A | Awalan

27 2 0
                                    

Ayunan tangan Aslan yang terkepal melayang dan tepat mengenai pipi lawannya. Aku sudah cukup kaget mendengar nama 'Aslan' yang dikabarkan berkelahi dengan kakak kelas, ini belum sampai satu minggu.

Sekarang kekagetanku bertambah, mataku otomatis membulat mengetahui siapa lawan Aslan.

"Aslan!" aku memberanikan diri menghampiri Aslan dan kakakku, Usman. Tangan Aslan hampir saja mengenai wajahku, kalau saja dia gak menahannya.

"Yas, minggir." pinta Aslan, namun terdengar penekanan disana. Aku membuka mataku takut-takut, lalu tampaklah Aslan dengan rahang yang mengeras dan tangan mengepalnya disamping tubuhnya.

Aku menoleh ke arah Usman. Dia terlihat tenang, namun aku tau kalau dia sedang berusaha mengontrol emosinya.

Aku mengusap pelan memar di pipi Usman, lalu pandanganku terfokus pada setitik darah diujung bibirnya. Tanpa kembali melihat Aslan, aku menggandeng tangan Usman pergi dari area kantin.

Diperjalanan singkat menuju ruang kesehatan, Usman gak bicara apapun. Begitu juga saat kami sudah berada di ruang kesehatan. Dia duduk manis, sementara aku mengobatinya sebisaku.

"Bang Usman ada masalah apa sama Aslan?" tanyaku yang gak juga dijawabnya, sampai akhirnya tiga orang cowok masuk ke ruang kesehatan.

YaAllah... Kenapa abang-abangku tampak seperti boy group versi arab? Eh, salah, versi pakistan.

"Usman, kamu gakpapa? Gak usah emosi ya, gak usah dibalas."

"Ada yang luka, Man? Astaghfirullah! Ini siapa yang bikin adek gue jadi kayak gini ini?!"

"Bang Usman? Masih ingat kita semua, kan, bang?"

Aku hanya bisa diam dan menyimak respon dari ketiga abangku yang lain.

Yang kalem dan dewasa, itu Omar. Yang paling tua diantara kami. Calon mantan ketua OSIS sekolah kami ini.

Yang panik dan peduli overdosis, juga overprotektif, itu Emir. Kepeduliannya yang overdosis itu, kadang membuat beberapa (banyak) cewek salah paham. Tertua kedua setelah Omar.

Yang polos-polos mengesalkan, itu Ilyas. Kembaranku satu-satunya, lahir 10 menit lebih dulu dariku.

Sementara Usman, dia adalah cowok yang sangat menaati peraturan dan prinsip. Dia cuma tersenyum sebisanya sambil mengacungkan jempol.

"Resiko jadi OSIS emang gitu, sabar aja. Semua pasti membuahkan hasil yang sepadan." Omar menepuk pelan bahu Usman.

"Usman udah diobatin belum? Kalau belum, diobati dulu. Terus langsung masuk kelas, ini udah mau bel masuk, kan? Eh, Usman bisa ikut pelajaran, gak? Yang sakit cuma wajahnya aja, kan?" Emir menyerang Usman dengan banyak pertanyaan sekaligus. Aku saja pusing, bagaimana dengan Usman?

"Udah kok, bang. Tadi Yasyi yang ngobatin," Usman tersenyum tulus sebagai tanda terimakasih.

Mereka bertiga hanya menatapku beberapa detik, lalu kembali pada Usman. Aku gak mengharapkan pujian atau ucapan terimakasih. Namun bisakah senggaknya mereka menunjukkan kalau aku telah melakukan tindakan yang benar?

Tabahkanlah hati Yasyi, YaAllah.

Omar berdeham kecil, "Ya udah, kita balik ke kelas sekarang, yuk? Beneran gak apa-apa kan, Man?"

Usman mengangguk singkat, lalu bangkit dari tempatnya duduk, menepuk punggung Omar dan Emir yang berdiri berdampingan seraya tersenyum pada Ilyas, "Yuk," ajaknya sambil melangkah keluar.

Diikuti Emir dan Ilyas, baru kemudian Omar. Baru ingin melangkahkan kaki, Omar yang hanya berjarak beberapa langkah dariku berhenti, "Tadi Usman cerita kenapa sampai ada kejadian baku hantam itu?" dia menoleh padaku, menatapku tepat dimata.

beyond booksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang