5.Elves and Vegetables

5 0 0
                                    


Para peri memang tinggi, baik dari ukuran maupun harga diri. Telinga peri yang panjang dan mencuat ke samping menjadi ciri khas mereka, bersama rambut perak-emas yang tanpa cela. Banyak yang melabeli mereka rasis, tak lain karena para peri merasa bahwa kultur vegetarian-ramah lingkungan merekalah yang terbaik, dan mereka tak pernah mengijinkan bangsa lain untuk masuk dalam rumah hutan mereka kecuali dengan alasan ekstrim, takut jika bangsa lain akan mengotori rumah yang suci dengan eksistensi inferior mereka.

Pencinta teater dan kesenian secara umum, peri merupakan sumber kisah-kisah luar biasa.Hari-hari pembaca semasa kecil mungkin diisi oleh Si Timun Emas yang mengalahkan raksasa, atau Si Upik Abu yang menikahi pangeran berkat sepatu kacanya, atau mungkin El–

"Apa lagi sekarang?" tanyaku sebal pada Ailin yang tak henti menyodok sisi perutku.

"Kamu mau kacang rebus?" ia menawarkan bungkusan ditangannya, mulut penuh dengan makanan.

Demi Tuhan. Ia telah menawariku berbagai jajanan mungkin sejak Si Timun Mas melempar garam, tusuk gigi, dan terasinya pada raksasa yang secara literal, sejak ribuan tahun lalu.

"Makan saja sendiri," kataku kasar setelah meluruskan lengan, berniat untuk melanjutkan kegiatan produktif yang jauh lebih pantas bagi akademisi daripada sekedar mengunyah kacang.

"Sebentar," tangannya menahan lenganku saat setengah jalan menggurat perkamen, wajah menyala oleh kebahagiaan ketika terdengar suara terompet. "Sudah mulai, Tordis!"

Pandanganku beralih pada arena sirkus.

Kami harus menyusahkan diri demi mencari ijin untuk masuk kota para peri. Karena tak juga mendapatkan kontak, aku terpaksa menerima kenyataan bahwa memang tak pernah ada manusia yang masuk ke hutan peri semenjak jaman para pahlawan dalam legenda. Oleh karena itu, opsi kami yang tersisa hanya mengunjungi mereka para peri buangan. Informan yang bisa kami temukan mengatakan ada komunitas peri yang tergabung dalam pasar malam, komunitas bisnis kecil yang berpusat pada hiburan dan makanan.

Tebakanku adalah mereka yang terlalu berjiwa pemberontak yang dibuang. Terbukti, pertunjukan dibuka dengan cara membakar tanaman wangi, padahal peri normal akan sangat marah ketika kau sekedar menyabit rumput untuk makanan kambing.

Kulihat para peri mulai berlonjakan di arena luas itu. Mereka melompat ke tali dan memanjat selincah kera, kemudian berjalan di tali titian berbarengan. Area bawah di penuhi oleh peri yang memainkan pisau dan menelan pedang, dan juga mereka yang memainkan mandolin, serta mereka yang bersalto puluhan kali di tempat ....

Sirkus gempar dengan teriakan dan tepuk tangan para penonton. Keramaian bertambah ketika datang satu peri lagi yang menuntun seekor singa sungguhan.

Hewan majestik dari stepa itu mengaum, membuat mereka yang duduk paling depan menjerit tertahan, sementara aku tertawa lepas. Hewan itu harus melewati puluhan orang untuk jadi ancaman bagiku yang duduk aman di bagian belakang ini.

"Susah sekali ngelihatnya," Ailin sampai berdiri, tapi ia tetap saja kalah tinggi dari para penonton yang tak kalah antusias. "Ayo kita pindah ke depan!"

Dia mengajakku mendekati hewan buas itu? Aku cepat-cepat membenamkan diri lebih dalam ke kursiku. Kukira gesturku sudah cukup untuk menunjukkan di sisi mana aku berdiri dalam argumen ini.

Ia menatapku sebentar untuk memastikan keenggananku, kemudian duduk lagi. Alisku terangkat, agak terkejut oleh kelakuannya.

"Tumben tak mendebatku?"

Ia makan kacangnya lagi dengan tenang sebelum menjawab, dengan kesopanan yang sangat dibuat-buat dengan cara menundukkan kepala, "Apapun kehendak Tuan Tordis, saya laksanakan sebagai seorang asisten rumah tangga yang patuh."

Jalan-Jalan 7Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang