02

90 20 5
                                    

Ding dong!

Hanya menunggu selama beberapa detik, pintu rumah dengan dinding berwarna biru pastel itu segera dibuka oleh pemiliknya. Aku tersenyum sembari mengangkat plastik berisi sekotak sandwich dari ibu.

"Wah! Kau bawa makanan lagi?" ia meraih kantong plastik dari tanganku dan mencium baunya, lalu tersenyum lebar setelahnya. Ia selalu begitu.

"Masuklah, akan kutunjukkan sesuatu." tanpa menunggu jawaban dariku, ia berbalik dan memasuki rumahnya, jadi aku terpaksa mengikutinya setelah menutup pintu depan.

"Ayahmu tidak pulang, Tae?" aku bertanya setelah mendudukkan diriku di sofa ruang tengah. Sepi sekali, seperti biasa.

Taehyung mengeluarkan sepotong sandwich dari kotak dan melahapnya, kemudian menggeleng kecil.

"Ayah bilang ada pertemuan di luar kota selama sepekan."

Aku hanya manggut-manggut. Ini sudah biasa terjadi. Taehyung selalu sendirian di rumah besarnya sementara ayahnya sibuk bekerja.

Aku mungkin belum mengatakan, aku tidak punya ayah. Ayahku meninggal saat usiaku 10 tahun.

Sementara Taehyung, ia tidak punya ibu. Ibu dan ayahnya bercerai lalu aku dan bahkan Taehyung sendiri tidak pernah melihat Nyonya Kim lagi setelahnya.

Saat aku duduk di bangku menengah atas, terkadang aku bercanda dengan Taehyung untuk menjodohkan orangtua kami. Gila memang. Tapi aku tak masalah kalau harus menjadi adik tiri Kim Taehyung—karena Taehyung lebih tua dua tahun dariku. Tidak ada ruginya buatku, ia tampan, populer, dan kudengar nilai tiap semesternya selalu mencapai cumlaude. Kalau aku jadi adik Taehyung, mungkin aku jadi sedikit terkenal dan... mendapat pacar?

Oh. Aku lupa. Jeon Jungkook tidak akan membiarkanku berkencan dengan siapapun. Aku tidak mengerti kenapa ia seposesif itu padaku, berbeda dengan Taehyung yang malah mengenalkanku pada teman-teman populernya seakan aku ini barang bagus yang dilelang.

"Sandwich buatan ibumu memang yang terbaik. Tidak, semua masakan ibumu memang terbaik. Kau sudah pikirkan untuk menjadi adik tiriku?" Taehyung dan aku terkekeh gara-gara candaannya. Meski sebenarnya aku menginginkan hal itu menjadi nyata.

"Datanglah kerumah kalau mau makan. Ibu bilang kau sekarang jarang datang, apa yang kau lakukan, huh? Bukannya kau seharusnya sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi anak tiri ibuku?"

Taehyung hampir tersedak karena tertawa dan aku menyodorkannya segelas air yang tadi ia siapkan di meja.

"Hei, seandainya itu benar terjadi maka aku akan sangat bahagia bisa punya ibu lagi." katanya dengan mata berbinar yang menatap langit-langit. Aku bisa merasakan kerinduan dari kalimatnya, sama seperti aku merindukan sosok seorang ayah.

"Kalau begitu, kenapa tidak kita lakukan?" perkataan itu terlontar begitu saja setelah lama aku memandangi wajah Taehyung. Ia lantas menolehkan kepalanya padaku dengan alis yang terangkat tinggi.

"Melakukan apa?"

"Menjodohkan orangtua kita."

Kupikir itu ide yang bagus. Kupikir Taehyung akan sangat senang dan menyetujui ide gila yang selalu kami bercandakan selama ini. Tapi saat aku melihat pancaran matanya yang meredup dan raut wajahnya yang berubah kelam, aku tahu ada sesuatu yang membuatnya tidak menyetujui ideku.

"Tidak bisa."

Benar dugaanku.

"Kenapa?"

Ia menghela napas sebelum menyandarkan kembali kepalanya ke sandaran sofa, menatap langit-langit rumahnya lagi dengan sendu.

Autumn Leaves [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang