(1). Hukuman Lagi

2.9K 119 1
                                    

" Salah gue apa sih?" gerutuku kesal sambil melemparkan sapu lidi berukuran besar ketanah lalu menendang-nendangnya hingga kepinggir lapangan. Seumur hidup baru kali ini aku merasa kesal mendapat hukuman. Okelah, jika kemarin-kemarin aku mendapat hukuman karena itu memang kesalahanku tapi hari ini, entah apa yang sudah kulakukan. Aku hanya berusaha menolong adik kelas yang sedang dibully oleh genk Arina. Permasalahan sepele, hanya seputar laki-laki yang ditaksir ternyata naksir adik kelas. Ya, aku sebagai orang yang tahu dan melihat kejadian itu otomatis melerai. Tapi bukannya mendapat pujian atau penghargaan seorang Naili Aleeniffah berbuat kebajikan, aku justru dianggap sebagai provokator dan biang onar.

" Belum bersih. Belum waktunya istirahat." teriak seorang laki-laki yang berdiri disisi kanan lapangan sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku. Ia berjalan mendekat, membiarkan tubuhnya diterpa terik matahari.

Aku menatap kesal laki-laki itu hingga sapu lidi yang tadinya masih ada dalam jangkauan kutendang dengan keras hingga mengenai tembok pembatas sekolah, menciptakan suara gaduh yang membuat beberapa orang berbalik.

" Apa lo!!" gertakku balik. Aku menyilangkan kedua lengan didepan dada, berusaha mengatur nafas karena menahan emosi sejak tadi. Tapi bukannya takut dengan gertakkan kekesalanku, laki-laki itu justru semakin mendekat hingga kini ia berdiri dua meter dihadapanku.

" Aku cuma melakukan tugasku sebagai orang yang ditunjuk Bu Yanti untuk mengawasi kamu selama menjalani hukuman." balasnya tenang, namun mimik wajahnya seolah berbicara banyak. Memang datar, tapi tatapan matanya yang sendu seolah mengejek apa yang terjadi padaku.

" Gue tahu. Tapi lo nggak usah bersikap diktator gitu sama gue." Ada marah yang membuncah saat aku mengatakan kalimat singkat itu.

Laki-laki itu terkekeh. Meski ia berusaha menutupi mulutnya dengan tangan, aku bisa melihat ada gurat ejekan disana." Mau dibantu?" tanyanya kemudian, membuat mataku langsung membulat. Namun sedetik kemudian alisku justru mengerut.

" Mau ngehina gue lo? Lo pikir gue nggak bisa ngelakuin hukuman ini. Gue itu udah ngelakuin semua hukuman yang ada disekolah ini. Gue cuma kesal diperlakukan nggak adil sama Bu Yanti. Mentang-mentang gue selalu melanggar peraturan, jadi semua kesalahan dilimpahin ke gue. Yang salah itu Arina bukan gue." jelasku ketus sambil menghentakkan kakiku berulang kali.

" Aku tahu kok."

" Lo tahu darimana?" tanyaku cepat. Aku menatap fokus manik mata laki-laki itu, untuk sesaat tatapan kami bertemu namun dengan cepat ia memutuskan kontak mata dengan mengalihkan pandangan kearah lain. Ada suara yang ia keluarkan walau berbisik, namun angin yang berhembus ternyata membawanya sampai ketelingaku. Ya, laki-laki itu mengucapkan istiqfar.

" Dari Andine, adik kelas yang kamu tolongin. Dia cerita kalau kamu cuma mau bantuin dia dari Arina." jelasnya santai.

Sebenarnya aku juga sudah memaksa Andine untuk mengatakan segalanya pada Bu Yanti, tapi sayang seribu sayang, gadis yang berusaha aku tolong itu lebih takut pada Arina dibanding mengatakan kebenaran. Dan aku tidak menyalahkannya atas hal itu, aku mengerti bagaimana senioritas disekolah ini sangat kuat dan mendarah daging disetiap angkatan.

" Tapi kenapa lo nggak bantuin gue. Setidaknya lo kasih tahu Bu Yanti yang sebenarnya." Nada suaraku mulai memelan. Rasa kesalku sudah turun meski sepenuhnya belum hilang.

" Tadi aku nawarin bantuan tapi kamu langsung menolak." balasnya, lalu melangkah mengambil sapu lidi yang sudah berhamburan. Setelah berhasil menyatukan sapu lidi itu kembali, ia lantas memberikannya padaku.

" Sepuluh menit lagi semuanya harus bersih." ujarnya tenang lalu meninggalkan aku yang masih terpaku dengan kalimatnya. Aku baru saja ingin melemparkan sapu lidi itu kearahnya, namun tercekat oleh tanganku sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

From Rambut to JilbabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang