Rindu. Siapapun pasti merindu. Entah merindu orang tua yang sedang jauh di tanah rantau, merindu sahabat yang lama telah berpisah jarak, atau merindu kekasih yang tak pernah pulang.
Pilihan ketiga adalah yang kualami. Kekasih yang selalu aku rindukan tak pernah datang lagi sejak negara memanggilnya. Dia pergi tanpa mengatakan banyak hal. Hanya berjanji akan segera pulang. Sementara janji itu tidak pernah ditepati.
Hanya kabar yang aku terima dan itu cukup membuatku terluka. Terlalu cepat waktu berlalu, aku tak pernah siap untuk kabar ini sebelumnya.
🌸🌸🌸
Flashback...
"Elsa" panggil salah sahabat terbaikku sekaligus kurir-ku yang paling profesional.
Seorang polisi yang kini bertugas di Polresta Surakarta. Dia bersahabat denganku sejak kecil.
"Kenapa, Co?" Tanyaku mengangkat kedua alis setelah menoleh ke belakang.
Jalan Slamet Riyadi tengah ramai diminggu pagi ini. Car free day. Dan Nico, sahabatku ini sedang bertugas di sini. Pengamanan acara katanya. Ada salah satu partai politik yang sedang gencar-gencarnya berkampanye.
"Tugas saja dulu, nanti aku tunggu di depan RS Slamet Riyadi" kataku saat Nico sampai di hadapanku, lengkap dengan rompi anti peluru dan senjata di dadanya.
"Enggak bisa ditunda, Elsa. Perintah dari Bapak Komandan" ujar Nico. Mengeluarkan buket bunga mawar putih yang cantik dari balik punggungnya. "Katanya kamu sedang tidak bersemangat karena tugas akhir yang menyiksa. Komandan berharap kamu bisa kembali semangat lagi."
Aku menerima buket bunga itu. Mungkin ada 20 tangkai mawar putih yang terikat di sana.
"Bilang sama komandan, jangan terlalu boros hanya untuk bunga seperti ini, Nico. Aku bisa beli sendiri" tanggapan yang mungkin membuat pemberinya kecewa.
"Bilang sendirilah! Yang pasti persiapkan dirimu malam ini, Elsa. Sertu Putra sedang dalam perjalanan menuju Surakarta. Tenang saja, malam ini aku sibuk pengamanan laga di Stadion Manahan. Aku tidak akan mengganggu kalian seperti biasanya" kabar yang sangat luar biasa. Nico juga memancarkan bahagianya.
Aku benar-benar bahagia mendengar kabar dari Nico. Putra tak mengabariku soal kepulangannya.
"Pacar yang ke berapa, Co?" Salah satu Polwan lewat di samping kami.
"Eh, bukan pacar, Za" Nico terlihat panik sendiri. "Mampus gua, Sa. Itu gebetanku" keluh Nico seolah kehilangan kesempatan emas.
Aku menahan tawaku. Sejujurnya aku ingin tertawa lebar, selebar-lebarnya. Nico dan aku memang sering begini. Karena kedekatan kami sejak kecil membuat kami sulit memiliki kekasih. Kami menjadi penghalang satu sama lain. Namun, aku lebih beruntung karena bisa menemukan Putra yang mampu mengerti persahabatan ku dengan Nico.
"Aduh, Elsa. Berhenti mentertawakan aku. Kita baru pendekatan beberapa bulan terakhir dan sekali lagi hancur karena kamu. Mau sampai kapan aku jomblo, Elsa" Nico berteriak frustasi.
"Lalu aku harus bagaimana? Menjelaskan? Dia bukan siapa-siapa kamu kenapa dia butuh penjelasan?" Santai.
"Elsa, tapi dia masa depanku" terlalu lebay untuk didengar.
"Oke-oke. Aku akan menemuinya. Siapa namanya? Riza ya?" Mulai melangkah.
Nico mengangguk, mengikuti ku dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Klasik
Short StoryKisah-kasih yang klasik, kumpulan cerpen baik tentang militer maupun yang lainnya. Judul terinspirasi dari Kakak. Cus baca aja ?