Ada Hantu di Hotel

15K 1.4K 22
                                    

Meskipun telah direnovasi, aura mistis dan kesan angker dari Hotel Binnenhof tidak berkurang. Mungkin karena dulunya pernah dijadikan tempat pembantaian oleh serdadu Jepang. Setelah itu pun hotel dibiarkan kosong terbengkalai. Hotel itu terlihat suram, kotor, dan gelap. Kalau kata orang-orang, jadi tempat jin buang anak. Sudah banyak cerita horor yang beredar dari warga sekitar hotel, pegawai hotel, maupun dari tamu yang menginap.

Cerita mulut ke mulut dari warga sekitar yang sering aku dengar dari kecil adalah cerita tentang hantu noni-noni Belanda yang terlihat sedang berdansa. Di malam hari, warga sekitar hotel mengaku sering mendengar suara-suara jeritan yang menyayat hati, membuat bulu kuduk merinding.

 Di malam hari, warga sekitar hotel mengaku sering mendengar suara-suara jeritan yang menyayat hati, membuat bulu kuduk merinding

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang, di minggu pertama aku bekerja saja aku sudah disambut dengan macam-macam cerita horor di Hotel Binnenhof.

Biasanya pegawai hotel shift malam yang punya banyak cerita horor. Seperti ceritanya Andrew, pegawai resepsionis yang spesialis dinas malam. Aku dan Dewi terpaksa ikut mendengar ceritanya karena kami juga sedang makan siang di Employee Dining Room (EDR).
Pegawai hotel lainnya yang sedang menyantap makan siang di EDR, langsung mengerubungi Andrew yang berada tepat di sebelah kiriku. Mereka penasaran dengan cerita hantunya, mereka menarik kursi masing-masing, lalu berkumpul di dekat meja makan siangku.

"Malam kemarin, sekitar jam sebelas, kita lihat ada cewek cantik di luar," Andrew mulai bercerita. "Kita senang dong, ada cewek cantik mau check in nih. Semua jadi semangat. Yang tadinya mata dah lima watt karena ngantuk, jadi segar bugar deh," lanjutnya sambil tersenyum.

Pintu masuk hotel ada dua, kiri dan kanan. Kedua pintu itu dibuat dengan kusen dan kaca yang berkotak-kotak. Meja resepsionis yang terbuat dari kayu jati ukir Jepara, letaknya menghadap persis ke depan pintu kaca, sehingga pegawai resepsionis bisa melihat keluar area hotel. Di antara kedua pintu terdapat jam dinding yang tinggi besar, setinggi pintu. Jika jarum jam tepat di angka dua belas, maka jam itu akan berdentang sebanyak dua belas kali. Suaranya besar dan bergema di seluruh ruangan lobi hotel, membuat nyali menciut terutama jika mendengarnya di malam hari.

"Tepat jam dua belas malam, jam berbunyi, teng, teng, teng ... Perempuan itu makin dekat ke area lobi," mimik Andrew saat bercerita sangat ekspresif. Alisnya turun naik, matanya kadang menyipit kadang membesar, dan tangannya ikut bergerak memperagakan cerita. Ia bercerita layaknya seorang pendongeng sejati. Semua pegawai terhanyut dengan ceritanya.

"Demi menyambut cewek cantik yang mau check in, kita langsung berdiri tegak dong. Pasang senyuman yang paling manis sedunia," ujar Andrew sambil tersenyum lebar. Mereka dengan sabar menunggu sampai cewek cantik itu terus berjalan mendekati pintu.

"Pas sudah di depan pintu, tahu-tahu cewek itu jalan menembus pintu kaca, lalu hilang .... " ujarnya yang ditanggapi dengan mimik dan lontaran kata-kata rasa takut dari beberapa pegawai.

Aku tidak suka cerita horor, ingin rasanya aku menutup telingaku. Tapi apa daya, kedua tanganku sedang sibuk menyuapi mulutku dengan makanan, perutku masih merasa lapar.

"Kita cuma bisa melongo, diam kaya patung. Pas sadar, langsung kita lari ninggalin resepsionis."
Andrew mengakhiri ceritanya sambil tertawa. Pegawai hotel lainnya pun ikut tertawa, membayangkan Andrew yang bertubuh tinggi besar dan macho harus lari terbirit-birit karena ketakutan. Saking seringnya pegawai hotel bertemu dengan mahluk halus, meskipun takut, lama-lama mereka jadi terbiasa.

Baru saja aku mau menarik napas lega karena cerita horor Andrew sudah selesai, Mas Deni supervisorku, langsung menyambung dengan cerita horor lainnya. Kali ini berhubungan dengan departemen tempatku bekerja, Housekeeping.

"Tahu gak, kalau di kamar 223 ada hantu bule botak?" pertanyaan Mas Deni dijawab dengan gelengan kepala pegawai hotel yang masih setia berkerubung di meja makan. Lalu Mas Deni dengan semangat melanjutkan ceritanya, "Waktu itu malam Jumat, gue kebagian ngecek kamar lantai dua. Pas gue masuk ke kamar 223 yang statusnya kosong, samar-samar terdengar suara air. Gue coba intip ke kamar mandi, tahunya ... di dalam bathtub ada hantu bule botak yang lagi berendam." Mas Deni pun tertawa terbahak-bahak bersama yang lainnya.

"Itu hantu si om botak van licin," ujar Andrew menimpali. Bahkan mereka memberikan nama untuk setiap hantu yang mereka temui, seperti di film Harry Potter saja.

Tubuhku merinding, aku ingin segera menyelesaikan makan siangku.

"Mas Deni, aku duluan ya," ujarku meminta ijin untuk segera berlalu dari meja makan dan mulai melanjutkan tugasku.

"Waktu istirahat kan masih lama, Ning. Santai aja dulu, masih banyak cerita lainnya nih." Mas Deni mencoba membujukku untuk tetap tinggal.

"Iya, Ning. Kita di sini aja dulu, ya," ujar Dewi memelas sambil menahan tanganku agar tetap duduk di kursi. "Seru loh dengar ceritanya."

Tidak kusangka temanku ini pecandu cerita horor. Terpaksa aku kembali duduk di kursi dan mulai makan potongan buah.

Cerita horor Hotel Binnenhof disambung oleh pegawai dari Food and Beverage Deparment. Mas Edwin mulai bercerita tentang hantu yang ada di restoran Hotel Binnenhof, The Colonial. Bukan hanya satu hantu, tepatnya serombongan hantu.

"Waktu itu jam 23.00 WIB, waktunya kita closing. Restoran sudah dibersihkan, kita langsung menutup restoran," cerita Mas Edwin dengan berapi-api.

Ini jadi seperti lomba menceritakan cerita horor, semua pesertanya antusias sekali.

"Tapi gue ketinggalan handphone di kasir. Jadi gue balik lagi sendiri," lanjut mas Edwin.

"Sebelum gue buka pintu belakang resto, gue denger suara raameee banget dari dalam. Ada suara orang ketawa-ketiwi, full music lagi. Dari bawah pintu ada pancaran sinar lampu warna-warni."

Saking seriusnya Mas Edwin bercerita, air liurnya muncrat ke segala arah. Andai ada payung, mungkin aku tidak perlu terkena cipratannya, iiyuuuh ....

"Gue pikir ada event tambahan nih. Mungkin pak General Manager lagi buat pesta dadakan," kata Mas Edwin.

"Terus ... tahunya kenapa, Win?" tanya salah seorang pegawai penasaran.

"Tahunya ... begitu buka pintu ... gue lihat banyak hantu-hantu berwujud putih-putih yang sedang berpesta. Melayang-layang di lantai resto, berdansa." Mas Edwin mengambil segelas air minum, kemudian melanjutkan ceritanya.

"Hampir aja gue kencing di celana. Cepat-cepat gue ambil handphone gue. Dan langsung tutup tuh pintu resto," ucapnya dengan senyum malu-malu. "Besoknya, gue gak masuk kerja, sakit. Badan gue demam."

"Itu sial namanya," timpal Mas Deni yang disambut gelak tawa semua pegawai.

Aku rasa, aku sudah cukup mendengar semua cerita horor. Aku tidak ingin mendengar cerita horor lagi. Aku pamit ke Mas Deni dengan memberi alasan bahwa masih banyak kamar yang harus dibersihkan. Dewi sebenarnya masih ingin tinggal dan mendengarkan cerita, tapi ia terpaksa mengikutiku.

"Niiing, anterin gue pipis dong," ujarnya kembali memelas. "Udah gak tahan nih. Temenin dong," ujar Dewi lagi sambil mengepitkan kedua tangan di antara selangkangannya.

"Tuh kan! begini deh kalau dengerin cerita horor. Mau pipis aja gak berani. Baca doa aja banyak-banyak!" kataku ketus.

Dewi langsung menarik tanganku menuju toilet.

(Bersambung...)

Maid in Buitenzorg (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang