A Wedding Night

2.4K 217 54
                                    

Oke, saatnya timpukin author ini, maafin ya selama tiga bulan ini aku menghilang dari peradaban, things going so hectic, and i was kind a girl who couldn't apply a multifunction in doing something, any thing. Jadi aku fokus ke praktikum, tugas dan laporan dulu. Aku juga mau uts (sedih amat) jadi aku baru bisa bikin sedikit. Maaf ya buat yang nunggu :)

Ini part selanjutnya, tolong tinggalin vote dan komentar, aku lagi pengin komentar banyak :v hahaha

Makasih buat yang stuck di cerita ini, dan yang lagi ujian atau mau ujian, dare to have a great score ya! ;) xoxo *tebarkecup*

==================================

Satu bulan berada di rumah tidak cukup untuk membayar semua tahun yang telah ia lewati di tempat di mana ia menuntut ilmu. Setelah pesta pernikahannya nanti, akan banyak yang harus dilakukan di rumah sakit di mana ia menjadi dokter magang dulu. Itu berarti tahun itu bukan seberapa dilihat berapa lama tahun setelahnya saat ia menjadi seorang dokter di salah satu rumah sakit di Inggris.

Setiap jengkal kehidupannya baru akan dimulai.

   

Waktu tidak hanya berpihak padaku sekarang.

Dulu, aku terlalu percaya akan datangnya waktu ini.

Akan ada sesuatu yang mengatakan tiba pada saatnya.

Dan akhirnya tiba..

Tiba waktu bagiku untuk mencintaimu seutuhnya.

       

Aku suka cahaya api yang terselubung oleh kertas layang, orang biasa memanggilnya lentera.

Itu sebabnya dia memberi tema kali ini dengan Lentera.

Aku bilang padanya, bahwa akan bahaya jika api itu justru akan menghancurkan pesta pernikahan kita, bukan sebaliknya.

Dia menjawab sembari mengusap pipiku, akan lebih bahaya jika kamu tidak bahagia karena cahaya yang paling kamu sukai tidak menerangi pernikahan kita sama sekali.

Aku tidak sepenuhnya setuju dengannya, aku hanya tidak menyanggahnya. Karena sepertinya jika itu benar terjadi, aku akan menangis tiap malam karena menyesal saat pernikahan pertama dan terakhir dalam hidupku ini tidak ada satu pun cahaya lentera yang aku sukai menghiasinya.

Entah bagaimana aku menyukai lentera, terlepas dari cahaya lentera yang aku terbangkan di hari ulang tahunku saat itu.

Lalu, dia berdiri tanpa melepaskan pegangan di lingkar tanganku, sebelum akhirnya ia berkata, aku yakin jika ini bukan hari pernikahanmu, akan banyak laki-laki yang mencoba mendekatimu.

Aku tertawa, apakah terlalu sulit baginya untuk sekadar mengatakan bahwa aku sungguh terlihat cantik malam ini?

“Kamu sungguh terlihat cantik malam ini.”

Dia tidak memiliki keahlian dalam membaca pikiran, tapi waktu pengucapannya sangat tepat.

Senyumanku terdorong keluar membayangkannya, dan berkata padanya, saat keluar nanti, tidak melihat dirimu seorang selebriti atau bukan, dan seandainya ini bukan hari pernikahan kita, aku sangat begitu dan teramat yakin kalau kamu akan dikerubungi banyak wanita.

“Aku sangat tampan?” Ekspresi wajah dan cara bicaranya terlalu sombong untuk di pandang.

 Ia berkata lagi saat melihatku tak berkata selain tersenyum, “Aku begitu mengenalmu, kamu adalah perempuan yang paling jujur yang pernah aku temui.”

Sojourn un Dream {Sequel of: I Thought It Was Dream}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang