Bagian 1

621 91 5
                                    


Laki-laki itu menghunjamkan sebilah galah panjang mendobrak permukaan air tak beriak, meninju dasar Kali X yang dangkal seiring tanggal.

"Kau tahu, kemujuran sedang berbaik hati mencadangkan satu kursi terbaiknya—khusus—untukku."

Berlebihan sekali kau bereaksi.

"Nyatanya, sekarang, akulah yang dia pilih."

Kemujuran bukan milikmu seorang.

"Oh, ya?"

Siapapun berhak beruntung.

"Terserah."

Serakah.

Galah pun melenting. Rakit bambu tempat laki-laki itu menapak kontan merampas momentum yang lahir, mulai bergerak, bergulir, perlahan.

"Aku bukannya serakah."

Lalu?

"Sekadar menyambar kesempatan yang singgah."

Kupikir belum saatnya.

"Pekerjaan laknat ini harus kutanggalkan segera."

Lah, dini benar kau memutuskan.

"Jenuh."

Kau tak lagi mencintainya?

"Pekerjaanku?"

Ya.

"Percuma menggarap sesuatu yang tak membalas sepadan."

Kau mencaci apa yang dulunya kaupuji.

"Persetan."

Meski lokasi yang hendak dicapai tidak seberapa jauh, tetaplah bukan rute sekejap dayung bagi rakit berpenumpang seorang itu guna melabuh.

Jadi, kau senang?

"Aku tampak sebaliknya?"

Kau lega?

"Tentu."

Puas?

"Pasti."

Lingkunganlah—yang memprihatinkan—yang mengakibatkannya. Kecepatan rakit pun rangkak semata.

Jawabanmu kelewat percaya diri.

"Kurasa takdir sudah siuman dari pingsannya soal keadilan, jadi tak sedikit pun aku sangsi."

Hei, jangan besar kepala.

"Nanti akan kubangun rumah yang lebih layak atau mewah atau istana saja sekalian."

Merendahlah.

"Tidak lagi gubuk pengap di pojok gang bawah pohon duku itu."

Hatimu, beningkan.

"Tak lupa, busuk di tubuhku ini bakal kuenyahkan jua dengan berbotol-botol sabun dan parfum."

Ada yang terluput olehmu.

"Dengan begitu, gadis cantik berkacamata yang rajin meminjamiku buku itu .... Ya, lusa, langsung kupinang sajalah dia dan, sebelum genap usiaku tiga puluh tahun depan, boleh jadi aku sudah menimang anak pertama."

Semakin tinggi kau mengawang, semakin nyalang pulalah ketamakan itu memecundangimu, menenggelamkanmu.

Satu tangan laki-laki itu terus mencabut-tancap-tolakkan galah, pun masih berdiri, tak mengindahkan lanskap tak indah yang sejauh matanya pandang.

LubukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang