Bagian 5 - Evan si Berandalan

60 1 0
                                    

Tiga serangkai membolos dan kemudian kembali ke rumah Davin dan mendiskusikan hal itu hingga sore hari tiba. “Sinting! Gak mungkin banget! Sofia jelas punya alibi kuat, dia yang ditindas, mana mungkin dia berani bikin Sherly kayak gitu!?” Evan berdebat sendiri di kamar Davin. “Tapi lebih sinting kalo Sherly bunuh diri cuma demi mojokin Sofia kan?” sahut Davin. “Maksud lu ada kemungkinan Sofia bakal ngelakuin itu?” Evan agak terkejut dengan sanggahan Davin barusan.

"Gue gak bilang gitu sih...” Davin menghentikan argumennya sampai di situ, ia malas berdebat dengan Evan yang berdarah panas itu. “Kalo lu pikir Sofia berpotensi bikin orang depresi sampe bunuh diri, berarti lu yang sinting. Atau jangan-jangan lu kalap karena nama lu ada di suratnya Sherly?” tukas Evan dengan nada tinggi.

“Lho, kok jadi ke situ, Van?” Davin agak tersinggung dengan tuduhan Evan barusan, seolah membuatnya membela diri menggunakan Sofia agar tidak terlibat. “Faktanya nama lu ada di situ dan kemaren Sherly ada di depan lu. Gue perhatiin juga kemaren cuma lu doang yang ga ketawa sewaktu Sherly dibully sekelas” Evan mulai menyimpulkan berdasarkan apa yang ia lihat.

“Eh, bangsat! Kalo ngomong hati-hati lu anjing!” Davin tidak tahan dengan tuduhan Evan yang semakin menjadi. Ia mengambil sebilah pedang katana dari sisi bawah tempat tidurnya. “Apa lu banci!? Berani?” bentak Evan pada Davin. “Woy udah woy!” teriak Faisal yang mencoba merelai keduanya agar tidak semakin parah. Saat suasana semakin memanas, tiba-tiba...*TINGTONG-TINGTONG* suara bel pintu terdengar dan pintu diketuk dengan cukup keras disusul suara teriakan Sofia.

“Viiin!? Daviiin!? Kamu udah pulang kan? Buka pintunya Vin, please!” teriaknya dari luar rumah. Mendengar suara Sofia, ketiga serangkai langsung buru-buru lari ke pintu keluar untuk membuka pintu. Davin membuka pintu dan mendapati Sofia menangis.

Tubuhnya gemetaran, wajahnya pucat, Davin memegang kedua lengan Sofia. “Sof? Kenapa Sof? Masuk dulu, duduk dulu. Van! Air putih Van!” teriak Davin. Evan berlari ke dapur dan mengambil segelas air, sementara Faisal dan Davin mendudukkan Sofia di sofa.

“Sof, lu kenapa? tanya Davin sambil menyodorkan segelas air yang dibawakan oleh Evan. Sofia meminum air itu dan mulai menarik nafas, lalu mulai berbicara. “Aku takut Vin, tadi ada polisi ke rumah. Terus aku kabur lewat belakang, abis itu ke sini. Mereka bawa senjata api, aku takut Vin” ujar Sofia. “Tenang Sof, mereka masih di rumah om Barry?” tanya Evan dan hanya dibalas anggukan oleh Sofia.

“Oke, lu tunggu sini. Biar gue yang tanya ada apa. Lu jangan keluar-keluar dari sini. Vin, lu ikut gue, Cal jagain Sofia dulu di sini” ujar Evan dengan tanggap memberikan komando. Davin kemudian mengikut Evan ke rumah om Barry. Di sana tampak dua mobil polisi yang sedang terparkir.

Di depan pintu rumah om Barry tampak ada 5 orang polisi mengetuk pintu dengan membawa senjata api. “WOY!” teriak Evan pada para polisi itu. Berandalan satu itu memang hanya takut hantu, tidak ada sedikitpun rasa takut ditampakkan di wajah garangnya saat meneriaki polisi-polisi itu. “Ya? Anda siapa?” tanya salah seorang polisi tersebut.

“Ngapain lu pada di sini? Rumah ini ga ada orangnya udah dari lama” Evan memberi penjelasan singkat dengan gaya angkuhnya. Ia bicara tanpa melihat ke arah para polisi itu, berusaha mengintimidasi mereka dengan sikapnya. “Memang itu informasi yang kami terima, tapi belakangan ini kami mendapat informasi bahwasannya ada aktifitas ilegal semacam penganut aliran sesat di sini” ujar polisi tadi.

“Ah, gila! Gak mungkin! Rumah ini kosong sejak pemiliknya ditahan!” Evan menyangkal, berusaha membela dengan mengarang cerita agar Sofia aman. Ia menyalakan rokok dan dengan gaya sok, ia melanjutkan. “Lagian dari mana lu pada dapet informasi itu? Warga sini sepi, kanan kiri rumah banyak yang kosong. Kalo rumah ini jadi serem karena pemiliknya ga ada, bukan berarti rumah ini ada aktifitas ilegalnya kan?” Evan terus berusaha membuat para polisi itu menjauhi rumah om Barry.

From Hell With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang