tujuh

2 0 0
                                    

Ini sudah hampir satu jam, tapi Ralline tak juga muncul. Andra duduk dibangku penonton seperti biasanya, ia nampak tak tenang. Beberapa kali ia melirik kearah jam tangannya. Apakah ia tak pergi untuk latihan hari ini?

Hari berikutnya Andra kembali ke tempat itu, dan Ralline tak muncul dipanggung untuk latihan. Bahkan posisi pianis kini digantikan oleh seorang pria. Perasaan Andra benar-benar tak tenang. Sejak kejadian di taman waktu itu Ralline tak pernah muncul lagi ditempat Andra biasa menyendiri, ia juga tak ada diaula untuk berlatih opera. "Apakah dia marah dengan sikapku itu? Ahh... seharusnya aku menjelaskan hal ini padanya" ucap Andra pada dirinya sendiri.

Dihari ketiga, Andra merasa kalau ia benar-benar harus menceritakan semuanya pada Ralline. Entah kenapa ia tak bisa untuk diabaikan seperti ini. Tapi lagi-lagi Ralline tak ada dimanapun, terpaksa ia harus menunggu Ralline didepan pintu gerbang. Berharap bisa bertemu dengan Ralline saat ia pulang nanti. Tapi ini sudah hampir jam 8 malam dan dia tak muncul juga. Apa dia sedang sakit sehingga dia tak bisa datang untuk kuliah beberapa hari ini? Andra mengacak rambutnya frustasi.

"Andra" panggil seseorang dari arah belakangnya.

Itu Ralline. Andra bergegas berlari kearah Ralline.

"Apa yang kau lakukan malam-malam disini?" tanya Ralline.

"Aku menunggumu" jawab Andra, dengan perasaan lega karena akhirnya ia bisa bertemu dengan Ralline.

"Ada yang ingin aku jelaskan padamu" tambahnya lagi.

"Tapi mobil jemputan ku sudah datang dan aku harus pulang. Mungkin kau bisa menjelaskannya padaku besok" ucap Ralline yang kemudian berlalu.

Andra menghalangi jalan Ralline "Tapi aku tak bisa kalau harus menunggunya besok, aku akan mati penasaran jika kau mengabaikanku seperti ini" ucap Andra.

"Tapi aku benar-benar harus pulang" tambah Ralline, tapi Andra tetap mencoba menghentikan langkah Ralline.

"Oke.... baiklah jam 2 aku tunggu kau dibelakang. Kalau kau sampai terlambat satu menit saja aku tak akan menemuimu lagi" balas Ralline, kemudian berlalu menuju mobilnya.

Sikapnya benar-benar menunjukkan kalau dia sedang marah, tak bisakah ia sedikit saja menutupi kemarahannya? Andra menatap kepergian Ralline.

ᴥ ᴥ ᴥ

"Aww... ahh... kenapa rambutku selalu saja tersangkut" keluh Ralline.

"Apa kau butuh bantuan?" tanya Andra.

"Hoooh... kau sudah datang? Bisakah kau melepasakan rambutku dari kawat ini?" pinta Ralline.

Ini sudah yang ketiga kalinya, bahkan ia masih saja tersangkut.

"Baiklah... nah apa yang ingin kau jelaskan, katakanlah" kata Ralline setelah rambutnya terbebas dari jeratan itu.

"Kenapa kau menghindariku?" tanya Andra.

"Aku tak pernah menghindarimu, hanya itu saja yang ingin kau katakan?" tanya Ralline, bahkan sampai hari ini sikap ketusnya masih terlihat jelas.

"Duduklah" Andra mengarahkan Ralline untuk duduk disampingnya.

"Kau pasti marah karena sikap kasarku padamu, makanya kau menghindariku beberapa hari ini" Andra menatap Ralline "Maafkan aku, tapi aku sungguh tak bermaksud bersikap seperti itu" jelasnya.

"Sikapmu itu sungguh membuatku merasa takut" sahut Ralline.

"Aku tahu, karena itu aku ingin menjelaskannya padamu"

Andra kemudian membuka kedua sarung tangannya. Dan kali ini ia juga tak memakai jaket tebal lagi, bahkan ia hanya memakai sebuah kaos berlengan pendek.

"Sikap kasar ku yang spontan itu karena ini" Andra menunjuk pada kedua telapak tangannya yang berkeringat.

Ralline mengernyit tak mengerti dengan maksud Andra.

"Aku memiliki sebuah kelainan, ini dibawa sejak aku lahir. Aku tak bisa bersentuhan dengan seseorang secara langsung. Terlebih jika itu adalah orang baru, ada zat dalam tubuhku yang menolak untuk beradaptasi dengan kulit seseorang. Gesekan itu akan membuatku merasa seperti ada aliran listrik yang menjalar ditubuhku, jadi itulah kenapa aku sering bersikap berlebihan saat kau mencoba melakukan kontak fisik denganku. Bukan maksudku bersikap kasar padamu, tapi ini lebih pada keterkejutanku " jelas Andra.

Ralline mendengus kesal "Heehh... apa kau sedang mencoba membuat sebuah cerita sedih sekarang? Kau pikir aku akan percaya padamu?" ujar Ralline.

"Aku tahu kau benar-benar marah pada ku, tapi tak bisakah kau percaya dengan kata-kataku seperti biasa? Sedikit aneh memang, tapi inilah yang terjadi" ucap Andra.

"Aku mungkin percaya dengan suara dentingan itu karena aku mendengarnya sendiri, tapi... sebuah aliran listrik? Bagaimana bisa, apakah kau seseorang yang terkontaminasi dengan radio aktif atau apapun" Ralline masih tak percaya dengan penjelasan Andra.

Andra beranggapan kalau Ralline tak akan percaya sebelum ia membuktikannya secara langsung. Walaupun Andra tahu kalau ini terlalu beresiko tapi ia benar-benar tak bisa diabaikan seperti ini, tiba-tiba saja Andra mengenggam kedua tangan Ralline, semakin lama semakin kuat.

"Andra apa yang kau lakukan?" kata Ralline terkejut.

Namun Andra tak menjawab, ia justru sedang meringis seperti menahan sebuah rasa sakit. Dalam genggaman tangannya yang menguat, tiba-tiba saja Andra ambruk tepat dipelukan Ralline.

"Andra... Andra..."

Andra pingsan. Ralline menidurkan Andra dipangkuannya. Wajahnya memucat seketika, tubuhnya terasa begitu dingin. Apakah Andra benar tentang kelainan itu? Ralline merasa begitu menyesal tak seharusnya ia bersikap seperti ini.

"Ohh... bagaimana ini?" Ralline menepuk-nepuk pipi Andra.

ᴥ ᴥ ᴥ

Bau yang sama, suara decitan yang sama. Andra mengerjab-ngerjabkan matanya. Ia menghembuskan nafas perlahan.

"Ahh... aku benci bau seperti ini" ucapnya lirih.

"Hoooohh... kau sudah sadar?" Ralline mendekat, wajahnya nampak begitu lega.

"Kenapa aku bisa sampai disini?" tanya Andra, sambil mencoba untuk duduk.

"Kau pingsan gara-gara menyentuhku" ucap Ralline sambil menunduk.

"Ahh... benar. Sudah berapa lama aku disini?"

"2 hari"

Andra membelalak "Selama itu?"

Ralline mengangguk.

"Maafkan aku, tak seharusnya aku meragukan perkataanmu" ucap Ralline menyesal.

"Jika aku tak melakukan itu, kau tak akan percaya" sahut Andra.

"Tapi kenapa kau harus membahayakan dirimu seperti ini"

"Karena aku tak bisa kau abaikan seperti ini terus, kumohon jangan menjauh lagi. Jangan menghindariku, jangan pergi seperti orang lain, dan tetaplah percaya padaku seperti yang selalu kau lakukan" pinta Andra.

Ralline hanya termangu mendengar permintaan Andra. Ia merasa benar-benar kikuk dengan keadaan ini.

Dalam situasi seperti ini, Andra benar-benar ingin mengenggam tangan Ralline. Ia tak pernah merasa begitu membutuhkan seseorang diluar kedua orang tuanya. Mungkinkah ini yang disebut dengan sebuah ketertarikan?

Andra benar-benar benci berada dirumah sakit. Ia bersikeras untuk pulang hari ini juga.

"Ibu.. aku baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat sedikit lebih banyak dan aku bisa melakukannya dirumah. Ku mohon, aku ingin pulang" rengek Andra pada nyonya Marta.

Melihat tingkah anaknya yang seperti ini, membuat nyonya Marta merasa kesal sekaligus kasihan. Ia tahu betul kalau Andra tak pernah menyukai suasana rumah sakit.

"Ahh... dasar anak nakal. Baiklah ibu akan menemui dokter sekarang juga" ucap nyonya Marta yang kemudian berlalu meninggalkan kamar Andra. Ralline sedikit syok dengan tingkah Andra yang ternyata begitu kekanakan dan manja pada ibunya.

ᴥ ᴥ ᴥ

HEART BEATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang