Two

11.6K 411 3
                                    

Dan langit pun mungkin mengerti keresahan hati Claret, sepanjang hari rintik hujan tidak berhenti. Gerimis kecil tapi awet membasahi kebun belakang rumahnya.

"Kenapa kamu melamun seharian ini?" Teddy Diargo menghampiri anak perempuan satu-satunya yang tengah duduk di kursi beranda belakang rumah. "Something bothering you?"

Claret menatap wajah ayahnya, lalu tersenyum. "Aku hanya sedang berpikir apa yang ada di pikirannya Daniel saat ini? Kenapa dia tidak juga menelpon aku?"

Teddy Diargo mengerutkan keningnya. "Dia belum menelpon kamu? Hampir dua minggu lagi acara pertunangan kalian akan dilangsungkan dan kalian belum berbicara?"

Claret merasa ia sudah salah karena memberitahu ayahnya bahwa Daniel belum menghubunginya sejak pertemuan mereka yang pertama pada dua minggu yang lalu.

Malam itu Daniel tidak berbicara apa-apa lagi setelah menanyakan dimana dan bagaimana mereka berdua pernah bertemu sebelumnya. Claret tidak menjawabnya.

Apa dia marah karena itu? Atau karena aku setuju-setuju saja dengan pertunangan kami?

"Dia sebenarnya menghubungi aku secara tidak langsung, lewat sekretarisnya. Paling tidak, persiapan acara sudah ter-handle. Kami sudah menyerahkannya ke EO."

"Claret, papa tidak mempertunangkan kamu dengan Daniel hanya untuk berhubungan lewat sekretaris."

"I know, pa," Claret berkata lemah.

"Papa akan bicara dengan Daniel."

"Hah?" Claret mendelik kaget. "Please jangan, pa. Aku sudah sangat berterima kasih karena papa setuju mengatur perjodohan aku dengan Daniel sesuai dengan yang aku minta. Tapi aku tidak mau papa bertindak lebih jauh."

Teddy mengusap pelan kepala anaknya. "Apapun akan papa lakukan untuk kamu, sweetheart. You know that."

"Iya, papa. Aku tahu."

"Papa tidak akan membiarkan kamu disakiti."

"Aku tahu."

"Dan papa khawatir karena orang yang kamu pilih adalah Daniel."

Claret memegang tangan ayahnya, mencoba menenangkannya. "Aku yakin dengan pilihanku, pa."

"You sure, dear?"

Claret mengangguk mantap.

"Papa ingin kamu mendapatkan yang terbaik."

"Aku sudah selalu mendapatkan yang terbaik, karena papa." Claret memandang mata papanya. "Aku janji aku akan bahagia, pa."

"Tentu." Teddy mengertakan giginya. "Karena kalau tidak, papa tidak tahu apa yang akan papa lakukan terhadap keluarga Deksa."

Yuke Diargo menghampiri mereka dengan terburu-buru. "Claret, ayo cepat. Jam kontrol kamu tinggal dua puluh menit lagi. Kamu tahu kan dokter Albert itu sibuk, kita tidak bisa atur ulang jadwal kalau kelewat."

"Santai saja, ma," Teddy mengelus pelan punggung istrinya. "Claret akan tetap jadi prioritas dokter Albert."

"Aduh, pa. Tapi kita juga harus tepat waktu. Kasian dokter Albert harus mengatur jadwalnya yang padat itu. Claret juga tidak boleh terlambat kontrol."

"Rajin kontrol juga tidak akan banyak membantu," Claret berkata pelan.

"Claret!" Tegur mamanya.

Claret memamerkan cengirannya. "Joking, ma."

"Ini bukan joke, Claret," tambah mamanya.

"Iya, iya, ma. Let's just go." Claret mengamit lengan mamanya dan menariknya menuju ke dalam rumah.

The Best JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang