Go away!

55 0 0
                                    

Mumpung udah libur panjang dan mumpung pulak terimakasih untuk motor yang sudah menabrak ku hingga bisa istirahat dirumah untuk berhari-hari lamanya. Berkat situ saya bisa ngepost cerita ini lebih cepat. *senyum picik* Hah!!!

Oke anyway Selamat membaca~~ ditunggu kritik tikk dan sarannya mbabroh (˘▽˘)ง♥

***

Mungkin manusia boleh berencana tapi Tuhan punya seribu satu cara untuk menentukan pilihan takdir yang terbaik bagi umatnya. Mungkin benar adanya dengan keadaan yang sedang membucah terus dalam pikiran Reina akhir-akhir ini. Rasa yang sesungguhnya tidak wajar itu harus hadir kembali dalam kehidupan Reina.

Dan sekarang tepat seminggu setelah kejadian yang tidak mengenakan dengan sahabatnya dikantor,membuat Reina harus bungkam diam seribu bahasa. Dia hanya butuh waktu,begitu pula dengan Kikan. Mereka berdua tidak ingin membuat keadaan semakin rumit. Alhasil,mereka hanya bisa diam menganggap semuanya tidak terjadi apa-apa karena mungkin bila salah satu diantara mereka masih bersikap egois,semua keadaan akan kembali 180 derajat tidak normal.

Hingga akhirnya dalam seminggu berselang mereka hanya bersikap saling professional  bagaikan seseorang yang sama sekali tidak pernah kenal. Dalam kegalauan Reina, Kikan mengerti apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya itu. Namun,semakin hari Reina makin bersikap aneh. Namun apadaya Kikan hanya bisa melihatnya dari jauh. Dia hanya ingin agar Reina mengerti akan sebuah pengorbanan dan kehilangan yang tidak diharapkan.

Didalam bis yang penuh sesak sore ini, Reina pulang dengan wajah penuh keluh dan pucat pasi. Dia pun lupa kapan terakhir kali ia menyentuh nasi. Ini yang terkadang menyebabkan Kikan khawatir akan sikap keras kepala sahabatnya. Semenjak kejadian itu Reina juga jarang sekali berkomunikasi dengan Revi. Reina tidak sedang ingin diganggu. Sudah hampir 2 bulan mereka tidak bertemu.

Kebetulan Revi sedang ditugaskan dari kantornya yang berada di Kalan,Singapura untuk melakukan observasi tentang proyek besar dari perusahaannya di kota Hamburg. Sudah biasa bagi Reina menjalani hari demi hari tanpa Revi, cukup merasakan pahit manis selama bersama Revi. Namun kali ini benar-benar terasa begitu berat bagi Reina.

Hari demi hari ia lewati tanpa Revi, sungguh merindukan belaian dari kasih itu. Tapi bukan Revi yang ia rindukan, melainkan sosok yang selama ini ia benci, sosok yang tidak ingin lagi ia temui, sosok yang selalu membuatnya merasa tidak berdaya oleh cinta. Sosok itu akan selalu menghiasi setiap langkah yang beriringan dengan masa depannya.

Wiraz. Sosok yang enggan ia akui bahwa belakangan ini sosok itu selalu melayang-layang dalam pikirannya. Namun Reina selalu mengelak akan kenyataan tersebut. Dia mencintai Revi. Dia merindukan Wiraz. Pusing bukan kepalang ketika harus mencerna perkataan yang ada benarnya dari mulut manis Kikan. Sungguh itu sangat menyiksa batin Reina.

Didalam bis yang melaju cukup lambat di senja yang kian memudar karena daerah Sudirman,pusat kota Jakarta yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa macetnya sudah amat sangat kronis. Reina tetap dalam lamunan yang kian tidak menentu, raut wajah yang menunjukan bahwa batinnya cukup tersiksa. Apalagi mata hazelnya yang kini mulai membengkak,mengatung dikelopak matanya sudah tidak terbendung membuatnya harus terpejam. Dan kini entah apa yang sedang terjadi Ia hanya berharap semuanya cepat berlalu. Pekerjaan dari kantornya yang mengharuskan ia pergi keJakarta selama 3 hari membuat  hidupnya makin terasa pahit. Ingin rasanya cepat berlalu,menikmati deburan ombak yang menari-nari. Mencium bau pantai yang khas. Menikmati keindahan senja diujung waktu. Hanya itu yang ingin ia lakukan.

Dreeet. Dreet. Dreet. Suara getaran yang berasal dari handphone Reina, membuatnya terbangun. Hingga sadar bahwa yang tertera di layar handphone panggilan masuk dari Revi. Sudah hampir 50 kali Revi missed call Reina. Namun tidak pernah Ia jawab. Email dan sms pun juga seperti itu, tak ada yang sempat ia balas. Lebih tepatnya lagi dia sedang malas berurusan dengan Revi.

