A | Alyasyifa

21 2 0
                                    

Akhirnya tahun pelajaran baru dimulai. Sekolah baru, lingkungan baru, teman baru, dan tentu, buku baru!

Aku berjalan melewati koridor, sambil sesekali menundukkan kepala saat berpapasan dengan orang.

Tiba di kelas, seluruh meja telah terisi. Oh, ternyata nggak. Ada satu meja kosong berada tepat dihadapan meja guru--pojok kanan depan. Tapi gak bisa ku bilang kosong juga, karena salah satu kursi diisi seorang cowok.

Demi Allah, haruskah tahun ini aku duduk sebangku dengan cowok?

Ruang kelas yang tadinya cukup ramai mendadak sepi, lalu aku sadar kalau wali kelas kami datang. Gak ada pilihan lain, ku tepuk cepat pundak cowok itu.

"Permisi,"

Alisnya bertaut, "Hah?"

"Permisi," ucapku sedikit lebih keras dari sebelumnya. Bibir cowok itu seketika membentuk huruf 'o', lalu kakinya diangkat naik ke atas kursi sambil didekap.

Melalui jarak diantara meja dan kursi, aku masuk dan duduk di kursi dekat tembok--satu-satunya kursi yang tersisa.

Seperti hari pertama sekolah baru yang sudah-sudah, ada perkenalan singkat. Wali kelas kami memanggil nama berdasar presensi, lalu yang dipanggil namanya berdiri dari tempatnya duduk dan mengenalkan diri.

"Alyasyifa Zakkarya," panggil Pak Wira, wali kelas kami, setelah memanggil nama dua murid lain sebelumnya.

Otomatis aku berdiri, dan semua pandangan tertuju padaku. "Alyasyifa Zakkarya. Panggil aja Yasyi."

"Kamu keturunan arab ya?" tanya Pak Wira dengan ekspresi konyolnya. "Heh, kalian punya teman orang arab lho! Belajar bahasa arab tuh ke--Siapa namanya tadi?--Alyasyifa. Nah, belajar bahasa arab tuh ke si Alya. Lumayan kan, les bahasa arab gratis."

Teman-teman sekelasku tertawa. Sungguh? Memangnya itu lucu? Aku gak habis pikir, mereka bisa tertawa semudah itu.

"Ya, silakan duduk kembali, Alya."

"Yasyi, pak," koreksiku.

"Lah kan nama kamu Alyasyifa. Emangnya kenapa kalau saya mau memanggil kamu Alya? Terserah saya dong," Pak Wira menatapku sinis, namun siapapun tau kalau itu hanya candaan.

"Iya deh pak, iya." aku menyerah, lalu duduk.

Usai perkenalan 36 siswa dikelas, kami dipersilakan pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku paket semester pertama. Akhirnya, buku!

Aku pun bangkit dari kursi, namun kaki Aslan menghalangi jalanku. "Lan, permisi dong, kaki kamu."

"Kaki gue kenapa?"

"Ngehalangi jalan aku, aku mau ke perpustakaan. Kamu gak mau ke sana?"

Aslan menopang dagunya dengan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya, tampak berpikir. Apa sih yang harus dipikirkan? Bukankah kita perlu ke perpustakaan?

"Bagi dua sama lo, ya? Gue capek bawa buku banyak-banyak."

"Hah? Maksudnya?"

Tangan Aslan menepuk dahinya pelan, "Misal kita harus pinjam buku yang totalnya 14. Nah, kita bagi dua. Lo 7, gue 7." Baru saja aku mau bicara, Aslan kembali melanjutkan. "Kalau lo nggak mau, loncatin aja nih, kaki gue." dia menepuk kakinya.

Masalahnya, kalau aku butuh buku yang ada di Aslan, aku harus pinjam padanya atau kembali lagi ke perpustakaan. Pilihan kedua gak apa-apa, namun dua kali jalan--gak efektif.

Tunggu, aku melupakan sesuatu--lebih tepatnya seseorang. Ilyas!

"Oke, sepakat. Sekarang berdiri, sebelum kita gak kebagian buku." dengan itu Aslan bangkit dan memimpin jalan kami. "Emangnya kamu tau, perpustakaan dimana?"

"Tau lah, kan waktu MPLS ditunjukin. Lo gak ikut MPLS emangnya?" tanya Aslan diakhiri tawa meremehkan.

Aku menggeleng, "Nggak."

"Hah? Serius? Kok bisa? Nyogok lu?"

Mataku otomatis membulat, "Astaghfirullah! Nggaklah!" Aslan mengangkat kedua alisnya penuh tanya, "Aku kecelakaan."

"Demi apa? Kecelakaannya parah, gak? Terus lo amnesia, gak? Terus lo gak inget apa-apa? Coba gue liat kepala lo." tangan Aslan bergerak meraih kepalaku, namun dengan cepat aku mundur dan memberi isyarat dengan kedua tanganku.

Aku menggeleng cepat, "Bu-kan muh-rim!"

"Mau gue jadiin muhrim nih, ceritanya? Siap kok gue, siap."

Aku mendengus kasar, "Dasar, otak dewasa sebelum waktunya. Kebanyakan nonton film gak berfaedah, ya?"

Aslan menyengir, "Namanya juga cowok," aku bergidik ngeri mendengarnya. "Elah, tenang aja kali, gue gak bakal ngapa-ngapain lo."

"Awas aja kalau kamu berani macam-macam!" mataku menatapnya tajam. "Aku bilangin ke abang-abang aku!"

"Abang-abang? Lo punya berapa abang, anjir?" Aslan tertawa geli, lalu dengan cepat ia menutup mulutnya--sadar ia sudah sampai di perpustakaan.

"Empat. Udah ah! Berisik kamu, ntar kita di usir." aku ikut merendahkan volume suaraku.

Kami pun menyebar dan mencari buku yang kami butuhkan. Total buku yang harus kami pinjam ternyata 13 buah. Ganjil, oke, ini bisa jadi masalah.

"Kamu atau aku?" tanyaku saat kami menuliskan kode buku untuk dicatat di buku perpustakaan.

"Lo aja, lagian gue gak suka baca."

Tentu dengan senang hati aku menerimanya. Setelah selesai mencatat, kami langsung kembali ke kelas. Aslan dengan baiknya membawakan buku yang bervolume tebal.

"Eh, sebentar, Lan." ujarku yang baru teringat suatu hal. "Ada buku bacaan yang lain, gak, bu? Novel, maksud saya." tanyaku pada penjaga perpustakaan hari itu, yang kebetulan perempuan.

"Ada, dibagian kiri, agak ke pojok belakang. Hanya boleh dipinjam hari jum'at." katanya, seolah tahu kalau aku mau memijam koleksi novel milik perpustakaan.

"Oh, gitu. Oke deh, makasih, bu. Assalamualaikum." Salamku kemudian di jawab, lalu kami berjalan kembali menuju kelas dengan tumpukan buku dipelukan.

Bunyi keras bantingan buku, membuat beberapa pasang mata yang tersisa di kelas melirik Aslan sinis. "Apa liat-liat? Gak pernah liat orang ganteng?"

Aku memutar malas bola mataku sementara Aslan sibuk mengoceh, "Makasih, singa Narnia." ucapku sambil tersenyum tulus, tentunya setelah Aslan puas mengoceh. Aslan hanya membalas dengan acungan jempol, lalu pergi dari kelas. "Mau kemana?" tanyaku sedikit berteriak begitu dia sampai diambang pintu.

"Kantin lah. Masa perpustakaan?" setelah itu, raga Aslan benar-benar raib dari pandanganku.

Aku memilih duduk di kursiku, lalu memijat pelipisku pelan. Ini baru hari pertama, dan aku harus bertahan dengan sifat, sikap dan tingkah Aslan--yang sama sekali belum banyak aku ketahui.

YaAllah... kuatkanlah Yasyi.











t r a i  l e r

beyond booksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang