Chapter 1

29 18 22
                                    

Putra mahkota ras Lelion telah dewasa. Namanya Pangeran Reon, putra dari Raja Alex dan Ratu Liliana. Di umurnya yang masih menginjak 23 tahun ini ia sudah memberikan tanda-tanda kepiawaiannya dalam memimpin ras. Memimpin Bumi lebih tepatnya.

Tahun depan ia akan dinobatkan sebagai raja menggantikan tahta ayahnya. Tapi sayang dia belum memiliki pasangan. Dengan parasnya yang tampan juga bentuk tubuhnya yang cukup proposional tentu dapat memikat seluruh kaum hawa yang berpapasan dengannya. Memberikan rasa iri hati para kaum adam atas kesempurnaannya itu. Tapi hingga sekarang dia belum menemukan pasangan yang cocok menurutnya.

Bagi mereka makhluk immortal, seorang pemimpin yang tidak memiliki pasangan hidup atau mate akan terlihat lemah. Penyebabnya karena ia tidak memiliki ikatan dalam hatinya. Hati itu akan membeku dan keras sehingga perlahan sikap egoisnya akan muncul serta ambisi harus selalu menang dalam peperangan apapun yang terjadi. Karakter itu yang membuat ia tidak pantas menjadi seorang pemimpin. Padahal hal itu tidak akan berpengaruh bagi kaum dewa karena mereka tidak di anugrahi insting ikatan.

Setiap makhluk immortal dianugrahi sebuah insting yang dapat merasakan keberadaan pasangan hidupnya atau mate yang sudah ditentukan oleh Tuhan sejak mereka lahir. Hanya ras kaum dewa saja yang tidak di anugrahi insting itu. Oleh sebabnya tidak akan menjadi masalah besar jika mereka tidak memiliki pasangan. Namun tetap saja, bagi mereka, mate adalah separuh jati diri mereka yang terpisah walau mereka tidak bisa merasakan keberadaannya.

~~~

Kilauan cahaya menerpa hamparan taman bunga itu. Memantulkan kembali cahayanya oleh embun-embun pagi yang bertenggeran di atas bunga-bunga berwarna merah dan biru itu. Pria yang berdiri di dekat taman itu tersenyum, mengingat kembali saat ibunya bercerita padanya tentang alasan taman bunga ini dibuat. Sangat romantis namun terdengar konyol baginya. Sudahlah, ia sedang malas membahas tentang keromantisan.

"REON,"

Seorang wanita tiba-tiba datang dan memanggil dirinya dengan suara sedikit keras dari arah belakang. Pria yang dipanggil Reon tadi membalikkan badannya. Reon tersenyum lembut menyambut wanita yang sekarang tengah menghampirinya.

"Ada apa, Ibu?" Reon bertanya pada wanita itu masih dengan senyum lembutnya.

Liliana ikut tersenyum, membalas senyuman lembut Reon. "Sedang apa kau di sini?"

Reon menggeleng. "Tidak ada. Hanya ...." Ia menundukkan kepalanya. Mencari jawaban yang sesuai untuk pertanyaan yang ibunya ajukan tadi.

Liliana mengernyit. Ia tahu ada sesuatu yang Reon sembunyikan dari dirinya. "Kau ada masalah?"

Reon mengangkat wajahnya. Menatap langsung manik mata ibunya yang berwarna merah kecoklatan itu. Ada sedikit keraguan dalam diri Reon untuk menceritakan semua kegundahan yang ia rasakan.

Reon menggeleng kembali. "Tidak ada."

Liliana tersenyum. "Tidak ada yang dapat kau sembunyikan dari Ibu, Reon. Kau bisa cerita pada Ibu jika kau memiliki masalah."

Reon mengangguk. Benar yang dikatakan Liliana barusan. Ibunya itu sangat mengetahui watak putranya, jadi mustahil jika Reon masih bisa berbohong padanya.

"Hanya masalah tahun depan, Ibu." Reon memandang kembali hamparan taman bunga itu.

"Ada apa di tahun depan?" Liliana menghernyit.

"Hari penobatanku."

Liliana mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ceritakan pada Ibu sesuatu yang mengganggu pikiranmu tentang hari penobatanmu itu. Setahu Ibu, kemarin ketika kau ditanya oleh Ayahmu, kau setuju saja. Bahkan kau menjawabnya dengan penuh semangat." Liliana terkikik geli, mengingat kembali ekspresi Reon ketika diberi tawaran oleh ayahnya untuk menjadi raja selanjutnya.

Reon kesal. Bukan itu yang ia maksud.
"Aku siap. Aku benar-benar siap untuk menjadi penerus Ayah. Tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku, Ibu." Reon menunduk, seolah-olah ia tengah mendapatkan masalah yang cukup besar.

"Lalu?"

Reon sedikit tidak yakin. Belajar dari masa lalu, Ibunya itu sangat senang sekali menggoda dirinya. Entah setelah ia ceritakan masalahnya apakah Ibunya itu akan ikut bersedih bersamanya atau sebaliknya. Diejek habis-habisan. Oh, Reon tidak sanggup membayangkannya.

"Tidak ada," jawab Reon singkat.

"Apa?"

"Aku tidak jadi menceritakannya pada Ibu."

"Kau tidak percaya pada Ibu, Reon?" manik mata Liliana berkaca-kaca. Sedikit demi sedikit air bening keluar dari kelopak matanya.

Reon menahan nafas. Sebenarnya ia sudah tahu ibunya akan melakukan hal ini. Lagipula ibunya itu tidak menangis sungguhan. Tapi siapa yang tahan melihat wajah ibunya itu ketika ingin menangis? Pantas saja ayahnya sangat mudah sekali menuruti semua kemauannya.

Reon frustasi. Ia tidak mau nanti diejek oleh ibunya, tapi ia juga tidak tahan melihat wajah ibunya walau itu hanya kepura-puraan belaka.

Reon menghela nafas. Ia sudah pasrah sekarang. "Akan aku ceritakan."

Seketika Liliana tersenyum dengan cerah. Seolah ia tidak pernah menangis seumur hidupnya. "Ceritakan, ceritakan," katanya semangat. Wajah Reon tertekuk. Ia sudah benar-benar tidak akan bisa lepas lagi dari ibunya.

"Itu, aku membutuhkan penerusmu," katanya lalu menunduk.

"Apa?" Liliana mengernyit. Ia bingung apa maksud Reon sebenarnya.

Reon menggeleng.

Liliana menatap Reon dan memicingkan matanya. Ada yang Reon sembunyikan darinya, tapi Liliana tidak tahu apa itu. Ia terdiam sesaat, berusaha berpikir apa maksud yang Reon katakan tadi.

"Penerusmu." Liliana berujar dalam hatinya. Seketika ia tersenyum jahil saat mengetahui apa maksud Reon barusan.

Wajah Reon menegang. Melihat ekspresi wajah Ibunya itu Reon yakin, dalam waktu dekat, ia akan mati kutu oleh ibunya.

"Yang kau maksud itu seorang wanita?" tanya Liliana masih dengan wajah jahilnya.

Wajah Reon semakin menegang. Ia tidak menggeleng maupun mengangguk.

"Calon istrimu, itu yang kau maksud?" tanya Liliana lagi. Reon memucat. Baik, ia sudah siap menerima ejekan dari Ibunya.

"Nanti akan Ibu carikan seorang wanita cantik untukmu," ujar Liliana dengan tenang. Reon mengerjapkan matanya. Ini aneh, benar-benar aneh.

"Ibu tidak mengejekku?" tanyanya tidak percaya.

Liliana tertawa pelan. "Kau ingin Ibu ejek?" tanyanya.

Reon menggeleng cepat. "Tidak, tentu saja tidak."

"Ya sudah."

"Tapi ...,"

"Apalagi?"

"Itu, Ibu tidak perlu mencarinya," kata Reon.

Liliana berkedip beberapa saat. "Kau sudah memiliki calon istrimu?" tanya Liliana tidak percaya.

"Bukan!"

"Lalu?"

"Biarkan aku mencarinya sendiri," katanya dengan penuh keyakinan.

"Oh, baiklah. Tapi, bagaimana caramu mencarinya?"

"Mengembara berkeliling dunia ini, mungkin," katanya sedikit ragu. Satu hal yang Reon lupakan.  Ayahnya.

"Lalu Ayahmu?" tanya Liliana.

Reon mendesah lelah. "Tidak ada cara lain, aku harus siap untuk meminta izin pada Ayah. Dan, aku harus meminta izinnya sekarang," katanya murung.

Liliana tersenyum lembut. "Semoga beruntung, nak."

Reon mengangguk lalu berjalan pergi ke dalam istana, meninggalkan Liliana yang terdiam membeku di taman itu.

"Takdir itu ...," Liliana berujar pelan. Ia tersenyum miris, berdoa dalam diamnya, semoga ramalan itu tidak benar-benar menimpa Reon.

LELION : Legenda Perang PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang