15; Pengakuan

2.5K 134 28
                                    

°°°

"Div! Lo harus tau suatu hal!" seru Tara di dekat jendela kamarnya tanpa menutup gorden jendelanya terlebih dahulu.

"Apa-apa?" suara Diva terdengar dari ponsel Tara, tidak kalah heboh dengan Tara.

Setelah melihat kamar seberang di rumah sebelah, Tara menjawab pertanyaan Diva, "Tau, gak? Tadi kan gue pulang bareng sama Dikta, terus dia tiba-tiba jadi aneh."

"Emang dia kenapa?"

"Jadi kayak---gugup gitu, beberapa kali juga gue ngeliat dia senyum-senyum sendiri. Makin gila, kali, ya?"

"Serius, Tar?!" tanya Diva heboh. "Coba lo ceritain, dia ngapain aja pas di jalan?"

"Bawain tas gue, terus sempet ngajak makan dulu, sih." jawab Tara sambil mengingat ekspresi Dikta, "Pokok---"

"Jadi tadi lo makan bareng sama dia? Gila-gila-gila-gila! Demi apa siiiih?!" Diva berteriak heboh. Ya gimana nggak heboh, pasalnya Dikta dan Tara nggak pernah seakrab ini, biasanya kan musuhan.

"I-iya.."

"Jangan-jangan dia punya perasaan khusus ke lo, kali." celetuk Diva yang membuat Tara kaget setengah mati.

Nggak mungkin! Dikta cuma mau temanan aja kok sama Tara. Tara mau berpikir positif. Lagipula, nggak ada salahnya kan kalau Dikta mau bersikap baik dengan cara mengajak Tara makan? Mungkin Dikta sudah lapar banget dan gak enak kalau nggak ngajak Tara.

"Ya, nggaklah! Dia cuma mau make a friends aja, Div."

Diva tertawa geli, "Abisan, beda banget. Lo belom cerita, kenapa sejak hari senin kemarin, lo malah jauh sama Fathra dan deket sama Dikta? Gue nggak habis pikir."

Aduh, Tara harus jawab apa? Nanti Diva malah mikir macam-macam, lagi!

"..."

"Tar? Jangan-jangan ada perbuatan sesuatu dari Dikta yang bikin lo baper, terus bikin lo deket sama Dikta?"

Disini Tara hanya meringis mendengar tanggapan Diva. Kalau diingat-ingat, sabtu itu Dikta sweet banget. Disini Tara juga 'agak' bap-- eh, nggak!

"Tuhkan diem aj---"

Tara menyela, "Idih! Nggaklah! Jadi, waktu malem minggu kemaren gue jalan sama Fathra---"

"HAH?!" teriak Diva kaget. Tara reflek menjatuhkan ponselnya ke atas karpet karena ikutan terkejut mendengar teriakan Diva. Untung saja karpet Tara tebal dan empuk, jadinya ponsel Tara akan baik-baik saja.

Tara berdecak, sesuai dengan dugaannya bahwa Diva akan heboh. Baru cerita sedikit saja sudah heboh, bagaimana Tara akan bercerita semuanya? Mungkin bumi ini akan gempa.

Tara mengambil kembali ponselnya, kemudian berdesis, "Dengerin dulu, Diva."

"Oke,"

Tara menghirup udara dan menghembuskannya pelan-pelan. Kemudian ia memulai menceritakan kejadian sewaktu di pasar malam. Lengkap dan detail, mulai dari Tara makan gulali bersama Fathra sampai Dikta mengantar Tara pulang. Mendengar itu, Diva semakin gencar untuk meledek Tara.

"Gue mau kasih tanggapan atas kisah lo, Tar," Diva terkikik, "Lo diem dulu ya, jangan banyak cincong. Kayaknya si Dikta suka sama lo, deh, Tar. Ga tau sih, tapi menurut para ilmuwan juga gitu. Soalnya dari dulu dia suka banget gangguin lo, kan? Nyontek apalagi. Ya kalo nyontek sih, emang anak-anak pada demen nyontek sama lo karena kepinteran lo. Tapi untuk yang ini, sikap dia udah beda banget! Fix banget dia suka sama lo, Tar!"

Tara mendengus, "Ga guna curhat sama lo, Div. Bye."

Kemudian telepon diputuskan sepihak oleh Tara. Bantu Diva tendang Tara ke Ujung Kulon, yuk?

***

"MAMPUS BRI!" jerit Dikta tidak tertahan. Kedua telapak tangan Dikta menepuk kedua pipi Brian dengan keras, "Tara cerita ke Diva, asuw! Gue harus apa?!"

"Lo kok bisa berasumsi begitu, sih?" tanya Brian bingung. Lagian suara Tara kedengaran juga tidak, kenapa bisa-bisanya Dikta tahu.

"Ah! Gue udah pro," Dikta membanggakan dirinya sendiri, namun berubah menjadi panik lagi, "Ya Allah, Bri! Gimana dong?!"

Ya seperti biasa, Dikta menggunakan teropong kesayangannya untuk melihat Tara di seberang kamarnya. Dan Dikta tahu dari gerak bibir Tara kalau cewek itu sedang membicarakannya, termasuk kejadian di pasar malam waktu itu.

"Ga gimana-gimana,"

"Ah elah! Gue jadi ga bisa nahan malu di depan Diva, bego." Dikta terus mendumel nggak jelas karena saking paniknya.

Brian tertawa, "Ya lo mikirin aja dulu gimana caranya supaya bisa deket sama Tara, masalah Diva mah belakangan. Gue juga yakin Diva nggak bakal cerita ke siapa-siapa, apalagi menyangkut sahabatnya."

Dikta mengusap wajahnya dengan kasar. Semoga apa yang Brian bilang benar. Untungnya Tara masih berpikir positif bahwa Dikta tidak menyukainya, kalau tidak? Duh, bisa habis riwayat Dikta.

"Eh, Ta. Ghazy bisa juga ya pulang bareng sama Maisya, padahal si Maisya udah nolak Ghazy waktu itu," Brian berucap saat mengingat sahabatnya yang satu itu sedang mengantar Maisya pulang sekolah tadi.

Dikta dengan nyebelinnya, "Bodo amat, anjir. Ga peduli gua, masih ga tenang nih gua!"

***

Bunyi lonceng di atas pintu masuk kedai es krim Diegushi berbunyi ketika pintu tersebut ditarik oleh Fathra. Senyum cowok itu mengembang ketika melihat Dira yang sedang menunggunya di salah satu meja. Dengan cepat Fathra melangkah menuju meja tersebut.

"Hai, Koala!" sapa Fathra semangat. Kemudian ia menarik kursi dan duduk di hadapan Dira.

"Um, hai!" sapa Dira balik, "Lo ga mau pesen es krim dulu?"

"Eh iy---"

Tiba-tiba ada seorang cowok berseragam sekolah yang sama seperti Fathra datang sambil membawa kertas menu, "Ini menu-menunya,"

Fathra mengerutkan keningnya ketika melihat cowok itu, "Lo anak CK?"

Cowok itu tertawa, "Iya, gue Diego. Lo anak baru ya, bang? Tapi langsung terkenal, ker--"

Bang?

Tiba-tiba ada seorang cewek membekap mulut Diego dari belakang, lalu menyengir sambil meminta maaf kepada Fathra dan Dira, "Maafin sahabat saya ya kak, Diego emang gitu."

"Nama aku Ashira. Kalo mau pesen panggil aja, nanti aku dateng." Ashira membawa Diego ke dapur kedai.

Setelah dua makhluk itu hilang, Fathra dan Dira tertawa keras. Tidak peduli kalau-kalau Diego akan sakit hati mendengar tawa mereka.

Tawa Dira mereda, "Lo ngajak gue ke sini mau ngomong apa?"

"Hm," Fathra berdehem, "Gue cuma mau ketemu lo aja."

"Ga lucu, Fathra. Adek gue suka sama lo!" bentak Dira. Sebenarnya Dira tidak pernah membentak Fathra seperti ini dan kalau di suruh pun ia tidak mau. Tapi untuk ini, ia harus membuat Fathra tidak menyukainya lagi walaupun hatinya sakit.

Fathra menghela napas, "Kalo gue sukanya sama lo, gimana? Kalo gue ga mau sama Tara, gimana? Dir, gue cinta sama lo! Apa lo ga ngerti? Emang lo pikir dengan adek lo suka sama gue, gue bakal bahagia? Dengan gue pacaran sama adek lo, gue bisa bahagia? Nggak. Adek lo juga nggak bakal bahagia kalo gue ga pernah punya perasaan apapun sama dia."

Mata Dira memanas. Tangannya terkepal, napasnya memburu. Dira nyaris menangis.

"Gue ga ngerti kenapa bisa secinta ini sama lo. Walau ada seribu cewek yang sempurna, gue tetep milih lo. Karena lo lebih dari sempurna di mata gue." lanjut Fathra seraya menatap kedua bola mata Dira.

Detik itu juga, air mata Dira pun jatuh.

Mereka tidak tahu bahwa sedaritadi ada Ghazy dan Maisya yang menguping. Jelas dan tidak terlewat sedikit pun.

***
tbc!

aaah kasian fathra:(

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 01, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DiktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang