"Yang itu terlihat menarik, bisa saya lihat dulu, Kek?" Aku menunjuk buku itu.
Sang kakek hanya diam membisu, aku menegurnya sekali lagi. Dia tersentak, lalu tersenyum dan mengambilkannya, "Ini," dia menyodorkan buku itu padaku.
"Kunci kombinasi?" Yuuki turut melihat buku di tanganku ini.
"Ini angkanya berapa Kek?" Aku menatap si kakek dengan raut heran.
Tapi dia hanya menggeleng, "Saya tidak tahu, seperempat buku di toko ini hasil sumbangan tuan."
Aku mengerinyit, orang macam apa yang menyumbangkan buku dengan kunci kombinasi tanpa memberitahu kuncinya. Apa maksudnya ini.
"Sayang sekali, padahal ini terlihat begitu menarik."
Kakek itu hanya diam seolah membeku kemudian air wajahnya terlihat sumringah seketika, "Kalau tuan memang meminati buku ini, mungkin saya bisa bantu."
Aku terperangah, "Yang benar Kek?"
Kakek itu mengangguk, kemudian dia tampak menggeledah laci bawah mejanya.
"Ini! Pria yang menyumbangkan buku itu memberikan ini!" Sang kakek menyerahkan amplop krem disegel lilin merah maroon, sentuhan yang cukup kuno.
"Pria yang menyumbangkan buku ini memang sengaja menguncinya dan sepertinya menaruh angka kombinasinya di dalam kertas amplop itu. Waktu dia menyumbangkannya dia bilang, siapapun yang tertarik pada buku itu jangan beritahu dulu tentang kuncinya sampai terlihat dia benar-benar ingin buku ini. Ya, kurang lebih begitu. Ingatan kakek sudah kurang baik jadi kalau ada kata yang kurang dari yang dia katakan. Maafkan."
Aku mengangguk, orang itu bermaksud apa menyumbangkan buku dengan persyaratan begitu. Sebetulnya dia ikhlas tidak?
Kok jadi si kakek yang terkesan kerepotan karena permintaannya.Aku menghela nafas, "Baiklah Kek, jadi berapa buku ini?"
"Terserah tuan saja." Si kakek tersenyum. Toko ini memang tidak terpaut harga tetap, seikhlasnya saja.
Aku mengeluarkan uang tiga puluh lima ribu rupiah lalu menyerahkannya pada kakek, sang kakek berterima kasih dan kami berpamitan pulang.
***
"Jadi kapan kau akan membuka segel amplopnya?" Yuuki yang sedari tadi diam akhirnya membuka mulut lagi saat di dalam mobil.
"Entahlah." Aku menatap lurus ke depan, berusaha lebih fokus saat menyetir.
Selanjutnya hanya diisi oleh keheningan, Yuuki rupanya sedang sibuk mendengarkan musik sambil membaca buku pilihannya tadi, dia memang bisa multitasking begitu. Dan aku tahu dia sedang melakukan apa karena aku melihatnya saat lampu merah tadi.
Sesampainya di rumah Yuuki, aku berpamitan pada orangtuanya lalu pulang.
***
Kurebahkan badanku diatas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Aku menghela nafas panjang, lelah tentu saja. Tiba-tiba teringat amplop bersegel itu, sontak aku pun melompat dari kasur dan merogoh ranselku. Mencari amplop sekaligus buku itu.
Begitu aku mendapatkannya ku jajarkan kedua benda itu di depan ku. "Menarik," aku mengambil amplop bersegerl itu lalu mengambil pisau cutter pada laci meja di tumpukan kotak berisi peralatan untuk tugas tentunya. Ku lepaskan perlahan segel itu dengan pisau begitu selesai ku letakkan kembali pisau pada tempatnya. Kemudian mulai mengeluarkan isi amplop.
Sepucuk kertas jatuh tatkala aku menggoyangkan amplop yang terbuka ke bawah.
Aku membuka dan membaca surat itu, "Kau ketahui tapi bisa saja tidak kau sadari."
Aku terdiam mematung, apa ini? Teka-teki? Oh astaga kenapa orang ini rumit sekali. Sudah menyumbangkan buku dengan kunci kombinasi bahkan memberi amplop sebagai petunjuk yang isi tidak lain ialah sebuah teka-teki?!
Aku berdecak kesal, ingin rasanya kurobek kertas ini. Entah kenapa aku merasa sedang diolok-olok oleh penyumbang buku ini.
Aku mengambil buku itu melihat tiap sisi bahkan sudut buku itu, "Ini memang begitu menarik," aku mendengus kesal. Baik mungkin kerumitan ini sepadan dengan isimu nanti buku, tunggu saja. Tak lama lagi kau akan terbuka.
"Empat digit, yang mungkin aku ketahui tapi tidak kusadari. Apa ya? ... mungkin tidak ya kalau kuncinya tahun lahirku? Coba sajalah dulu."
Aku mencocokkannya dengan tahun lahirku dan hasilnya ... nihil. Kesal, bukan hanya tahun lahirku tapi tahun lahir kedua orangtua ku pun dicoba. Tapi tetap gagal. Aku tidak mengerti.
***
Dua hari setelahnya aku masih melakukan hal yang sama, berusaha memecah teka-teki buku itu. Frustasi, setiap aku melihat atau mendengar empat digit angka baik itu nomor rumah, jumlah murid, atau apapun aku mencocokkannya pada buku itu. Tapi tetap gagal. Kalau begini apa coba yang kuketahui tapi tidak kusadari!
Aku bahkan kini selalu membawa buku ini bersiap bila mendengar empat digit angka.
"Kau kenapa?"
Aku yang sedari tadi hanya duduk diam di kelas tersentak dari lamunanku pada buku itu. Tersadar kini kelas sudah kosong hanya tersisa aku dan Yuuki, anak-anak yang lain sedang sibuk menonton pementasan teater di lapangan. Aku ingin menonton juga tapi, buku ini terlalu memenuhi pikiranku.
"Kau jadi seperti orang yang terobsesi akan buku itu, tuan Everard." Yuuki kembali berbicara lalu menyeruput sekotak minuman berperisa jambu miliknya.
"Tidak begitu nona Tachibana, lagipula bukankah ada pementasan di luar sana?" aku mengusap pelan dahi ku.
Yuuki memutar manik hitam malamnya, lalu menatap tajam manik biru ku. "Kau jelas sedang berbohong dan memang ada pementasan di sana aku ingin menonton tapi terlalu ramai jadj kupikir aku lanjut menamatkan buku saja." Dia mengambil posisi duduk lalu membuka bukunya, "Sudah kuduga memang berbahaya membeli yang hanya membuat penasaran orang yang obsesian akan buku sepertimu."
Aku terkekeh, lalu melirik buku yang dibacanya, "Tentang apa?"
"Zaman purba." Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari buku itu.
Aku berdiri lalu memperhatikan halaman yang dibaca Yuuki, "... seribu delapan ratus dua puluh!"
Aku menyambar cepat buku di atas meja ku begitu menemui angka pada halaman buku Yuuki.
Yuuki menggerutu pelan, "Mulai lagi."
Aku mulai mencocokkan angka tersebut, angka satu pada kolom pertama, angka delapan pada kolom kedua, angka dua pada kolom ketiga, dan angka nol pada kolom terakhir.
Ckrek!
"Terbuka!" Aku tersentak, begitupun Yuuki dia langsung berdiri dari posisinya.
Perlahan kubuka buku itu, halaman pertama hanya diisi dengan kata ... welcome. Oke, mungkin ini wajar namanya juga pembukaan buku. Bisa apa saja kan.
Saat ingin membuka halaman kedua, entah kenapa seolah ada angin kencang yang membuat halaman buku itu terbolak-balik dengan begitu cepat. Kulihat Yuuki yang kini memasang raut heran, padahal jendela sekolah ditutup, ventilasi juga pintu jelas menggambarkan ketenangan di luar sana bagaimana bisa di sini angin kencang, dan AC tidak mungkin melakukan hal itu saat dia dalam mode dingin yang biasa, apalagi yang di terbangkan hanya halaman buku ini, begitu cepat pula.
Srak!
Buku itu berhenti dan terhenti di halaman pertengahan buku. Kami mencoba mendekati buku itu. Tapi tiba-tiba cahaya terang menyeruak, seolah memaksa kami masuk ke dalam buku itu. Tapi bagaimana mungkin?! Nafasku terasa sesak, semuanya menjadi gelap padahal tadi jelas aku dan Yuuki melihat cahaya yang begitu terang. Aku merasa sedang jatuh, tapi jatuh dari mana?
"Aaaaa!"
Teriakan Yuuki terdengar memburu indra pendengaranku, dia ada di dekat sini. Aku tidak sendiri. Apa dia merasa seolah jatuh juga?
...to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Book
AdventureMaukah kau mengetahui rahasiaku yang satu ini? Tentang aku dan temanku yang pernah kembali ke masa lalu, kemudian melihat sesuatu yang kini hanya ada di buku, menjelajah waktu yang bukan dengan mesin waktu atau sejenisnya. Tapi sebuah buku tua, buk...