Part 3

20 5 0
                                    

Hari ini terasa berat bagi Caca, bagaimana bisa ia meninggalkan tugas kelompoknya di rumah. Padahal ia sudah bersusah payah untuk menyelesaikan tugas tersebut, tepat di hari tugas itu dikumpul ia malah meninggalkannya.

"Tersial!!!!!!!" pekiknya dari dalam kamar. Ia menahan tetesan air matanya jatuh, sebab malu sempat ditegur oleh guru yang bersangkutan.

Karena kelalaiannya, gadis itu harus menerima teguran dari guru serta kata-kata yang sarkas dari teman sekelompoknya. Gondok, satu kata yang bisa mendeskripsikan keadaannya yang sekarang. Ia tak bisa lagi menahan air matanya, ia mengalirkannya begitu saja. Ia memikirkan bagaimana urusan selama di sekolah karena ia baru saja membuat masalah.

Caca : Ga, temenin gue nonton dong!

Satu pesan ia kirimkan ke ponsel Dirga, ia berharap pemuda tersebut mampu mnghilangkan perasaan bersalah yang melanda dirinya kini.

Dirga : Lo kenapa dah?

Caca : Buruan aja deh lo jemput kesini, gue badmood nih!

Dirga : lo gak inget apa gue hari ini bimbel?

Caca : oh iya, yaudah

Caca membuang napas kasar. Ingin berkata kasar, tapi ia tahan karena ia harus memahami posisi Dirga. Akhirnya ia menjatuhkan air matanya tanpa henti. Dia terus saja menangis dengan suara yang besar.

Brug

Kepalanya baru saja terkena lemparan benda yang empuk. Seperti bantal, boneka atau semacamnya.

"Siapa lo? Setan kamar ya?!" ucapnya pada seseorang yang telah melemparkan benda empuk ke kepala belakangnya.

"Punya adek kok bego amat," Dava mendecak ke arah adiknya. Dia yang baru saja melempar bantal ke arah adiknya.

"Oooh, jadi lo ya tersangkanya?!" bentaknya.

"Gak usah buat gue kaya teroris gitu deh, dasar aneh!" sarkasnya.

Dava dari arah pintu kamar gadis itu melenggang mendekati adiknya, kemudian ia menyumpal mulut Caca dengan wafer.

"Dava!! Enak banget, lagi!"

Dava yang memegangi satu bungkus wafer tersebut menjauhkannya dari jangkauan Caca. Gadis pendek itu mencoba meraih wafer yang ada digenggaman Dava. Padahal ia tahu kalau itu usaha yang percuma dengan tinggi Dava yang jauh di atasnya. Pemuda itu tertawa karena merasa menang dari gadis tersebut.

"Jadi orang jangan pendek makanya, anak SD aja lebih tinggi dari lo!" hinanya.

"Lo urus aja skripsi lo, gak usah urusin tinggi badan gue! Gini-gini gue imut tau." titahnya.

"Lo jangan bawa-bawa skripsi dong, nyelekit banget lo emang kalo ngomong."

Dava memegang dadanya yang terasa sakit itu karena mendengar ucapan sang adik. Lantas ia melonggarkan pegangan pada wafer yang daritadi ia pertahankan, alhasil gadis itu dengan mudah merampasnya. Lalu ia mengusir abangnya yang ajaib tersebut dari kamarnya.

Setelah abangnya keluar, ia langsung konsentrasi dengan wafer coklat yang berhasil ia rampok. Ia mengerti kalau abangnya itu sengaja menjahilinya hanya untuk menghibur. Walaupun abangnya sedikit aneh, tetapi beragam cara ajaib yang diciptakan abangnya tersebutlah yang mampu membuatnya mengerti kalau abangnya itu menyayanginya.

"Ada gunanya juga lo jadi abang gue, Dav." gumamnya pelan, karena ia tahu di luar abangnya masih mendengarkan ocehan receh dari dirinya.

🐾🐾🐾🐾🐾

"Cipa!!!!" teriaknya.

Seseorang menjauhkan ponsel dari telinganya. Gadis ini ketus, tapi ia tak bisa marah dengan sahabatnya tersebut. Entahlah, namun Caca emang gadis ajaib yang bisa membuat orang-orang di dekatnya baik padanya.

"Lo gak sadar ini udah jam berapa?" jawab seseorang dari balik ponselnya.

"Iiii Syifa! Gue kan mau curhat, lo harus dengerin ya!" serunya.

"Iya buruan, gue udah ngantuk banget nih." jawab gadis itu.

"Masa ya, gue kan tadi di jemput sama Dava dan gak biasanya lewat jalan depan. Gue sih gak mentingin ya biasanya Dava mau lewat mana, tapiiiiiii gue liat cogan kemarin masa! Ih gue tuh berasa jodoh banget deh sama dia!" ceritanya menggebu-gebu.

"Caca, demi apa lo itu sinting. Bisa jadi aja kan emang dia lewat sana juga!" sarkasnya.

"Nah kan! Lo tuh dengerin dulu deh makanya. Jadi, dia itu nongkrong di kantin jalan depan sekolah! So, kapan-kapan kita jajan disitu ya, Syif. Terus, gue tadi siang itu kena marah gitu sama buk Desi. Lo tau kan buk Desi itu garang banget, gue sampai gak berdaya dibuatnya.

"Satu lagi, pulang sekolah gue bete dong ya. Eh malah si curut Dirga gak mau nemenin gue nonton, bukannya gak mau sih, dia itu hari ini bimbel. Tapi tetep aja kan dia itu gak mau, apa kek dia cabut aja gitu bimbel." cercahnya.

"Caca, nih dengerin gue ya. Pertama, kali aja emang itu cowok suka nongkrong di situ. Kedua, salah lo kan buk Desi sampe marah, gak mungkin lagi buk Desi marah tanpa alasan gitu. Emangnya gue anak kecil yang gak bisa tela'ah cerita lo.

"Ketiga nih ya, lo kenapa sih egois banget ke Dirga? Lo tau gak, sifat egois lo itu bisa buat dia capek bertahan sama lo. Bukannya gue mau menggurui lo yah, tapi emang cowok mana sih yang tahan digituin. Jadi, lo itu harus lebih paham sama dia. Sejak lo ketemu sama cowok itu, cerita lo dia mulu sampe-sampe di mata lo itu Dirga gak ada."

"Iyadeh, tapi–"

"Udah, gak usah pake tapi-tapian. Intinya, lo jelasin dulu status lo sama Dirga, baru boleh ngomongin orang lain."

Telepon langsung tertutup setelah Syifa mengatakan rangkaian kalimat tersebut. Membuat gadis ini meratapi ponselnya yang dimatikan secara sepihak. Caca yang mengenaskan, cuma Syifa yang berani mematikan telepon secara sepihak.

Benar, dalam hubungan tak melulu soal diri sendiri. Karena di dalam hubungan adalah tentang dua orang, bukan salah satunya.

Lantas gadis itu mematikan lampu kamarnya, karena waktu sudah sangat larut. Dia tak mau bangun kesiangan untuk besok, karena bakal ada ulangan di jam pertama.

CR
September, 24 September 2017

UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang