Bagian 6 - I'll Get Your Revenge!

60 1 0
                                    

Pagi harinya, Davin mendapati Sofia sudah tidak di sampingnya. Ia keluar dari kamar dan melihat Sofia sedang membuat nasi goreng ala Eropa.

“Pagi...” tegur Davin masih bertelajang dada dengan suara agak serak setelah bangun tidur. Davin yang berbadan tegap dan kekar itu meraih t-shirt nya di pintu kamar yang baru saja dilaluinya.

“Pagi, suamiku” sahut Sofia dengan tawa kecil. Davin tahu betul itu hanya gurauan Sofia, tapi tetap saja ia tersipu dan wajahnya memerah, membuat Sofia semakin semangat tertawa.

Sejujurnya, gelak tawa dari Sofia itu saja sudah cukup bagi Davin untuk memulai harinya dengan gembira. Ia menyantap sarapan yang dibuatkan oleh Sofia dengan lahap.

Sofia tersenyum lembut melihat Davin yang begitu bersemangat makan makanan yang dibuatnya. “Kenapa?” tanya Davin yang agak terganggu karena terus ditatap oleh Sofia.

“Nggak, kalo gini kayak beneran udah nikah ya” Sofia menggoda Davin. “Ukh! Uhuuk!” Davin terkejut dengan ucapan Sofia barusan, membuatnya tersedak sosis dan bakso bersamaan. Sofia tampaknya sangat menikmati menggoda Davin dengan gurauan seperti itu, ia terus tertawa dan menggoda Davin sepanjang waktu sarapan.

Setelah itu, mereka berangkat ke sekolah berboncengan. Setelah sampai di sekolah, tampak anak-anak sedang berdiskusi. “Kenapa tuh?” tanya Davin yang baru datang pada Evan yang sedang asyik menonton video kartun di smartphone nya.

“Itu, si Tasya katanya kena santet. Muntah paku gitu, gue males ikutan bahas gitu” sahut Evan. “Eh, pak Budi gimana?” tanya Sofia pada Evan.

“Tadi malem gue ngobrol ama bokap, ternyata kemaren kasusnya dicabut sama orang tuanya Sherly. Terus sekarang keluarganya Sherly pindah keluar kota karena malu sama kasusnya Sherly. Pfffttt...huahahaha anjrit!” jawab Evan sambil menertawai kartun humor yang sedang ditontonnya.

“Eh, ntar malem minggu kan? Kumpul yuk di rumah Davin!” ajak Evan sambil menatap Faisal dan Sofia. “Maaf, nanti malem aku ada urusan penting deh, Van” jawab Sofia halus. “Yaaaelaaaah, ayo dong Sof” bujuk Evan pada Sofia.

“Maaf ya, Van, minggu depan deh ya. Aku masakin yang laen lagi deh minggu depan” jawab Sofia sambil menempelkan kedua telapak tangannya memberi isyarat meminta maaf. “Gue juga gak bisa ikut. Ntar malem mau ada arisan keluarga” ujar raksasa yang duduk di belakang mereka, Faisal.

“Yaelah ndut, masa gue mau beduaan doang sama Davin kayak homoan gitu? Ah bete dah gue, yaudah minggu depan aja kita kumpul” ujar Evan dengan wajah cemberut. Malam harinya, suasana begitu tenang dan sepi di rumah Davin.

“Ah coba ada Sofia lagi kayak tadi malem” pikir Davin mengingat-ingat kenangan indahnya tadi malam. “Sofia lagi apa ya? Tumben dia bilang gak bisa ikutan karena ada urusan penting” pikir Davin sambil berjalan menuju teras di lantai dua.

Ia berniat memantau keadaan, namun rumah om Barry tampak sepi sekali. Davin duduk di atas tempat tidurnya, lalu membuka handphone nya. Saat itu juga, ada panggilan masuk, membuatnya sedikit terkejut, terlebih saat melihat bahwa yang menelponnya adalah Erwin, adiknya Evan.

“Hah? Erwin? Ada apa nih nelpon gue?” Davin bicara sendiri, ia lalu mengangkat telponnya. “Halo? Ada apa, Win?” tanya Davin. “Bang? Bang Davin? Bang Evan dibacok orang pake pedang! Sekarang sekarat di rumah sakit kota! Dari tadi manggilin nama lu terus bang! Bisa ke sini nggak?” sahut suara diseberang telpon.

Mendadak wajah Davin langsung pucat, jantungnya serasa terhenti. Ia menutup telponnya dan langsung bergegas tancap gas menuju rumah sakit kota. Di sana, ia lihat Evan berlumuran darah, pendarahannya tidak bisa dihentikan.

“Van! Evan! Bangsat! Siapa yang bikin lu gini! Siapa!?” Davin berteriak menggenggam tangan Evan yang gemetaran, dan tak sanggup bicara lagi.

“Vin...Vin...sorry...Vin...Sofia...Ical...” suara Evan tidak lagi terdengar jelas. “Iya, Sofia? Mau ngomong sama Sofia sama Ical!? bentar! Gue telpon biar mereka ke sini!” ujar Davin sambil menangis. Dilihatnya sinar mata Evan mulai pudar.

“Vin...Davin...Sofia....Ical...jangan...” Evan berusaha bicara walau terbata-bata. Davin terus-terusan mencoba menelpon Sofia dan Faisal namun keduanya tidak dapat dihubungi sama sekali.

“Vin...sorry...Vin...jangan...” ujar Evan lagi. Davin menghampiri Evan, ia menggenggam tangan Evan dan mengelus kepalanya. “Siapa si anjing yang bikin lu gini, Van!?” Davin benar-benar marah.

“Vin...Davin...sorry...Vin...Isal...Sofia...jangan...” setelah mengucapkan itu, sinar mata Evan menghilang, nafasnya terhenti.

Raden Evan Suryo Notonegoro, wafat di usianya yang ke 17, akibat dibacok dengan senjata tajam oleh orang yang masih dicari oleh polisi saat ini. Davin melihat sekitarnya, tampak keluarga Evan menangis histeris melihat kepergian Evan yang tragis. “Vin, kamu bisa ikut om ke kantor besok? Setelah pemakaman Evan” pak Erik, ayah Evan, mengundang Davin ke kantornya.

Esoknya, pemakaman Evan dilangsungkan di sebelah utara kota. Evan dimakamkan dengan layak. Sebelum dimakamkan, Davin mendekati jasad Evan, ia mengecup keningnya dan berbisik “Rest your head, buddy. I’ll get your revenge (Istirahatlah, kawan. Biar aku yang balaskan dendammu)” Davin lalu berpaling dari jasad Evan.

Dilihatnya Sofia dan Faisal di sana. “Vin...” Sofia mencoba menegur, namun Davin sama sekali tidak merespon, ia bersikap dingin, sangat dingin. Ia sangat kecewa karena baik Sofia maupun Faisal tidak di sana saat Evan pergi.

Faisal menarik tangan Davin dan tampak ingin mencegahnya. “Bro...” Faisal menegurnya. “Diem lu, Evan udah mati, lu mau jelasin apa juga dia ga bakalan balik lagi” ujar Davin dengan wajah garang. Inilah pertama kalinya Faisal melihat wajah itu.

“Jangan lu terusin, Vin. Kasian Evan” Faisal meminta Davin tidak mencari pelakunya. Davin yang kesal kemudian mendorong Faisal yang berbadan besar itu ke tembok, lalu meraih kerah bajunya. “Denger ya, babi hutan! Sodara kita baru dibunuh orang! Dibunuh! Lu minta gue diem aja!? Coba lagi! Berikutnya lu yang gue bunuh!” bentak Davin pada Faisal.

Marah, kesal, kecewa, sedih, dan banyak lagi emosi yang dirasakan, Davin keluar dari area pemakaman dan mengendarai motornya menuju polres. Di kantor pak Erik, Davin menunggu selama beberapa menit sampai akhirnya pak Erik datang. Pak Erik memberi isyarat pada polisi yang berjaga di ruangannya untuk keluar dan meninggalkannya dengan Davin berdua.

“Vin, pertama, om mau kamu percaya, Evan gak akan mau kamu cari pelakunya” ujar pak Erik. Davin hanya diam, ia bingung. “Kedua, om mau kamu janji. Jangan bilang ini ke siapapun dan jangan cari pelakunya” lanjut pak Erik, membuat Davin semakin bingung.

“Om? Saya gak paham, saya...” Davin berusaha meminta penjelasan, namun pak Erik mengangkat tangannya meminta Davin untuk diam. Ia membuka laci mejanya dan menarik sebilah pedang hitam dan meletakkannya di hadapan Davin. “Ini satu-satunya barang bukti yang kami temukan di TKP sewaktu Evan sekarat” pak Erik menjelaskan.

Davin semakin bingung, sangat bingung, pedang yang ada di hadapannya itu sangat ia kenal. Itu pedang yang ia todongkan pada Evan kemarin lusa saat berdebat dengannya. Bagaimana mungkin bisa ada di sini dan siapa yang menggunakan pedang itu untuk membunuh Evan? “Om tau pedang ini punya siapa, sidik jarinya ada dan udah didata” pak Erik berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi.

“Om tau dan om yakin bukan kamu yang lakuin itu. Om gak bakalan percaya sama sekali kalo kamu bakal nyakitin Evan” lanjutnya.

“Tapi om yakin, kalo kamu telusurin, ini bakal nyakitin kamu, Vin. Lebih nyakitin ketimbang yang kita rasain sewaktu keilangan Evan. Vin, kamu sama Evan udah kayak sodara. Om juga nganggep kamu anak om sendiri. Jadi om mau kamu lupain semua ini. Evan juga gak akan mau kamu nyari pelakunya. Om mohon banget, Vin. Hiduplah yang lurus, lupain soal ini, doain aja Evan tenang di sana. Biar om yang beresin kasus ini” pak Erik meneteskan air matanya sambil memohon pada Davin.

Tentu saja ini membuat Davin bingung, ia tidak tahu harus melakukan apa. Mustahil baginya untuk diam saja dan tidak mencari pelakunya. Tapi di sisi lain, pak Erik tampak sangat tidak ingin Davin melanjutkan kasus itu. Davin hanya diam saja lalu meninggalkan ruangan pak Erik. Saat ia baru sampai di pintu, pak Erik memanggilnya lagi.

“Vin! Jangan buat kita kehilangan lebih banyak orang baik kayak kamu dan Evan!” teriaknya, namun Davin tidak menanggapinya. Ia hanya terus berjalan keluar dan pulang dengan motornya. Sesampainya di rumah, ia melihat Sofia sudah di depan rumahnya, menunggu Davin pulang.

“Pulang!” bentak Davin pada Sofia, ia mengusir Sofia, sama sekali seperti bukan Davin. Takut melihat sikap Davin, Sofia pun akhirnya pulang.

From Hell With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang