang terasa seseorang yang sedang amat marah.

Padanganku tertuju pada jendela yang terbuka itu. Jika dia Archie, gadis itu tidak akan ragu untuk menggunakan gorden ini agar bisa turun ke bawah. Tapi dia bukan saudaranya yang kuat dan berani. Dia hanya gadis manja yang ingin pulang dan bertemu saudaranya kembali. Dan pilihan diam saja tidak akan membuat dirinya dapat bertemu Archie. Perlahan kutarik gorden yang menjuntai panjang hingga ke lantai, dan mengingat ini cuma dua lantai tidak akan menimbulkan luka yang serius.

Matanya beralih ke bawah untuk memastikan hambatan apa yang akan dia dapatkan kalau dia tetap mengambil keputusan itu. Ada beberapa bungkus sampah dengan ukuran plastik yang besar-besar. Setidaknya tidak akan terlalu sakit saat jatuh, pikirku.

Derap langkah itu kian besar, dan sebelum suara benda jatuh terdengar seseorang dengan suara melengkingnya berteriak marah seolah sedang menghalangi seseorang yang lain agar tidak mendekat. Keputusannya sudah bulat. Dia harus pergi dari sini.

To Be Continue...

yuhuuuuu!!! i'm backkkkk!!!
miss you so much readerdeul...
kayaknya makin aneh aja ya ceritanya, tapi serius deh. aku suka banget sama mereka berdua...sok misterius gimana...gitu
hope you like it guys, and voment pleaseeeeee!!! ^_^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mommy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang