Dea memejamkan mata dan menarik nafas panjang. Sejenak menguatkan mental untuk membuka lembar transkrip nilai yang baru saja dia terima. Setelah cukup yakin kalau dia siap melihat deretan huruf dan angka yang tertera disana, Dea pun membuka lembaran kertas itu.
Deandra Sarasvati. B, A, B, A, A, B....
Oke, itu belakangan aja. Yang penting, berapa nilai IP dia? Fokus matanya kemudian beralih pada angka yang tertera dibawah kertas itu: 3,10.
"Alhamdulillah!" celetuknya spontan sambil memeluk erat kertas itu dengan wajah berbinar. Celetukannya itu membuat dua teman yang ada disebelahnya seketika menoleh.
"Gimana nilai kamu, De? Bagus ya?" Priskilla Aurani alias Killa, sahabat Dea sejak awal masuk kuliah, langsung menarik kertas di tangan Dea dan membacanya. Rona wajahnya berubah jadi cerah.
"Gila! Nilai-nilai kamu kece banget! Keren, De!" Killa seketika memeluk Dea dan mengacak-acak rambut sahabatnya itu. "Aku heran gimana caranya kamu bisa tetap dapat nilai kece. Padahal kan kamu sibuk banget! Selain kuliah, kamu juga ngelesin bocah-bocah itu kan?"
"Mantap jiwa, De!" Rinto yang dari tadi berdiri di sebelah Dea dan Killa. "Liat, nilai-nilai gue mah absurd! Masa konsonan semua? B, B, C, malah ada yang D! IP gue cuma 2 koma lebih sedikit aja, coba!"
"Lo kebanyakan main sih, To!" ledek Killa. "Makanya, sering-sering belajar bareng Dea dong kayak gue. Nilai UAS gue ketolong banget sejak sering belajar sama Dea. Emang sih masih 2 koma sekian, tapi jauh lebih mending dibanding nilai-nilai UTS kemarin. Pokoknya semester ini kamu harus ngajarin aku lagi ya, De!"
"Gue kan cuma menikmati masa muda, La! Ma-sa-mu-da! Lagian masih di angka dua mah lumayaaannn!" Rinto – Dea dan Killa lebih suka memanggilnya Toto – mencoba membela diri. "Pokoknya kalau Killa belajar sama lo, gue nebeng juga ya, De!"
"Beres!" Dea tertawa. "Asal jangan lupa traktiran kopinya aja ya, gaes!"
"Siap! Tar gue traktir lo di kafenya... JI! AJI!" Toto melambaikan tangan pada sosok yang baru saja keluar dari ruang dosen dan langsung melesat meninggalkan Dea dan Killa. Melihat sosok itu, seketika wajah Dea berubah jadi masam.
Aji.
Tiba-tiba saja Dea mendengus sebal. Dia sebetulnya bukan tipe pendendam. Cewek itu sudah nggak mempermasalahkan kejadian waktu ospek dulu. Well, tentu saja teriakan "ditolak" itu masih terngiang di telinganya sampai sekarang, tapi itu bukan masalah besar. Masalah utamanya, selama satu semester ini Dea merasa dikacangin habis-habisan oleh Aji. Padahal dia nggak merasa pernah bikin salah sama cowok itu.
Contohnya seperti ini. Dea punya kebiasaan menebar salam dan sapa pada setiap kenalan yang dia temui. Tapi Aji nggak pernah sekalipun membalas sapaannya kalau mereka kebetulan berpapasan di koridor kampus. Memang, itu hak Aji untuk membalas sapaannya atau tidak. Tapi keanehan cowok itu nggak berhenti sampai disana.
Setiap kali mereka tak sengaja duduk sederetan saat mata kuliah umum, maupun saat mereka duduk berdekatan saat mata kuliah studio karena kebetulan absen mereka berurutan, entah kenapa Aji selalu buang muka saat melihatnya. Lama-lama Dea merasa sakit hati, hingga pada satu titik akhirnya dia memilih untuk balas mengabaikan keberadaan cowok itu. Tanpa sadar hal itu berlanjut terus hingga satu semester berlalu, dan secara alami rasa antipatinya pada sosok Aji pun tumbuh subur.
"Gile! IP lo 3,52 Ji? Lo manusia bukan sih?"
Ekspresi kaget Toto seketika membuat perhatian mahasiswa lain yang ada di koridor itu seketika tertuju pada Aji. Beberapa anak cowok yang semula berdiri nggak jauh dari Aji seketika mendekati cowok itu dan berebut melihat transkrip nilai di tangan Aji.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SUDAH TERBIT] Kamu, Matahariku (Elex, 2024)
Подростковая литератураSUDAH TERBIT: Kamu, Matahariku (Elex, 2024) === Saat orang tuanya meninggal secara mendadak lima tahun silam, Dea nyaris kehilangan arah. Untunglah ada sosok misterius bernama Om Pandji yang membantunya secara moril dan materil, hingga Dea berhasil...