3. Setidaknya

25 9 6
                                    

Alya berusaha sebisa mungkin untuk menahan rasa gelisah karena keterlambatannya. Terlebih dengan mimpi yang ia alami semalam persis seperti mimpi dua hari yang lalu. Dan Alya berpikir itu adalah bagian dari mimpi buruknya atau mungkin itu adalah suatu pertanda dari Tuhan? Entahlah, tapi Alya benar-benar takut.

Alya berjalan dengan setengah berlari untuk sampai di halte bus. Biasanya, akan menghabiskan waktu sekitar lima menit untuk berjalan dari rumah sampai ke halte bus. Langkahnya sangat terburu-buru sudah seperti dikejar anjing buldog tetangga. Sehingga dalam waktu kurang dari tiga menit, Alya sudah sampai di halte bus.

Setelah menunggu 10 menit, bus yang akan melaju menuju kampusnya tiba di halte. Alya bergegas naik dan memilih kursi penumpang yang kosong—di sebelah kiri barisan ke-3. Terdapat dua kursi kosong di sana dan ia memilih bagian sisi yang dekat dengan jendela.

Alya melirik pada arloji merah maroon yang ia kenakan. Sekarang jam menunjukkan pukul 6 lebih 45 menit. Sedangkan jadwal kelasnya pukul 7. Perjalanan masih 30 menit dan Alya hanya mempunyai toleransi waktu 15 menit untuk mendapat izin masuk kelas dari dosen.

Berdoa saja, mudah-mudahan tadi malam sang dosen baru memenangkan door prize mobil atau dapat voucher belanja selama sebulan penuh juga, boleh. Apapun itu, yang penting Alya selamat dari perlakuan yang bisa membuatnya sakit hati lahir batin: Diusir secara halus.

Alya mengambil kotak makan dan botol air minum di dalam tas punggungnya. Kemudian melahap nasi goreng buatan Mama. Sebelumnya, ia menghubungkan earphone ke ponselnya yang memutarkan lagu dari Raisa—Kali Kedua. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menikmati setiap bait lagu yang masuk ke telinganya.

Tepat saat itu juga kepingan memori dua tahun silam kembali menjamah pikirannya.

Aku janji. Aku akan kembali membawa semua hal yang membuat kita bahagia.

Alya tersenyum getir ketika perkataan manis itu muncul kembali dalam ingatannya. Aya menggeleng-gelengkan kepala—berusaha menepis ingatan itu sejauh mungkin. Lantas ia lebih memilih untuk merogoh tasnya dan mengambil ponsel—menerima panggilan dari seseorang.

Lo gak kuliah?

“Masih di jalan nih. Gue kesiangan.”

Dosennya belum datang. Jangan sampai telat!” terdengar helaan napas panjang dari orang tersebut, “hati-hati ya?

“Iya.”

Alya menghela napas setelah mendengar nada panggilan terputus. Ia menjauhkan ponsel itu dari telinganya dan kembali melanjutkan sarapan dalam diam.

Sebuah senyum terulas di wajahnya. Pada kenyataannya, ia tidak sendiri. Setidaknya, ia masih memiliki sahabat yang peduli dengannya.

🌸The Swear🌸

“Iya ini gue udah sampe kampus.. iya, iya, ini juga lagi jalan kesana.”

Alya mematikan telepon, lalu kembali berjalan masuk ke gerbang utama. Beberapa kali berpapasan dengan para mahasiswa yang berlalu-lalang—tergesa-gesa untuk dapat hadir di perkuliahan tepat waktu.

Walaupun masih terbilang pagi, namun aktivitas kampus memang akan mulai aktif dimulai dari jam 7, maka tidak heran jika banyak orang-orang berseliweran di sekitaran kampus.

Alya mendesah pelan ketika ia melirik lagi arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit. Alya lantas berlari menuju gedung kuliah B—gedung kuliah khusus FBS (*baca: Fakultas Bahasa & Seni).

Alya menyeka dahinya yang dipenuhi peluh. Kemudian ia membuang napas panjang ketika kakinya telah berpijak pada lantai 2 gedung.

Alya sempat termenung sejenak saat ia sudah berada tepat di depan pintu ruangan nomor 209. Tidak terbayang apa yang akan menimpanya setelah ini. Sakit hati lahir batinnya mungkin akan ia alami sebentar lagi.

The SwearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang