Arthit sedang berjalan ke arah lapangan tempat pacarnya latihan, kelasnya berakhir lebih cepat dari biasanya, ketika dia melihat teman-teman setim Kongpob berjalan keluar lapangan. Rupanya latihan baru saja selesai.
"Sedang menjemput pacarmu?" Arthit berhenti setelah salah seorang dari mereka melintasinya.
"Yeah." Arthit menjawab pendek. Ia sedang tidak ingin berbicara dengan orang yang tidak ia kenal.
"Kapten lagi pergi keluar sama pelatih." Kata pemuda itu lagi. Sepertinya itu penyebab mereka menyelesaikan latihan lebih awal. Salah Arthit memang tidak menghubungi Kong terlebih dahulu sebelumnya.
Arthit mengambil ponselnya, menimbang-nimbang akan menghubungi Kongpob atau tidak. Ia takut menginterupsi apapun yang ia sedang lakukan dengan pelatihnya.
"Percaya padaku, kau tidak akan mendapat balasan apapun." Arthit memandang pemuda itu dengan alis terpaut. Kongpob adalah pacar yang baik, dia selalu membalas pesan dan telepon Arthit. "—tas dan ponselnya masih ada di loker." Well, tentu saja lain cerita kalau seperti ini. Ia mengurungkan niatnya dan memasukkan ponsel itu kembali ke tempatnya semula.
Arthit mengacuhkan pemuda itu dan tenggelam dalam pikirannya untuk beberapa saat. Apa yang sekarang akan ia lakukan? Menunggu atau pergi saja? Sejujurnya ia ingin menghabiskan waktu sore ini dengan pemuda itu.
Pemuda tadi hanya berdiri sambil memandangnya, Athit tidak yakin apa yang dilakukan pemuda ini, apa maunya.
"Namaku Mario—kalau kau mau tahu." Arthit menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa, dia tidak ingin tahu sebenarnya. Ia hanya tersenyum dan menerima jabatan tangan pemuda di hadapannya. "—dan aku sudah kenal sama kamu, Arthit." Arthit juga tidak berniat menyebutkan namanya dari awal.
"Ngomong-ngomong kau keren sekali waktu beraksi di ruang ganti kami." Kata pemuda itu dengan senyum lebar, memperlihatkan gigi atasnya yang rapi. Arthit mengerutkan kening, hingga ingatan itu datang. Satu-satunya momen dimana ia masuk ke ruang ganti tim adalah saat ia memberikan ceramah pada rekan-rekan Kongpob untuk berhenti memperlakukan pacarnya—waktu itu masih pacar palsu—dengan buruk.
Arthit seketika dipenuhi rasa malu. "O-oh itu bukan apa-apa."
"Kau benar-benar bukan pengecut. Maksudku—tubuhmu tidak seberapa tapi nyalimu luar biasa." Wajah pemuda memancarkan semangat, dan matanya berbinar menatap Arthit. "Kalau aku jadi kau, aku tidak akan mau masuk ke ruang ganti atlit dan mengomeli mereka disana. Seperti masuk ke kandang singa, kau tahu."
Arthit merasa ingin pergi secepatnya dari hadapan pemuda ini. Bukan hanya karena topiknya yang membuatnya malu setengah mati, tapi juga karena pemuda ini menatapnya dengan mata kelinci yang bebinar-binar.
"Asal kau tahu yah, Arthit—di tim kami, tidak hanya Kongpob yang gay—atau bi. Walaupun hanya dia satu-satunya yang berani mengatakannya dengan lantang." Katanya dengan mata menyipit, membuatnya terlihat seperti seorang pemandu acara misteri di televisi.
"Benarkah?" kata Arthit datar. Dia mulai curiga pemuda ini sedang membicarakan dirinya sendiri. "—dan siapa itu?" Arthit mencoba memastikan, dan berharap dugaannya salah.
"Kau tidak mau tahu. Ini bukan sesuatu yang bisa aku katakan." Mario mengulum bibir bawahnya sendiri. "—tapi kalau kau penasaran, aku bukan salah satunya." Arthit memastikan kejujuran dari mata pemuda itu, namun memutuskan untuk tidak terlalu peduli. Selama itu tidak mengganggu hubungannya dengan Kongpob. Ia mendengus.
"—tapi, aku mau jadi gay—atau bi—kalau kau mau aku seperti itu. Well, aku yakin semua orang rela jadi gay—atau bi—kalau pacarnya manis dan pemberani seperti kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stranger Lover (SOTUS Fanfiction) (Bahasa Indonesia)
FanfictionSuatu moment dimana Arthit tidak sengaja meminta orang asing untuk jadi pacarnya. Untung saja orang asingnya tampan dan bisa diandalkan. Tidak sia-sia Arthit mempermalukan dirinya, jika akhirnya ia bisa punya pacar seperti Kongpob. Sotus Alternative...