Joanna van Balvers

11.9K 1.3K 20
                                    

"Ning, dulu itu, sebagian kuburan orang-orang Belanda pernah ada di daerah Merdeka,” kata Ibu, saat aku baru pulang kerja. “Sekarang jadi mall Pusat Grosir Bogor (PGB).”

Ibu membicarakan tentang kuburan Belanda karena teringat ceritaku tentang Ibu Joanna.

“Yang di depan Museum Perjuangan? Dulunya kuburan?” tanyaku tidak percaya.

“Ya, sepanjang PGB sampai batas toko baju. Ibu lupa nama toko bajunya. Luas area kuburannya sampai ke daerah belakang PGB.

“Ibu tahu dari siapa?”

“Kemarin Bu Hadi tetangga kita yang cerita. Tempat tinggal kedua orang tuanya di Kebon Jahe, dekat dengan kuburan Belanda itu.”

“Sekarang kuburannya dipindah ke mana, Bu?”

“Beberapa kuburan orang Belanda di pindah ke daerah Cipaku. Setelah semua kuburan dipindah, terus dibangun gedung olah raga di situ.” Mata Ibu menerawang mencoba mengingat sesuatu. “Ibu ingat gedung olahraga itu. Waktu ayah dan ibu masih pacaran, kita sering nonton pertandingan bulu tangkis di sana,” ujar Ibu tersenyum.

“Ciieee, Ibu kelebek.”

“Apa itu kelebek?”

“Kenangan lama bangkit kembali.” Perkataanku membuat Ibu tertawa.
“Berarti, Ibu Joanna mungkin harus cari di daerah Cipaku ya, Bu?” lanjutku.

“Ya, bisa dicari ke sana kalau masih ada namanya.”

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

Aku bertemu Ibu Joanna saat sedang membersihkan kamarnya, kamar 320, kamar terakhir yang akan aku bersihkan hari itu.

“Silahkan masuk,” kata Ibu Joana membukakan pintu.

Ibu Joanna, orang Belanda, umurnya sudah tujuh puluh tahun. Tapi ia tidak terlihat setua umurnya. Kulit wajahnya masih kencang, badannya masih bisa berdiri tegap, dan semangatnya masih semangat anak muda. Bayangkan saja, ia masih sanggup berjalan mengelilingi Kebun Raya Bogor setiap pagi.

“Ibu, bisa bicara bahasa Indonesia?” tanyaku yang kagum dengan kefasihannya berbahasa Indonesia.

'Ya, saya sudah sering datang ke sini,” jawab Ibu Joanna dengan aksen Belanda yang masih kental.

“Bertemu saudara?” tanyaku sambil membersihkan kaca washbasin dan memandang wajahnya dari kaca.

“Tidak. Saya sedang mencari ayah saya, kuburannya,” ujarnya dengan raut wajah yang penuh kerinduan.

Aku selesai membersihkan kamarnya, tapi aku tetap berdiri menunggu untuk mendengarkannya melanjutkan cerita.

“Mari duduk, jangan sungkan. Kamu mau dengarkan cerita saya?” Bibirnya menyungging senyum. Tangannya menepuk-nepuk kursi di sampingnya, mengisyaratkanku untuk duduk.

“Ya, saya tertarik mendengarkan cerita Ibu,” jawabku jujur, lalu duduk di sampingnya.

Ibu Joanna mulai bercerita tentang ayahnya. Ayahnya bernama Johannes van Balvers, datang ke Hindia Belanda pada tahun 1935. Ia di utus oleh Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda pada masa itu untuk membangun jaringan listrik di kota Buitenzorg, nama kota Bogor di jaman Belanda. Ayah, Ibu, dan kakaknya yang masih berusia lima tahun, pergi ke Indonesia dan menetap di Buitenzorg. Kemudian lahirlah Ibu Joanna di tahun 1942 bersamaan dengan datangnya Jepang ke Indonesia. Ayahnya ditahan oleh Jepang. Untuk keamanan, Ibu, kakak, dan dirinya yang masih bayi, harus kabur dari Hindia Belanda dengan menyelundup  terlebih dulu ke Australia. Setelah itu mereka kembali pulang ke Belanda.

Maid in Buitenzorg (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang