Matcha Latte

1.2K 74 6
                                    

Iklan di televisi selalu mengatakan bahwa teh yang lebih enak itu dibuat dari pucuk daun teh pilihan, ada pula yang mengatakan teh yang paling enak itu dari pucuk daun teh yang dipetik di pagi hari. Bagiku yang terbaik tetaplah kamu, secangkir matcha latte yang mempertemukan kita.

Secangkir minuman khas negeri sakura yang kini tengah booming di kalangan pecinta kuliner nge-hits. Secangkir itu membuatku bisa bercerita denganmu sepanjang malam. Mengenalmu dari cerita dongeng tentang hidup.

Kuhirup bau khasnya, teh segar yang masih hijau itu merasuk. Bersamaan dengan senyummu yang menambah manis secangkir matcha latte.

"Aku lebih suka melihat langit malam dan menikmati matcha latte di pegunungan. Bagaimana denganmu?"

Sungguh itu yang kamu tanyakan? Bisakah aku menjawab sekarang? Haruskah aku jujur, sejujur kamu saat ini?

Maka akan kujawab, "Aku lebih suka menikmati secangkir matcha latte di belahan dunia manapun asal aku bisa melihatmu dari tempat itu. Melihat bulan sabit yang melengkung indah di bibirmu."

Dan kamu tersenyum lebar.

Sesederhana itu sebenarnya aku jatuh cinta denganmu, secangkir teh hijau yang telah bercampur, aroma khasnya, langit malam, pegunungan dan senyummu.

"Jawabanmu lebih manis dari matcha latte-ku. Apa kamu selalu seperti itu?" Tanyamu padaku dengan sisa-sisa matcha hijau di atas garis bibirmu.

Melengkungkan senyumku, "tidak, hanya denganmu."

Lantas kulihat lagi bulan sabit itu meski pada nyatanya ini tengah bulan, dimana bulan purnama bersinar terang. Tetap saja aku lebih suka bulan sabitmu.

Pipi dengan tulang menjorok ke atas itu berubah warna dalam sekejap. Merah merona seolah baru saja menerima cubitan manja. Padahal jari-jemariku masih beradu gelisah, ingin kuungkapkan sesuatu tapi belum bisa kukatakan satu waktu. Sebab apa? Sebab matcha latte-ku masih penuh. Katakan aku ingin lebih lama menikmati secangkir matcha latte denganmu.

Rok panjang dan kerudung menutup dada tertiup angin dan bergoyang. Bulan sabitmu yang tetap dan sorot mata bulat bersinar menambah syahdu suasana malam. Tak bisa kurengkuh tubuhmu tapi aku ingin segera merengkuh hatimu.

"Bagimu, apa itu bahagia?" Tanyamu lagi setelah kehilangan topik dan hanya terdiam.

"Duduk berdua denganmu, menikmati malam, gerimis kecil, bulan sabit dan secangkir matcha latte hangat. Sesederhana itu bahagiaku. Kamu tidak bertanya apa yang paling membahagiakan dalam hidupku?" Kembali aku bertanya.

Alis tipis ciptaan Tuhan di bawah dahimu terangkat.  "Apa memangnya?"

"Ketika aku bisa memilikimu dan Tuhan mengizinkan itu," jawabku cukup singkat.

"Habiskan matcha latte-mu," kembali lagi kau alihkan pembicaraan ini.

Kita nikmati lagi bintang, kemudian seteguk demi seteguk matcha latte, diiringi segaris senyum manismu. Hanya kita berdua, tidak ada yang lain di antara kita. Angin dan sejengkal jarak yang memisahkan.

"Aisyah," panggilku di antara lembutnya angin yang menyapa.

"Hemmm..." Tetaplah terpaku pada ribuan bintang gemintang di langit yang biru.

"Apa cinta itu menurutmu?"

"Cinta itu tentang siapa yang berani mengatakan," jawabmu cukup sederhana dengan senyum. 

"Hanya semudah itu bagimu sebuah cinta?" Kutanya dengan sedikit bingung.

"Tidak, Farid, tidak sesederhana itu. Cinta itu tentang siapa yang berani mengatakan pada Ayahku, tentang yang berani mengatakan pada Tuhanku bahwa dia memintaku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah KlasikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang