TRANG.
TRING.
Suara ribut dari arah Dea membuat Toni mengalihkan perhatian dari keasyikannya membalas pesan singkat di LINE dan Whats App. Dilihatnya Dea tengah menyantap Ayam Hainan itu dengan wajah masam. Jelas banget kalau pikirannya sore itu nggak sedang berada ditempatnya.
"Kenapa sih, Dee?"
Pertanyaan Toni itu mengembalikan Dea – yang dari tadi sibuk mengutuk sikap dingin Aji – kembali ke dunia nyata. Dia seolah tersadarkan kalau saat ini tengah makan berdua bareng Kak Toni.
"Maaf Kak, nggak apa-apa kok," sebuah senyuman manis menutup kebohongan kecil itu.
"Kamu masih mikirin temen kamu yang tadi ditolak sama Aji ya?" Tebakan jitu, karena Dea seketika langsung menatap Toni dengan bingung.
"Kok Kakak tahu?" tanyanya polos. Toni hanya mengangkat handphone-nya sambil tersenyum.
"Rumor cepat tersebar," katanya kalem, sebelum kembali menekuni handphone di sela aktifitasnya menyantap Bebek Peking. "Berarti tebakanku benar ya?"
"Iya sih Kak, tapi..." Dea menghentikan kata-katanya. Semula dia ingin melampiaskan sedikit kekesalannya pada Aji yang dari tadi hanya bisa dipendamnya saja. Namun niatnya itu urung terlaksana melihat Toni begitu fokus dengan handphone-nya. Untuk apa berbagi cerita dengan orang yang tidak 100% mendengarkan? Karenanya Dea memilih kembali menutup mulut dan menyantap makanannya dengan lebih tenang.
"Aku ngerti kok kalau kamu khawatir dengan Rania," tiba-tiba saja Toni bicara lagi. "Cuma daripada khawatir tentang temanmu, masih ada hal lain yang harus kamu pikirin lho."
"Maksud Kakak?"
"Misalnya tentang hubungan kita," kali ini Toni menatap langsung ke arah Dea, "Kamu tahu kalau aku ada perasaan lebih sama kamu, kan? Menurut kamu gimana?"
Kata-kata yang nyaris sama dengan kata-kata Rania pada Aji itu sukses membuat Dea terbatuk-batuk, sampai-sampai dia harus menyambar minuman untuk melegakan tenggorokannya.
Sejak Toni aktif mendekatinya beberapa bulan lalu, cowok itu jelas banget menunjukkan kalau dia menginginkan sebuah hubungan yang lebih dari sekedar Senior dan Junior. Cowok itupun kerap menghujaninya dengan perhatian ekstra yang membuat para fansnya menjerit iri, termasuk menawarkan diri untuk mengantar Dea mencari kebutuhan perkuliahan, seperti yang dilakukannya siang ini. Tentu saja Dea tahu maksud Toni, namun tetap saja dia nggak siap kalau ditanya secara mendadak seperti sekarang.
"Maaf Kak," setelah batuknya reda akhirnya Dea memberanikan diri untuk menjawab. "Maaf, tapi dari awal Kakak juga tahu kalau aku belum berencana untuk pacaran dengan siapapun. Aku..."
"It's okay," sela Toni. "Emang aku yang salah karena udah maksa deketin kamu. Aku nggak minta kamu jawab sekarang kok. Santai aja, Dee, aku sabar nunggu kok."
"Bukan gitu, Kak. Tapi..."
"Aku tadi cuma mau bilang, daripada mikirin orang lain, lebih baik kamu mikirin apa yang ada di depan mata kamu. Misalnya, aku. Itu aja. Kalau itu bikin kamu ngerasa nggak nyaman, lupain aja. Okay?"
Setelah itu Toni kembali mengalihkan perhatiannya pada handphone dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Dea menghela nafas. Sambil kembali menyuapkan makanan dalam mulutnya, ingatannya melayang pada percakapan yang dia lakukan dengan papa dan mama beberapa tahun lalu.
* * * * *
"Pa, Ma..."
"Hm? Kenapa Sayang?" Papa yang tengah menggunting kuku Mama mengalihkan perhatiannya pada Dea yang baru datang. Melihat wajah Dea terlihat kalut, Mama langsung meminta Papa mengatur posisi tempat tidur supaya bisa lebih tegak. Papa menuruti, dan dalam waktu beberapa detik saja Mama kini sudah dalam posisi duduk. Naluri keibuannya merasakan ada sesuatu yang nggak beres pada putri semata wayangnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SUDAH TERBIT] Kamu, Matahariku (Elex, 2024)
Teen FictionSUDAH TERBIT: Kamu, Matahariku (Elex, 2024) === Saat orang tuanya meninggal secara mendadak lima tahun silam, Dea nyaris kehilangan arah. Untunglah ada sosok misterius bernama Om Pandji yang membantunya secara moril dan materil, hingga Dea berhasil...