Selama di Jakarta Reina tidak sama sekali ingin diganggu dengan masalah kegalauan hati seperti ini. Cukup pekerjaannya yang akan membebani beberapa hari kedepan selama dikota. Mungkin disana Kikan sudah memberitahukan apa yang sedang terjadi dengannya. “sudahlah biarkan saja dunia menganga melihat gue terluka. Capek. Lo semua pada kemana sih? Ga ada satu pun yang bisa ngertiin gue disaat seperti ini.” Reina membatin dalam pandangan yang terus lurus kedepan. Tatapan yang tajam serta kebengisan yang tak kunjung pudar belakangan ini. Ingin rasanya berteriak didalam kesunyian. Ingin meresapi belaian angin. Hanya itu pintanya.

Sampai akhirnya tiba diRumah bergaya minimalis eropa dengan sentuhan warna broken white dan hijau muda yang sangat elegan membuat rumah ini terlihat begitu maskulin. Tidak terlalu besar untuk ukuran penghuni dikomplek elit dipusat Jakarta. Namun,melihat keasrian rumah ini dilihat dari tanaman yang menghiasi setiap sudut halaman depan rumah,semakin memberikan kesan bahwa yang mempunyai rumah ingin menciptakan kenyamanan bagi siapapun yang datang kerumahnya.

Reina berjalan memasuki pintu gerbang yang begitu tinggi. Melihat rumah ini lagi rasanya seperti berada didunia baru. Tidak banyak yang berbeda dari bentuknya,hanya saja dalamnya yang sudah berbeda sejak lama. Hari ini ia kembali menginjakkan kaki setelah sekian lama tidak kembali. Kalau saja bukan karena permintaan dari kantor yang menginginkan ia ke Jakarta. Mungkin saat ini dia tidak akan berada disini.

Rasanya begitu enggan untuk berada disini. Seraya membawa tas yang sedang dipegangnya Reina berjalan dengan gontai menuju pintu rumah. Saat didepan pintu ia menghela napas panjang. Rasanya seperti akan masuk menaiki Tornado,terasa berat. Begitu pikirnya. Pintu pun terbuka lebar.

Melihat rumah yang besar seperti ini dengan kesunyian agak aneh. Sekali lagi pikiran yang semrawut itu merusak otaknya yang sudah letih dengan beban yang lain. Seraya menggelengkan kepala agar tidak berpikir macam-macam lagi tiba-tiba handphone Reina bordering. Dia membiarkan handphonenya berdering sesuka hati. Didalam rumah tersebut begitu sunyi seperti biasanya. “Rumah tak berhuni. Selalu.” Ejek Reina dalam hati.

“De, kapan balik keBandung?” tiba-tiba terdengar suara dari seorang wanita paruh baya yang duduk bersandar dikursi pijat membuat Reina kikuk sesaat

.

“Gatau Bu, paling 2 hari lagi.” singkat Reina. Seaat kemudian wanita paruh baya yang Reina sebut sebagai Ibu menyuruhnya untuk duduk disampingnya.

“Gini De, Ibu pengen kita liburan bareng sekeluarga sayang. Mumpung kamu lagi dirumah. Oh ya gimana kabar Revi? Baik-baik saja kan kalian?” seraya menatap dan menyentuh halus rambut Reina dengan penuh kasih sayang.

Reina yang sedari tadi begitu enggan untuk melanjutkan percakapan tersebut langsung terhentak kaget ketika Ibu menanyakan kabar Revi. Padahal yang Reina tau dia tidak tau sama sekali dengan keadaan kekasihnya sekarang.Detik ini sekalipun. Miris.

“Kayanya baik. Ayah mana? Aku capek nih. Aku keatas ya.” Jawab Reina sekenanya yang enggan menjawab pertanyaan ibu. Seraya mengecup pipi sang ibu Reina langsung menuju kamar.

Hah,kenapa semua orang nanyain Revi? Tanya kabar gue sih sedikit. Sedikit aja. Kayaknya susah banget.” Gerutu Reina dalam hati. Energi yang ada didalam tubuhnya serasa sudah hampir mau habis. Dengan langkah gontai menuju anak tangga tersebut,tiba-tiba penglihatan Reina buram sedikit demi sedikit. Dan akhirnya lambat laun tubuh yang kini memopongnya meunuju anak tangga itu mulai goyah. Kini badan itu pun jatuh terpelanting dengan tas yang dibawanya. Sang ibu pun langsung menuju kearah Reina yang kini sudah tidak sadarkan diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sweet Tears By The Hazel EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang