01

129 23 3
                                    

Hawa malam ini agak sedikit lebih dingin dari biasanya. Beberapa helai daun kering terlihat berserakan di jalanan. Apa musim gugur akan segera datang?

"Bagaimana bisa kau ngotot ingin berpisah denganku sementara menjaga diri sendiri saja tidak bisa, hm?" tangan kekar itu melingkar erat di bahuku, menyalurkan kehangatan dari tubuhnya ke tubuhku yang hanya berbalut kaus lengan panjang tipis dan celana pendek.

"Kau mengikutiku?" tanyaku yang kini telah melingkarkan tangan di pinggangnya.

Ia tidak menatapku, hanya mendengus geli dan tetap melangkah pelan.

"Sudah berapa puluh ribu kali aku katakan, jangan mengikutiku." ujarku tak sungguh-sungguh.

Sejujurnya, aku suka ia mengikutiku. Meski terkadang itu menyebalkan karena ia adalah tukang adu. Aku tidak bisa pergi dengan laki-laki karena ia selalu mengadukannya pada ibuku. Yah, hanya dia satu-satunya laki-laki yang bisa pergi denganku. Garis bawahi, selama 14 tahun.

Ia tiba-tiba menghentikan langkah. Membalikkan tubuhku secara paksa agar berhadapan dengannya. Mata bulat dengan manik hitam itu masih sama, pancarannya redup seakan tak ada kebahagiaan disana. Tapi masih, ia tersenyum simpul.

"Kau itu ceroboh. Kau suka berjalan dengan melihat kebawah. Kau suka menyeberang sembarangan. Kau selalu lupa memakai jaket dan kau tidak pernah membawa ponsel saat ke minimarket. Bagaimana bisa aku tidak mengikutimu? Kau bisa saja terjatuh, menabrak atau ditabrak seseorang, mengalami kecelakaan, kedinginan, diculik, dan—"

"Cukup." aku meletakkan telunjuk di bibirnya. "Aku mengerti." lanjutku, kemudian kembali melingkarkan tangan kananku di pinggangnya sementara tangan kiriku membawa belanjaan dari minimarket.

Ia juga kembali memelukku dengan tangan kirinya sementara kami melanjutkan perjalanan ke rumahku. Dia selalu begitu. Terlampau khawatir padaku padahal yang lebih perlu untuk dikhawatirkan adalah dirinya sendiri.

Ia tidak pernah melepas jaketnya untukku meski hawa sedang dingin dan aku hanya mengenakan pakaian tipis. Well, aku tidak berharap ia akan melakukan itu tapi ia memang punya alasan sendiri kenapa ia selalu memakai jaket, bahkan sejak pertama kita bertemu. Ingat? 14 tahun yang lalu di taman bermain.

Bisa menebak?

Benar. Ia menyembunyikan luka-luka itu.

Dia memang pembuat onar, suka berkelahi, suka menjahili anak-anak kutu buku, tidak mengerjakan pr, bolos kuliah, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Bisa dimaklumi, dia masih 19 tahun, sama sepertiku.

Tapi kalau memang alasannya karena dia belum mencapai umur dewasa, maka aku akan benar-benar bersyukur dan tidak perlu khawatir berlebih padanya.

Sayangnya bukan itu alasan Jungkook menjadi anak yang berandal seperti itu.

Luka-luka itu.

Luka-luka yang ia sembunyikan dibalik jaket hitamnya adalah alasan utama ia menjadi pembangkang.

Orang-orang akan berpikir, Jungkook memiliki segalanya. Wajah tampan, otak yang cemerlang, tubuh yang ideal bahkan atletis, keluarga yang kaya, dan jangan lupakan gadis-gadis yang mengantri untuk bisa berkencan dengannya.

Tapi tidak, ia tidak seberuntung itu.

Pernah dengar cerita-cerita klise tentang anak orang kaya yang tidak bahagia?

Benar, Jungkook adalah salah satunya.

Aku tidak tahu persis apa yang terjadi di rumahnya, yang kutahu ibu Jungkook itu sakit.

Sakit jiwa.

Maaf kalau aku terlalu kasar, tapi memang benar itu kenyataannya.

14 tahun yang lalu, saat aku bertemu Jungkook di taman itu, ia meminta tolong padaku untuk melindunginya. Dari ibunya sendiri.

Autumn Leaves [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang